Sebuah Resensi : Jebakan Transisi Demokrasi

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Senin, 27 Februari 2012

Judul buku : Malapetaka Demokrasi Pasar
Penulis : Coen Husein Pontoh
Penerbit : Resist Book
Cetakan : Pertama, September 2005
Tebal : 192 halaman

JEBAKAN TRANSISI DEMOKRASI

Pasca tumbangnya rezim orde baru yang militeristik, Indonesia lazim disebut memasuki suatu masa transisi. Situasi yang diandaikan akan menghadirkan demokrasi sejati dengan melakukan pembedaan dengan model demokrasi rezim sebelumnya. Demokrasi yang selama orde baru malah digunakan sebagai alat refresif bagi politik pembangunanisme.
Demokrasi di Indonesia juga semakin diyakini akan mewujud dengan ditandai hadirnya mekanisme multi partai, kebebasan mengemukakan pendapat secara terbuka, kemerdekaan pers dengan menjamurnya penerbitan. Bahkan semakin haqul yakin dengan berlangsungnya prosesi suksesi kepemimpinan nasional yang berjalan relatif lancar pada 1999 dan 2004 lalu. Transisi demokrasi, jika mengikuti tipologi Huntington, terbagi pada tiga pola antara lain; transformasi, penggantian (replacement), negosiasi (transplacement), dan intervensi. Untuk konteks Indonesia, transisi demokrasi yang digunakan adalah pola penggantian walaupun tidak dipungkiri juga ada warna intervensi dari komunitas internasional.

Demokrasi yang berarti kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sebenarnya gagasan yang sangat fundamental dalam memaknai penggunaan kekuasaan. Suatu wewenang kekuasaan yang penggunaannya didapat melalaui legitimasi proses-proses demokratis, pemilihan umum. Namun, lazim terjadi amanat kekuasaan itu terkadang ‘dibajak’ oleh penguasa untuk kemudian digunakan demi ambisi kelompoknya. Inilah wujud pembajakan demokrasi yang dilakukan elit yang oligarkis.

Ditengah kondisi objektif seperti itu, muncul pertanyaan apakah bangsa ini benar-benar merdeka, dalam arti mampu mengelola merumuskan dan menerapkan setiap kebijakan atas prinsip kemandirian sebagai bangsa dan negara? Dan benarkah transisi yang Indonesia ini akan mengarah menuju demokrasi yang sesungguhnya?

Dua pertanyaan diatas inilah yang dikupas buku ini. Buku dini diawali penjelasan lengkap mengenai mengguritanya demokrasi pasar (neoliberalisme) diseluruh negara, termasuk Indonesia. Bagi Coen Pontoh, demokrasi pasar sejatinya dibawa oleh berbagai lembaga lembaga internasional seperti International Monetary Fund dan World Bank. Kedua lembaga yang membawa missi liberalisasi, provatisasi, dan dregulasi, mampu masuk kesetiap negara dengan memanfaatkan celah-celah instabilits politik disutua negara. Contoh nyata adalah bagaimana IMF bisa masuk ke Indonesia dimulai melalui penandatangan Letter of Intent yang dilakukan antara Indonesia dengan IMF, 15 Januari 1998. Bagi Coen, inilah awal malapetaka demokrasi pasar (neoliberalisme) untuk konteks Indonesia, dimulai. Pasca penandatangan tersebut privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan pengahapusan subsidi publik begitu menggurita.

Artinya, dalam situasi itu, negara sekedar difungsikan sebagai regulator semata. Negara tidak berwenang dalam mengontrol ruang ekonomi, semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Imbasnya, prinsip survival of the fittes berlaku. Mereka yang miskin dan tidak berpunya hanya bisa menahan lapar dan ‘menunggu mati’ akibat minimnya subsidi pemerintah. Menurut penulis buku ini, ketika negara sekadar berfungsi sebagai lembaga regulator, sejatinya ia tidak merdeka lagi. Sebab dibelakang layar, kewajiban dankewenangan negara, salah satunya untuk menyejahterakan rakyat, telah dibajak rezim neoliberalisme dengan baju demokrasi pasar.

Coen meyakini bahwa mekanisme penajajahan sekarang ini masih berlangsung. Ia tertanam dan tertancap melalui saluran yang kasat mata alias bukan dalam wujud penjajahan fisik. Kolonialisme sekarang berjalan melalui penguasaan aset publik disuatu negara. Sehingga keyakinan bahwa ketika transisi demokrasi berlangsung akan terjadi pula konsolidasi demokratik, situasi tersebut malah berbalik arah menjadi konsolidasi oligarkis kekuasaan ekonomi. Imbasnya, demokrasi mengalami malfungsi.

Guna menangkal demokrasi pasar yang berwujud neoliberalisme, penulis memberi dua ulasan studi secara lengkap yang terjadi di dua negara, Argentina dan Rusia, keduanya juga dalam situasi transisi demokrasi. Coen menggambarkan dengan jelas bagaimana gerakan prodemokrasi kedua negara tersebut berjuang dengan gigih dalam membangun demokrasi yang dengan tegas menolak agenda neoliberal (democratization agains neoliberalism). Penulis menyajikan pula beragam fakta bahwa gagalnya demokrasi, semakin menguatnya oligharki, adalah akibat sistem demokrasi pasar yang lebih menitikberatkan pada mekanisme liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.

Penulis berharap, dua ulasan yang terjadi di dua negara tersebut bisa dijadikan pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum prodemokrasi. Sebab, transisi demokrasi yang berujung pada neoliberalisme hanya akan memenjarakan transisi demokrasi dan akan menjerumuskan pada krisis yang tak kunjung usai. Barangkali inilah sebab utama bagaimana bagaimana Indonesia tak mampu bangkit cepat menghadapi krisis yang melanda.

Dengan situasi tersebut, demokrasi bukan lagi vis-à-vis otoritarianisme. Namun pemilihan demokrasi (pasar) lebih condong dipilih kepada model apa dan untuk kepentingan siapa? Inilah wujud pembajakan demokrasi pada masa transisi. Menggunakan analisis Thomas Carothers, penulis meyakini bahwa gagalnya transisi menuju demokrasi disebabkan domain ekonomi dan domain politik yang secara tegas dipisahkan, bukan disatukan. Situasi ini mengandaikan bahwa ekonomi dan politik (pasar dan negara) hanya berhubungan secara terpisah dan tidak berkorelasi sama sekali.

Maka sangat wajar jika sekarang ini negara (Indonesia) semata diposisikan sebagai regulator modal, tak lebih. Semua produk hukum negara hanya melayani berjalannya mekanisme modal. Lihat saja pasal-pasl revisi UU Ketenagakerjaan yang marak ditolak oleh kalangan buruh dan sangat didukung para pengusajha besar. Sebab jika negara memasuki wilayah tersebut akan bertentangan dengan kekuatan pasar (free trade). Artinya pengaturan negara juga akan tidak singkron dengan logika globalisasi dimana modal transnasional bebas berpindah tempat. (hlm. 22).

Buku ini memang tidak menyodorkan mekanisme demokrasi seperti apa yang bisa digunakan sebagai tandinga demokrasi pasar. Namun ia bisa dijadikan sebagai bahan reungan ditengah keterpurukan bangsa akibat kebijakan yang menyengsarakan rakyat, yang selalu didengungkan atas nama demokrasi. Pada intinya buku Malapetaka Demokrasi Pasar mengajak kepada kita untuk berpikir secara kritis dan merenungkan hakikat kemerdekaan sesungguhnya bagi sutua bangsa. Ia juga mewanti-wanti untuk tidak terjebak logika dan imajinasi bahwa proses transisi akan selalu menuju arah yang lebih baik. Sebab, sebagaimana diyakini penulis buku ini, demokrasi yang dikonstruksi oleh kekuatan asing, melalui tekanan lembaga internasional, bukan mengaraj pada demokrasi sesungguhnya. Namun semakin menenggelamkan pemerintah dan rakyat untuk tunduk patuh pada doktrin khas neoliberalisme: liberalisasi-privatisasi-deregulasi.

Epung Saepudin
Pustakawan tinggal di Jakarta

Sumber: http://transformasi.multiply.com/reviews/item/16

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar