Syuhada

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Rabu, 28 Agustus 2013

Kali ini, mata saya terperanga pada tulisan kawan saya yang di post pada media ilmiah lokal, Ya, penulis itu bernama Windu Jusuf dan tulisannya yang berjudul "Syuhada" ini di post kan pada website IndoProgress pada 18 Agustus 2013 kemarin. Secara ramping tulisan ini membahas tentang konflik politik yang bergejolak di Mesir, coba disimak tulisan beliau berikut ini.


TIAP perjuangan politik nampaknya butuh martir. Tujuannya, untuk memberi inspirasi pada angkatan muda, atau sekadar untuk menandai musuh. Cara kerjanya sederhana: tiap orang di pihak ‘kita’ yang dibunuh ‘mereka,’ adalah ‘martir.’ Sementara bagi mereka sendiri sekadar ‘penjahat,’ ‘ekstremis,’ ‘pengacau,’  ‘penindas’ dan seterusnya. Gereja Katolik memiliki daftar para martir Perang Sipil Spanyol, yakni para biarawan yang dibunuh kaum anarkis. Sebaliknya, ada pula satu masa dimana teroris sayap kiri Jerman, Rote Armee Fraktion (RAF), menamai operasi-operasi bersenjata mereka dengan nama para kamerad yang gugur: Kommando Petra Schelm, Kommando Thomas Weissbecker, Kommando Ulrike Meinhof…
Dengan atau tanpa landasan kitab suci, martir adalah soal klaim.
Alkisah, seorang anggota Ikhwanul Muslimin Palestina bernama Abdullah Azzam hijrah ke Afghanistan. Sebab persisnya tidak diketahui. Namun jurnalis Lawrence Wright dalam Sejarah Terormenyebutkan: ia kecewa dengan gerakan perlawanan di Palestina yang kian hari kian sekuler, semakin ke kiri, dan semakin nasionalis. Maka, ketika Afghanistan terancam diserbu Uni Soviet, bergegaslah Azzam ke sana. Jihad untuk mendirikan Daulah Islamiyah, tulisnya, haruslah dimulai dari sana, sebelum akhirnya digulirkan ke ‘tanah-tanah Muslim.’
Ia murid Sayyid Qutb dengan erudisi yang mengagumkan. Namun, kali ini, agaknya ia mengikuti saran Mao Zedong: ‘Ada badai di kolong firdaus—sungguh situasi yang sempurna.’
Dan boleh jadi benar—ia memang seperti Mao-nya sebagian kalangan Islamis. Keduanya sama-sama bergerilya, sama-sama berteori tentang perang, sama-sama bersastra—dan tumbuh pula semacam  kultus individu yang dibangun oleh pengikutnya. Semenjak 11 September 2001, pers Barat yang ketakutan menyebutnya ‘mentor Bin Laden.’
Tapi yang menarik adalah aktivitasnya semasa perang Soviet-Afghanistan, antara akhir 1970-an hingga 1980-an. Sementara pihak lawan, rejim komunis Muhammad Najibullah, mendapat bantuan uang dan senjata dari Soviet, di belakang Azzam hanya ada sekumpulan pemuda Arab yang belum lagi lurus memegang senapan. Suku-suku Afghan pun terpecah ke dalam puluhan laskar, dengan senjata dan amunisi ala kadarnya. Akhirnya memang ada bantuan besar-besaran dari Pakistan, Saudi, dan Amerika. Namun kebutuhan pokoknya tetaplah  massa.
Tapi ia tak mundur. Di tengah keputusasaan, ia rajin ‘blusukan.’ Dari prajurit-prajurit yang ia temui, ia gali kesaksian tentang pengalaman mereka di medan perang. Hasilnya menakjubkan. Ada cerita tentang mayat serdadu Muslim yang tak membusuk meski sudah sebulan teronggok; baunya harum, berbeda dari mayat pasukan Rusia yang cepat belatungan dan dimakan anjing. Ada pula cerita tentang prajurit yang sekarat dan kelaparan tiba-tiba menemukan kurma di pojok penjara musuh. Yang lainnya lebih magis. Misalnya, dua-tiga baris pengakuan tentang  kedatangan malaikat Jibril dan Mikail yang ikut bertempur di sisi mereka, atau tank Rusia yang meledak oleh lemparan pasir.
Cerita-cerita magis itu tak bermula dari, katakanlah, aliran Salafi yang dianut Azzam. Sebaliknya, mereka bersumber dari tradisi sufi dan mistik yang telah berakar kuat dalam masyarakat Afganistan pra-Taliban. Tak sedikit pula yang coraknya berakar dari catatan-catatan biografis para martir Syiah. Toh, tak jadi soal jika asal-usulnya bertentangan dengan ajaran Salafi: jika itu bisa menggerakkan orang untuk berperang, kenapa tidak?
Maka terbitlah satu buku: Tanda-Tanda Ar-Rahman dalam Jihad Afghan. Agar lebih kokoh, terbit pula sebuah manifesto: Syuhada, fondasi bangsa-bangsa, yang mengglorifikasi pengorbanan diri demi kejayaan umat di masa datang. Dan syuhada, dalam manifesto Azzam, adalah manusia terpilih: karena dedikasinya, derajatnya lebih tinggi ketimbang manusia biasa. Mirip ‘Manusia Soviet Baru’-nya Stalin, yang mengabdikan hidup-matinya demi fajar baru komunisme; juga seperti yang dibayangkan salah satu pendiri bangsa Amerika, Thomas Jefferson, ketika menulis dalam sepucuk suratnya yang mahsyur: ‘Pohon Kebebasan mestilah disirami dengan darah para martir dan patriot.’
Buku Azzam beredar luas: di Mesir, di Palestina,  di toko-toko buku berbahasa Arab di Amerika. Tak jarang direproduksi ke dalam artikel di majalah-majalah Arab, atau dibacakan secara dramatis dan direkam dalam kaset yang kemudian dijual. Ia memang rajin rutin ke berkeliling ke luar Afghanistan, memasok materi-materi untuk merekrut putra-putra Arab yang mengembara ke ‘negeri-negeri kafir.’
Ikhtiar Azzam tak sia-sia. Lewat kisah-kisah heroik nan fantastis yang ia kumpulkan, disertai fatwa yang mewajibkan jihad bagi setiap Muslim, ribuan orang dari seluruh dunia berbondong-bondong ke Afghanistan mengejar mati syahid. Dan kita tahu kelanjutan kisah Afghanistan. Ia sukses mengusir Soviet. Najibullah digantung dan Negara Islam pun berdiri. Namun, pertikaian antar faksi memicu perang saudara, hingga akhirnya gerombolan santri ekstrem bernama Taliban merebut kekuasaan di tahun 1996. Azzam sendiri sudah meninggal dalam insiden bom mobil tujuh tahun sebelumnya.
Tapi cerita-cerita yang dikumpulkan Azzam rupanya berumur lebih panjang. Ketika konflik di Balkan dan Chechnya meletus—dan ramai dibicarakan di sini—muncul kisah-kisah syahid yang sama persis; hanya berganti karakter protagonis dan antagonisnya saja.
Selanjutnya gampang ditebak: kisah-kisah Azzam tersebar ke mana-mana, ke Syiria, ke Mesir; ke Ambon, ke Poso, atau belakangan dalam laporan-laporan di Arrahmah.com tentang teroris (atau terduga teroris) yang dihantam pelor Densus 88. Di mana pun terjadi kekerasan massal yang korbannya mudah diklaim sebagai Muslim—dan cuma ditandai oleh label ‘Muslim,’ bukan yang lainnya—di situlah lahir mitos jenazah wangi yang itu-itu juga. Ia menjadi bagian dari geografi kekerasan yang, bagi sebagian kelompok, hanya meliputi ‘tanah-tanah Muslim’—tak peduli konflik macam apa yang sesungguhnya terjadi.
Buat para pendukung Morsi: tak usah gusar, ini sekadar cerita asal-usul.***
More aboutSyuhada

Basketball is need passion = Kota Surakarta (Solo)

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Jumat, 14 Juni 2013

Selamat Pagi kota Solo dengan warganya yang ramah. Selama 3 hari sejak Jumat hingga minggu besok saya akan berada di Solo / Surakarta. Kota keraton yang berada dekat dengan Jogjakarta dan masih memiliki keterkaitan kesultanan antar kedua daerah ini, kota budaya yang luwes dan ramah warganya, kehidupan dan aktivitas kota yang kalem memberikan kesan baik pada saya bahwa inilah kota ramah yang sebenarnya. 

Solo dan Basket, di dunia olahraga khususnya basket kota ini memiliki rekod yang baik, kalau tidak salah di tahun 2010 Solo pernah ketempatan menjadi tuan rumah NBL Seri IV (kalo salah mhn diralat hehe) tepatnya di Sritex Arena. Memiliki stadium basket yang baik berarti kota ini secara tidak langsung memiliki keinginan untuk pengembangan potensi olahraga yang ada di kota ini, sejaka DBL merambah kota Solo dan NBL hadir. Geliat basket addict sangat terasa di kota ini. Ternyata tak disangka kota Solo beserta warga masyarakatnya memiliki kecintaan yang besar terhadap basket dan passion yang tinggi akan olahraga yang satu ini, bagaimana tidak, passion yang begitu tinggi akan olahraga basket menjadikan Pemerintah setempat melakukan banyak pembenahan dan revitalisasi hal yang mendasar terkait olahraga dan prestasi olahraga basket, hal serupa juga dilakukan sekolah-sekolah setempat untuk melakukan "Perkaderan" anak-anak potensial dalam olahraga basket. Tim Putra-Putri Sritex Solo memiliki kualitas skill yang baik, saya sempat menyaksikan latihan mereka di sritex arena dan menurut salah satu staff tim sritex dragon, Vina Margareta, kemampuan dan skill anak-anak terbaik kota Solo boleh diadu dengan pemain terbaik daerah lain. Sritex Dragon Solo sendiri sudah terlebih dahulu berada di klasemen WNBL Indonesia.
Semoga tidak hanya Solo, semoga kota-kota yang lain juga memiliki passion yang sama terhadap pengembangan potensi olahraga Basket. Amin.
More aboutBasketball is need passion = Kota Surakarta (Solo)

Ingin masuk surga? Yuk, hindari "Debat Kusir"

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Minggu, 09 Juni 2013

Saya tertarik dengan tulisan Ustadz Fuad Al Hazimi yg satu ini, memang sempat dimuat juga di portal Ar Rahmah dan beberapa media online lain. Selamat membaca :)

Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda :

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Aku menjamin sebuah rumah di pinggir jannah (surga) bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran (al haq), juga sebuah rumah di tengah jannah bagi siapa  saja yang meninggalkan berbohong walaupun ia sedang bercanda, serta sebuah rumah di puncak jannah bagi siapa  saja yang berakhlak mulia”

(HR. Abu Dawud, Dinyatakan Hasan shahih oleh Syaikh Al Albani)

Umar Bin Khattab berkata :

لا يجد عبد حقيقة الإيمان حتى يدع المراء وهو محق ويدع الكذب في المزاح وهو يرى أنه لو شاء لغلب

“Seseorang tidak akan merasakan hakikat iman sampai ia mampu meninggalkan perdebatan yang berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran, dan meninggalkan berbohong meskipun hanya bercanda padahal ia tahu seandainya ia mau ia pasti menang dalam percebatan itu”

(Kanzul Ummal juz 3 hal 1165)

Imam Ishaq bin Isa berkata :

المِراء والجِدال في العلم يَذهبُ بنور العلم من قلب الرجل

“Imam Malik bin Anas mengatakan : “Debat kusir dan pertengkaran dalam masalah ilmu akan menghapuskan cahaya ilmu  dari hati seseorang”

Imam Ibnu Wahab berkata : “Aku mendengar Imam Malik bin Anas mengatakan :

المراء في العلم يُقسِّي القلوب ، ويورِّث الضغن

“Perdebatan dalam ilmu akan mengeraskan hati dan menyebabkan kedengkian”

(Jaami’ al Uluum wak Hikam 11/16)

DI ANTARA TANDA SEBUAH DISKUSI TELAH BERUBAH MENJADI DEBAT KUSIR

1. Nada suara mulai meninggi

2. Tulisan mulai menggunakan istilah yang emosional

3. Mulai muncul kata-kata ejekan atau sebutan yang merendahkan

4. Mengulang-ulang argumentasi

5. Mengingkari aksioma

6. Menolak logika

7. Mulai melibatkan perasaan dan emosi yang berlebihan

aksioma = pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa harus melalui pembuktian

Jika sudah seperti ini, sebaiknya segera tinggalkan saja karena bukan manfaat yang akan kita dapat, melainkan justru madhorot. Bukan ukhuwwah yang kita raih, melainkan kebencian dan kedengkian yang kita peroleh.

لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ

“Janganlah kalian mencari ilmu untuk menandingi para ulama atau untuk mendebat orang-orang bodoh atau agar bisa menguasai pertemuan dan majlis-majlis.  Barangsiapa yang berbuat seperti itu, maka neraka baginya, neraka baginya”  

(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Majah dan Al Hakim, beliau menyatakan bahwa hadits ini Shahih dengan para periwayat yang terpercaya sesuai dengan syarat-syarat Imam Muslim)

  • BERBANTAH-BANTAHAN : SEBAB KEKALAHAN PERJUANGAN DAN JIHAD

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“”Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, DAN JANGANLAH KAMU BERBANTAH-BANTAHAN, YANG MENYEBABKAN KAMU MENJADI GENTAR DAN HILANG KEKUATANMU dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS Al Anfal 45 – 46)

  • KUNCI-KUNCI KEMENANGAN DALAM JIHAD

Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah menjelaskan ayat 45 – 46 surah Al Anfal dengan penjelasan berikut :

“Di sini, Alloh memerintahkan lima hal kepada para mujahidin. Tidaklah kelima hal ini terkumpul dalam tubuh sebuah kelompok melainkan kelompok itu pasti menang, walau pun jumlahnya sedikit dan jumlah musuhnya banyak :

Pertama: Istiqomah dan tsabat

Kedua: Banyak berdzikir (mengingat) menyebut nama Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala

Ketiga: Mentaati Alloh dan mentaati Rosul-Nya

Keempat: Persatuan kalimat dan tidak saling berbantah bantahan, karena itu akan menghantarkan kepada kegentaran dan kelemahan. Berbantah-bantahan ini adalah tentara yang bisa menguatkan musuh dari orang yang saling berbantah-bantahan untuk mengalahkan mereka. Karena dengan bersatu, suatu pasukan seperti seikat anak panah yang tidak seorang pun mampu mematahkannya. Jika anak panah itu dipisah-pisah, musuh akan bisa mematahkannya.

Kelima: Yang merupakan kunci, pilar dan penopang keempat hal di atas, yaitu : Sabar.

Inilah lima hal yang menjadi dasar terbangunnya kemenangan. Ketika kelima hal ini –atau sebagiannya— hilang, kemenangan pun akan hilang sebanding dengan berkurangnya sebagian darinya. Jika semuanya terkumpul, satu sama lain akan saling menguatkan, sehingga pasukan tersebut akan melahirkan pengaruh yang besar dalam meraih kemenangan. Ketika kelima hal ini terkumpul dalam diri para shahabat, tidak ada satu pun bangsa di dunia yang mampu menandingi mereka. Mereka taklukkan dunia dan seluruh rakyat serta negeri tunduk kepada mereka. Tatkala generasi sepeninggal mereka berpecah belah dan melemah, terjadilah apa yang terjadi, la haula wa la quwwata illa billaahil ‘Aliyyi ‘l ‘Adzim; tiada daya dan kekuatan melainkan (dengan) pertolongan Alloh yang Mahatinggi lagi Maha Agung.

(Al Furusiyyah : Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah hal 506)

  • DZIKIR : BATU BATA UNTUK MEMBANGUN RUMAH DI JANNAH

أن بيوت الجنة تبنى بالذكر فإذا أمسك الذاكر عن الذكر أمسكت الملائكة عن البناء

“Sesungguhnya rumah-rumah kita di jannah dibangun dengan dzikir, maka ketika seseorang berhenti berdzikir, malaikat pun berhenti membangun rumah itu”

(Al Wabil Ash Shoib – Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah 1/109)

 

*********

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah aku berlindung  kepada-Mu dari lemahnya hati dan kemalasan, sifat pengecut, kikir, kepikunan dan dari azab kubur”.

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

 

“Ya Allah limpahkan pada hatiku ketaqwaan kepada-Mu dan sucikanlah ia sesungguhnya Engkau lah sebaik-baik Yang Mensucikan hati. Engkau lah pelindung hatiku dan Yang Paling dicintainya”.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari Ilmu yang tidak bermanfaat,  hati yang tidak pernah tenang, nafsu yang tidak pernah merasa puas dan dari do’a yang tidak pernah dikabulkan”

(HR Bukhari Muslim)

Walahulallam bi showab


More aboutIngin masuk surga? Yuk, hindari "Debat Kusir"

Meng-Indonesia-kan Indonesia!

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Jumat, 07 Juni 2013

Opini singkat
Oleh: Adam Syarief Thamrin H
Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga


Manifesto besar orde lama tentang nasionalisme dan gerakan Pancasilaisme dewasa ini tidak lagi terdengar gaungannya, kalau pun terdengar gaungannya tidak lagi sebesar dulu saat founding father negara Indonesia mengupayakan massification movement ideology pancasila. Realita yang terjadi saat ini, manifesto besar yang seharusnya menjadi tumpuan pokok utama negara dalam sistem pengelolaan dan manajemen negara tidak lagi se-Sakral. Lebih tepatnya "De-Sakralisaai" padahal Indonesia adalah satu-satunya negara yang konsisten menurut negara-negara lain dalam implementasi dan penerapan ideologi secara mandiri dan perlu diketahui pula, ideologi pancasila sebagai manifesto besar tumpuan pokok bangsa dan negara Indonesia sejatinya telah melalui fase-fase penggodokan yang cukup panjang dan tentu dinamika yang luar biasa pada masanya juga dilalui.

Jika kita mengingat tragedi pemberontakan PKI pada tahun 1965 yang berusaha melakukan kup atau kudeta terhadap pemerintah dan negara dengan dasar dan landasan komunis dan teori komunis negara, tentu sangat ironi keadaan pada masa itu, dan tentu, kita tidak ingin hal yang serupa terjadi lagi idmasa-masa sekarang. Saat ini Indonesia harus berbenah sebenah-benahnya, berkembang untuk bisa lebih maju, melakukan pengembangan dan implementasi kerakyatan terhadap manifesto besar Pancasila dan Nasionalisasi aset bangsa dan negara. Melalui opini singkat ini, saya hanya ingin berpesan bahwa "Meng-Indonesia-kan Indonesia terlebih dahulu sangat harus di prioritaskan sebelum negara kota dibeli bangsa lain" 


More aboutMeng-Indonesia-kan Indonesia!

ANTO SANGAJI : Manifesto Komunis dan Teori Negara

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Rabu, 01 Mei 2013


KALAU ADA teori Marx yang paling mengundang perdebatan, tidak salah lagi, itulah teori tentang Negara. Debat ini mungkin tak perlu muncul, kalau saja Marx sempat mewujudkan rencananya menulis buku mengenai topik ini, seperti yang kita bisa tangkap dari surat-suratnya kepada F. Lassalle (22 Februari 1858) dan F. Engels (2 April 1858) (Marx and Engels, 1965: 103-4). Buntutnya, di kalangan teoritisi Marxis, perdebatan tentang Negara ini, bersandar pada berbagai perbedaan akar pendekatan, tidak terhindar. Ada yang berusaha menafsir dari Manifesto Komunis (selanjutnyaManifesto), ada yang merujuk ke Capital, atau dari karya-karya yang lebih awal, seperti kritik terhadap Hegel, dsb, dsb,  Teori Marxis tentang negara jadi penuh warna-warni.
Di seberang sana, kalangan non-Marxis, kerap muncul kesalah-pahaman, tetapi justru paling luas dipercayai, menyeragamkan teori Marx (dan Marxis) tentang negara. Mereka menganggap, bagi Marx dan kalangan Marxis, Negara, tidak kurang atau tidak lebih, diteorikan sebagai alat kelas kapitalis. Sederhana.
Catatan ini mau menggambarkan secara ringkas diskusi Negara dalam tradisi Marxisme, dengan menimbang bermacam-macam peta pemikiran. Begitu tumpang tindihnya warna pemikiran itu, maka untuk tujuan catatan ini, hanya beberapa pendekatan dominan akan ditonjolkan. Dan karena,Manifesto paling sering dipercakapkan, seolah mewakili teori Marxis tentang negara, maka perhatian khusus akan pergi ke sana. Bagaimana sebenarnya Marx dan Engels mengkarakterisasi Negara diManifesto? Apakah ada perbedaan antara Manifesto dan karya-karya Marx lain soal subyek ini? Lantas, bagaimana pula para teoritis Marxis yang datang belakangan menteorikan Negara? Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba dijawab dalam catatan ini, dan sedikit catatan refleksi akan ditaruh di bagian akhir.
Manifesto: Negara sebagai alat
Tak bisa dipungkiri, aspek penting dari Manifesto tentang Negara adalah sifat instrumentalisnya. Yakni, Negara adalah alat dari kelas tertentu. Marx dan Engels dengan terang mengatakan:
di dalam pengertiannya yang sebenarnya, kekuasaan politik [atau negara adalah] kekuasaan terorganisasi dari suatu kelas untuk menindas kelas yang lain (1962a).
Pernyataan ini, tentu saja, bisa dipakai juga untuk melukiskan masyarakat non-kapitalis, katakanlah masyarakat dengan corak produksi feudal atau lainnya. Lantas, Marx dan Engels secara khusus menyebut negara di dalam masyarakat kapitalis sebagai berikut:
Eksekutif negara modern adalah sebuah komite yang mengelola kepentingan bersama kaum borjuis secara keseluruhan (1962a: 36).
Di bagian lain, ketika menjelaskan transisi dari feudalisme menuju kapitalisme, keduanya menyatakan, transisi itu diikuti dengan penyesuaian kekuasaan politik (baca Negara) terhadap kepentingan kelas kapitalis yang sedang tumbuh. Mereka menulis:
Sebagai gantinya datanglah persaingan bebas [atau kapitalisme], disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselaraskan dengannya, dan oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis (1962a: 39).
Terang, di mata Marx dan Engels, Negara adalah alat dari kelas kapitalis.
Perlu diingat, Manifesto bukan satu-satunya naskah yang menekankan negara sebagai alat kelas borjuis. Di the German Ideology, saat membahas hak milik pribadi, Marx dan Engels menyatakan bahwa kemunculan jenis hak milik ini berhubungan dengan kelahiran Negara modern. Kelahirannya berbarengan dengan kehadiran kelas kapitalis, dimana proses penghancuran hubungan-hubungan kepemilikan pra-kapitalis (feudalisme) membuka jalan bagi Negara untuk melayani kepentingan kaum borjuis. Dalam bingkai inilah, “Negara adalah badan di mana para individu dari kelas yang memerintah [borjuis] mempertontonkan kepentingan bersama mereka” (Marx and Engels, 1976: 99). Atau, di the Origin of the Family, Private Property, and the State, Engels menunjuk Negara modern sebagai sebuah alat eksploitasi terhadap upah kerja oleh kapital (Marx and Engels, 1962b: 320).
Kebalikannya, masih dalam pengertian intrumentalis, Manifesto juga menunjuk Negara sebagai alat kaum proletar:
Negara [adalah] kelas proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang memerintah (Marx and Engels, 1962a: 53).
Apa yang dimaksud Marx dan Engels mengenai Negara di sini, musti dipahami dalam konteks transisi dari satu corak produksi ke corak produksi lain, yakni dari kapitalisme ke sosialisme/komunisme. Marx secara jelas menandaskannya di the Critique of the Gotha Programme:
Antara masyarakat kapitalis dan masyarkat komunis terdapat periode perubahan revolusioner. Ini juga meliputi periode transisi politik, di mana negara merupakankediktatoran proletariat yang revolusioner (Marx, 1962b: 32-3 [italik dari sumber asli]).
Keharusan kelas pekerja yang terorganisasi sebagai sebuah kelas untuk menguasai negara, yaitu, Negara proletariat setelah menghancurkan Negara kapitalis, menurut Marx dan Engels, bertujuan untuk memusatkan semua alat produksi di genggaman mereka. Tugas pokok Negara proletariat adalah merevolusionerkan hubungan ekonomi berwatak sosialisme. Di sini, pengertian negara memusatkan semua alat produksi bukan merupakan tujuan akhir, tetapi bagian dari transisi menuju sosialisme. Karena, proses transisi dari satu corak produksi ke corak produksi lainnya memakan waktu lebih lama dari sekedar merebut kekuasaan politik negara. Yang terakhir ini bisa saja berlangsung dalam satu malam.
Ringkasnya, Manifesto memberikan pesan tentang Negara sebagai alat kelas tertentu, baik kelas kapitalis, maupun kelas proletariat.
Di kemudian hari, Manifesto menjadi rujukan teori-teori Marxist tentang Negara. Para ahli, menyebut teori ini sebagai ‘teori-teori negara instrumentalis.’ Dua contoh bisa diajukan. Pertama, Lenin, dalam State and Revolution, menyatakan bahwa Negara sebagai alat kelas proletar merupakan definisi negara yang sangat penting, tetapi kerap dilupakan. Menulis buku tersebut, dalam semangat revolusi Russia dan perdebatannya dengan kalangan Sosial Demokrat German pimpinan Kautsky, Lenin mengembangkan konsep negara yang sudah dirumuskan Marx dan Engels di Manifesto. Menurutnya, negara merupakan organisasi kekerasan untuk pengekangan kelas. Katanya,
Kelas yang mengeksploitasi memerlukan kekuasan politik dalam rangka mempertahankan eksploitasi, guna memenuhi kepentingan kelompok kecil yang tidak seberapa jumlahnya, dan dalam waktu yang sama menentang kepentingan kelompok mayoritas rakyat. [Sebaliknya] kelompok yang tereksploitasi memerlukan kekuasaan politik dalam rangka mengakhiri setuntas-tuntasnya semua bentuk eksploitasi, yaitu kepentingan mayoritas rakyat dan menentang kepentingan kelompok minoritas, yakni para pemilik budak modern – para tuan tanah dan kelas kapitalis (Lenin, 1987:287).
Lenin juga mengatakan, sebagai tanggapan terhadap Negara kapitalis, maka diperlukan sebuah Negara alternatif, yakni ‘negara proletariat,’ merujuk ke Marx dan Engels. Lanjutnya, ‘negara proletariat’ hanya bisa berdiri melalui penghancuran negara borjuis. Kaum proletariat memerlukan:
Negara sebagai organisasi kekuasaan yang tersentralisasi, organisasi kekerasan, dengan tujuan untuk menghajar perlawanan dari para penghisap (tuan tanah dan kapitalis) dan juga dengan tujuan untuk memimpin mayoritas rakyat – kaum tani, borjuis kecil, dan semi-proletariat – dalam usaha menjalankan ekonomi sosialis (Lenin, 1987: 288).
Kedua, Ralph Miliband, di the State in Capitalist Society, juga mewakili teori instrumentalis. Di matanya, sejauh berhubungan dengan masyarakat kapitalis, maka pandangan Marx dan Engels tentang Negara sudah tertuang dengan singkat dan jelas dalam Manifesto. Dia juga berpendapat bahwa karya-karya Marxisme klasik tentang politik, pada umumnya bersumber dari peristiwa-peristiwa kesejarahan tertentu. Ini bisa dilihat dari karya-karya Marx seperti the Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, the Civil War in France, dan karya Lenin the State and Revolution.
Pada dasarnya, Miliband bermaksud melucuti argumen para penganut teori liberal pluralis yang percaya habis-habisan bahwa Negara modern bersifat netral dan mengayomi semua golongan di dalam masyarakat. Menurutnya, kenetralan Negara hanya ilusi belaka. Untuk membangun argumentasinya, Miliband menganjurkan untuk memakai prosedur investigasi historis dan empiris guna melihat kaitan antara Negara dan kelas kapitalis. Dari studinya, menurut Miliband, kelas kapitalis memainkan peranan sangat menentukan di dalam kekuasaan politik, karena mereka mengontrol wilayah kehidupan ekonomi. Dia menyatakan:
Berdasarkan skema teori Marxist, “kelas yang memerintah” dalam masyarakat kapitalis adalah kelas yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi (means of production). Lantas, dengan bersandar pada kekuasaan ekonomi yang digenggamnya itu, mereka memanfaatkan negara sebagai kendaraan untuk mendominasi masyarakat (2009[1969]: 19).
Dari pengamatan empirisnya di negara-negara kapitalis maju, Miliband melihat fungsi intrumentalis Negara, sebagai pelayan kelas kapitalis itu, bahkan, kerap memakai retorika ‘kepentingan nasional’ sebagai tameng pelindung kelas ini. Dia, misalnya, mengutip frasa terkenal ‘what is good for General Motors is good for America’ sebagai contoh, bagaimana kepentingan perusahaan itu dipoles sedemikian rupa menjadi kepentingan bangsa Amerika Serikat.
Kita tahu, Miliband mendapat kritik paling pedas dari Nicos Poulantzas, teoritisi Marxis lain. Kendati menghargai metode empiris Miliband yang dipandang dapat menjungkir-balikkan dogmatisme teori pluralis demokrasi, Poulantzas menganggap problem mendasar Miliband justu terletak di dalam metode empirisnya yang sangat dominan. Menurutnya, sebuah kritik teori mesti dimulai dengan memborbardir basis epistemologi teori yang hendak dikritik, bukan dengan jalan pintas melompat ke soal-soal konkrit, seperti ditunjukkan Miliband. Bagi Poulantzas, sebuah pendekatan ilmiah untuk menginvestigasi fakta-fakta ‘konkrit’ juga mesti didahului dengan menempatkan secara jelas kaidah-kaidah epistemologinya sendiri. Dia mengakui, kendati kaidah-kaidah itu tersirat ada di dalam karyanya, Poulantzas menganggap Miliband melakukan kesalahan mendasar, karena ketiadaan presentasi yang terang tentang kaidah-kaidah itu (Poulantzas, 2008: 174). Dalam konteks ini, kritik Poulantzas, yang kemudian diikuti perdebatan teoritik seru di antara keduanya, dipandang lebih sebagai perdebatan metodologis dibanding perdebatan tentang teori Negara (Barrow, 2002).
Aneka teori
Sosiolog Bob Jessop (2007), kerap dipandang sebagai pewaris Poulantzas, bahkan mempertanyakan usaha teorisasi Negara dengan mengacu ke Manifesto. Bagi Jessop, karena Manifesto merupakan naskah untuk program politik, tujuannya adalah ajakan untuk terlibat dalam perjuangan politik, bukan sebuah analisa rinci mengenai pembentukan kelas dan representasi politik. Dia sebaliknya, menganggap the Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte sebagai naskah penting untuk pengembangan dan penafsiran teori Marx tentang negara. Nah, dari naskah inilah, muncul kebalikan dari teori ‘Negara sebagai alat,’ yaitu teori ‘otonomi Negara.’ Teori ini kurang lebih mengatakan, Negara tidak merupakan alat dari kelas-kelas tertentu, sebaliknya berdiri pada posisi otonom atau relatif otonom dari kelas-kelas itu. Dalam sistem kapitalisme, Negara dipandang berfungsi melindungi sistem ini, bukan berlagak parsial, dengan memihak kepada kelas kapitalis. Di the German Ideology, Marx dan Engels memberi indikasi pengertian semacam itu, dengan rumusan lebih umum:
Kontradiksi antara kepentingan-kepentingan khusus dan kepentingan bersama, [maka] kepentingan umum mengejawantahkan diri dalam bentuk independen sebagai Negara, yang dipisahkan dari kepentingan-kepentingan individual dan kelompok (1976: 52).
Dengan kata lain, Negara tidak mengabdi kepada kepentingan-kepentingan khusus yang ada di tengah masyarakat, tetapi kepada kepentingan umum yang lebih luas. Negara, oleh karena itu, berdiri otonom di atas kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam pengertian konkrit, Marx melihat watak otonomi negara itu di dalam era kekaisaran Louis Bonaparte (1852-1870). Menurut Marx, karena tidak ada kelas yang memiliki kekuasaan yang cukup untuk memerintah melalui negara, eksekutif negara itu sendiri yang memerintah, tanpa dipengaruhi oleh kelas sosial manapun, borjuis atau proletar. Dia menambahkan, kendati Negara Bonapartis sukses memodernisasi ekonomi dalam rangka memajukan kekuasannya, sebagai basis material dari kekuasaan imperial dan militernya, tetapi Negara sama sekali tidak mengubah hubungan-hubungan produksi yang kapitalistik. Dengan kata lain, kendati kaum kapitalis sama sekali tidak mengendalikan negara, Bonaparte tetap saja membiarkan mereka leluasa mengakumulasi kapital.
Tetapi, keadaan ini menjadi bibit-bibit utama kontradiksi, di mana kaum borjuis Perancis tumbuh menjadi kaya-raya, lantas merasakan keterbatasan ruang di bawah negara yang otonom. Mereka lalu berupaya mengontrol aparat negara. Di pihak lain, kemajuan ekonomi melipat-gandakan kaum proletariat dan semakin lama kekuatan mereka kian berpengaruh. Pada akhirnya, Negara Bonapartis melakukan kompromi-kompromi dengan kaum borjuis. Pada akhir rejim Bonaparte, kita melihat muncul revolusi kelas pekerja paling utama pada zaman itu, dengan munculnya Paris Commune(Marx and Engels, 1962a; Draper, 1977).
Apa yang dilihat Marx adalah kemunculan Negara Bonapartis merupakan periode kelahiran sebuah bentuk normal dari Negara borjuis. Periode ini ditandai menonjolnya keseimbangan kelas, di mana kekuasaan negara muncul sebagai perantara, dengan tingkat otonom tertentu, baik terhadap kelas kapitalis maunpun terhadap kelas proletariat. Bagi Marx, otonomi Negara muncul dalam dua tingkatan: pertama, dalam kondisi normal, birokrasi Negara menikmati sejumlah otonom, karena kaum borjuis tidak berminat mengendalikan langsung kekuasaan negara dan juga karena konflik di antara sesama kaum borjuis sendiri. Dalam kondisi ini, kelas borjuis menyerahkan urusan kekuasaan masyarakat kepada birokrasi Negara, dan dalam waktu yang sama birokrasi tersubordinasi ke dalam masyarakat borjuis dan produksi yang kapitalistik. Kedua, otonomi Negara hadir saat muncul keseimbangan yang tidak stabil dalam kontradiksi antara kelas kapitalis dan kelas proletariat. Di sini, Negara tidak menjadi instrumen kelas borjuis, tetapi tindakan-tindakannya disesuaikan dengan kondisi-kondisi perjuangan kelas (Marx and Engels, 1962a; Draper, 1977).
Di luar teori otonomi Negara, banyak usaha teorisasi oleh kalangan Marxis, dengan merujuk ke aneka karya Marx. Secara umum, ada tiga teori utama, yakni, teori struktural, teori logika kapital, dan teori perjuangan kelas, dengan berbagai variasi. Diskusi ini menggambarkan ketiganya secara umum dan singkat.
Petama, teori struktural tentang negara. Nicos Poulantzas, dalam Political Power and Social Classes,mewakili teori ini. Sepenuhnya berbeda dengan Milliband, ia menyatakan bahwa Negara borjuis bukan instrumen kelas kapitalis, dan menganggap fungsi-fungsi negara bisa dibeda-bedakan menurut kelas-kelas sosial. Pertama, terhadap kelas pekerja, Negara berfungsi untuk mencegah kelas ini berkembang menjadi organisasi politik dengan mengusung politik kelas (1968:188). Sebaliknya, Negara berusaha mewakili kepentingan kelas pekerja di bawah ideologi ‘kepentingan umum’ seluruh warga negara, bukan kepentingan kelas pekerja secara khusus (1968: 133). Dengan melakukan ini, Negara melumpuhkan politik kelas dari kelas pekerja, yang sewaktu-waktu dapat menjadi landasan bagi mereka untuk menghancurkan basis politik eksploitasi kaum kapitalis dalam sistem kapitalisme, yaitu Negara itu sendiri. Kedua, terhadap kelas kapitalis, Negara bertindak secara berbeda. Menurut Poulantzas, karena adanya fraksi di antara kelas kapitalis dan tidak adanya persatuan politik di antara mereka, maka kelas ini tidak bisa dengan leluasa mewujudkan hegemoni mereka atas kelas pekerja. Sebagai gantinya, Negara mengambilalih kepentingan politik kelas kapitalis (1968:284) dan berusaha menyatukan fraksi-fraksi kelas ini ke dalam sebuah blok kekuasaan guna melindungi hegemoni mereka (1968:137). Jadi, dalam hal ini, ‘Negara kapitalis,’ menurut Poulantzas (1968: 190), ‘tidak secara langsung mewakili kepentingan ekonomi kelas-kelas dominan [atau kelas kapitalis], tetapi kepentingan-kepentingan politik mereka.’
Untuk menjalankan kedua fungsi tersebut, maka mau tidak mau, Negara harus relatif otonom dari pengaruh kelas-kelas kapitalis dan fraksi-fraksi di antara mereka. Dengan memiliki otonomi semacam ini, akan memberi ruang kepada Negara untuk ikut serta mengatur kompromi-kompromi di antara kelas kapitalis. Dengan otonomi yang relatif, Negara juga bisa leluasa campur tangan untuk menghancurkan kepentingan-kepentingan ekonomi dari fraksi-fraksi tertentu kelas ini, sehingga dengan demikian melindungi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi kelas kapitalis secara keseluruhan (1968: 284-5). Dengan demikian, di bawah sistem kapitalisme, fungsi Negara, menurut Poulantzas, adalah sebagai ‘alat kohesi sosial,’ agar supaya sistem ini tidak bangkrut.
Kedua, teori logika kapital atau lazim dikenal ‘derivationist theory,’ terutama muncul dalam perdebatan di Jerman. Teori ini berusaha mengembangkan konsep negara sebagai sesuatu yang laten tertanam di dalam konsep kapital (Lebowitz, 2009: 329). Metode yang dipakai mengikuti dua prosedur mendasar yakni, proses riset empiris dan historis di satu sisi, dan cara penyajian yang ditetapkan secara analitis, di sisi lain. Mereka menganggap teori politik Marxis harus mengombinasikan antar penelitian empiris dan historis guna memperolah fakta dan menjelaskan fakta-fakta itu berdasarkan logika perkembangan kapitalisme, seperti tertuang dalam Capital(Barrow, 2000). Mereka menolak teori intrumentalis Miliband dan struktural Poulantzas, karena kedua teori dianggap mengabaikan kategori ‘materialisme sejarah’ dari Capital. Mereka juga memandang Miliband dan Poulantzas melakukan kesalahan dengan memisahkan antara aspek ekonomi Capital (nilai, nilai lebih, dan akumulasi) dengan aspek politik Capital (seperti diskusi tentang Factory Act, etc), lalu memilih memfoksukan pada aspek politik Capital saja (Holloway and Picciotto, 1978:3-4). Singkatnya, teori ini berusaha untuk mengerti dalil-dalil umum mengenai teori negara dan fungsi utamanya dengan menggalinya langsung dari logika corak produksi kapitalis.
Di antara para teorisi ini, salah satu yang utama adalah Elmar Altvater (1973). Dia mendiskusikan Negara dari ‘capital in general,’ konsep yang digunakan Marx dalam Capital. Memakai prinsip dialektika, hubungan keseluruhan/total dan bagian-bagian/individu-individu, Altvater menyatakan, pada tingkat konseptual, ‘capital in general’ diterjemahkan sebagai ‘total sosial kapital,’ yaitu gabungan keseluruhan ‘individu-individu kapital’ di tengah masyarakat. Lanjutnya, hanya ‘total sosial kapital,’ bukan ‘individu-individu kapital,’ yang mencerminkan hukum-hukum gerak corak produksi kapitalis. Tetapi, di tingkat transaksi, ‘individu-individu kapital’ yang membentuk keberadaan ‘total sosial kapital.’ Pada tingkat konseptual lagi, ‘capital in general’ merupakan landasan hukum-hukum kapital yang imanen, di mana ‘individu-individu kapital’ saling berhubungan dan membentuk ‘total sosial kapital.’ Dengan kata lain, ‘individu-individu kapital’ membentuk diri mereka sendiri sebagai ‘total sosial kapital’ melalui kompetisi, aspek imperatif dari kapitalisme.
Tetapi, menurut Altvater, pembentukan ‘total sosial kapital’ tidak dapat sepenuhnya bergantung kepada kompetisi. Jika produksi kapital oleh ‘individu-individu kapital’ tidak menguntungkan atau dapat merusak kepentingan keseluruhan masyarakat, yang berarti kapital tidak dapat berproduksi sepenuhnya melalui ‘individu-individu kapital,’ maka, di sini, kapital memerlukan sebuah institusi khusus, yang berdiri di luar dan di atas masyarakat borjuis. Institusi ini adalah Negara. Oleh karena itu, masyarakat borjuis memberkan tempat kepada Negara untuk mengejawantahkan kepentingan-kepentingan umum kapital. Tetapi, Negara tidak bisa difahami apakah sebagai ‘alat politik’ atau ‘institusi yang dirancang’ oleh kapital. Lebih dari sekedar itu, Negara merupakan sebuah badan khusus, hasil dari kemajuan eksistensi sosial kapital, yang dicapai melalui kompetisi sebagai aspek kunci dari proses reproduksi sosial kapital.
Pada jenjang konkrit, menurut Altvater, Negara adalah ‘representasi kepentingan umum kapital,’ dengan fungsi utama melindungi masyarakat kapitalis yang bisa saja porak-poranda akibat kompetisi. Negara memberi ruang agar supaya eksploitasi berdasarkan upah kerja dapat bekerja secara terus-menerus. Negara juga membangun hubungan-hubungan hukum guna melindungi ‘kondisi-kondisi umum’ produksi kapitalis. Tetapi, dalam waktu yang sama, Negara dapat menghukum individu-individu kapital dalam momen-momen tertentu jika dipandang mengancam kepentingan masyarakat borjuis secara keseluruhan.
Ketiga, teori perjuangan kelas, yang melihat bahwa inti dari teori Marxist tentang negara mesti diletakkan dalam konteks perjuangan kelas. Frasa Marx dan Engels terkenal di Manifesto ]sejarah semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas’ memberi isyarat bahwa negara di semua tipe masyarakat menjadi sentral dari perjuangan kelas. Salah satu penganut teori ini adalah sosiolog Simon Clarke (1991). Menurutnya, alasan paling logis untuk mengerti Negara adalah perjuangan kelas. Katanya, ‘Jika tidak pernah ada perjuangan kelas,’ karena kelas pekerja tidak mau tunduk bulat-bulat kepada hubungan-hubungan sosial kapitalis yang mensubordinasikan mereka, ‘maka tidak akan ada Negara.’ Perkembangan Negara, oleh karena itu, merupakan aspek paling fundamental dari perkembangan perjuangan kelas. Dengan kata lain, negara tidak bisa diisolasi dari perjuangan kelas.
Untuk tiba pada klaim semacam itu, khususnya dalam masyarakat borjuis, Clarke menganggap bahwa Negara tidak bisa dianalisa secara langsung dari logika swa-reproduksi (self-reproduction) kapital, seperti yang dilakukan oleh teoritisi logika kapital. Untuk menjelaskan hubungan antara Negara dan kapital, maka diperlukan konsep perantara, yakni perjuangan kelas. Dengan merujuk keCapital, tentang konsep kemampuan swa-reproduksi hubungan kapital, tiada lain adalah proses produksi dan reproduksi nilai lebih (surplus-value) atau rekonversi nilai lebih ke dalam kapital secara terus menerus, Clarke mendasarkan argumentasinya tentang hubungan antara kapital dan buruh. Baginya, hubungan kelas antara kapital dan buruh dihasilkan hanya melalui produksi dan reproduksi nilai lebih (Ringkasnya, disimbolkan dengan M – C{LP+MP} – M’ di mana M = uang, C = komoditi, LP = tenaga kerja, dan MP = alat produksi). Keniscayaan untuk swa-reproduksi adalah, di satu pihak, tersedianya tenaga-tenaga produktif (productive forces), yang merupakan landasan historis dari hubungan sosial yang kapitalistik, dan di lain fihak, tersubordinasinya individu (pekerja) ke dalam hubungan-hubungan produksi (relations of production) kapitalis. Ini berarti reproduksi kapital juga berarti reproduksi kelas pekerja sebagai fondasinya. Tetapi kapital tidak memroduksi kelas pekerja sebagai pelayan pasif, tetapi sebagai faktor yang justru menjadi penghalang bagi reproduksi kapital itu sendiri. Ini merupakan kontradiksi paling mendasar dari corak produksi kapitalis, yaitu proses reproduksi yang ditandai dengan keniscayaan perjuangan kelas, karena harus terus-menerus mengawetkan kelas pekerja di bawah kendali kelas kapitalis. Kontradiksi ini seperti bom waktu yang tidak pernah terpecahkan, kecuali menunda-nunda saja ledakannya.
Diskusi Clarke menukik ke penjelasan materialisme sejarah tentang hubungan antara kapital dan buruh, dengan menengok hubungan-hubungan produksi (relations of productions), dipahami sebagai tersubordinasikannya buruh di bawah kapital. Pensubordinasian ini berkontradiksi dengan aspek ‘tenaga-tenaga produksi’ (forces of production), di mana buruh adalah agen aktif dalam produksi. Kontradiksi hadir ke permukaan sebagai perjuangan untuk mengntrol produksi. Kendati, kelas kapitalis dapat menggunakan hak-haknya — hak untuk mengangkat dan memberhentikan — sebagai senjata untuk menekan individu-individu kelas pekerja, tetapi ia juga dapat memakai lebih banyak cara kontrol terhadap kelas pekerja secara kolektif, misalnya, memasukkan berbagai aturan di dalam proses kerja (labour process) dan membangun hirarki pembagian kerja di antara kelas pekerja secara kolektif (misalnya pemisahan antara kerja mental dan kerja manual dan menempatkan kerja manual di bawah kontrol kerja mental). Clarke menganggap bahwa proses hubungan sosial kapitalis semacam ini murni bersifat ekonomi, di mana kelas kapitalis tidak perlu memerlukan negara untuk menjaminnya. Misalnya, untuk melindungi propertinya secara fisik, kelas ini menggunakan metodenya sendiri, tanpa bergantung kepada institusi lain, katakanlah, cukup menggunakan alarm, satuan pengamanan internal, padlocks, CCTV, dan lainnya.
Tetapi, dengan memusatkan para pekerja secara kolektif di tempat produksi, atau menyatukan mereka dengan alat-alat produksi, itu justru merupakan benih-benih material bagi kelas pekerja untuk menentang kelas kapitalis. Dengan kata lain, proses produksi kapitalis yang menyatukan kelas pekerja secara sosial menjadi lahan gembur tumbuhnya kekuatan kelas ini secara terorganisir. Karena setiap hari mereka berkarya secara kolektif dengan saling bergantung antara satu dengan yang lain di bawah kendali jam produksi. Mereka juga secara bersama mengetahui kewajiban-kewajiban dan hak-haknya. Nafas dari proses produksi dan reproduksi kapital, oleh karena itu, ditentukan oleh kemampuan kelas kapitalis di dalam mengontrol kelas pekerja dalam produksi dan membatasai kemampuan kelas ini mengorganisir diri sebagai produser, membentuk dan mempertajam hirarki di antara kelas pekerja agar supaya mereka mengakui dan menerima kelas kapitalis sebagai agen sentral. Hanya inilah merupakan basis kapital, dan dengan pemisahan kelas pekerja dari penguasaan alat produksi, maka kapital dapat direproduksi terus-menerus. Oleh karena itu, menurut Clarke, pencangkokkan kelas pekerja oleh kelas kapitalis bukan diberikan oleh kekuataan eksternal yang memisahkan mereka dari penguasaan alat produksi, tetapi sepenuhnya bergantung kepada kemampuan kapitalis untuk memanfaatkan senjata material, ideologi dan politik untuk mempertahankan kekuasaanya secara efektif atas kelas ini di arena perjuangan kelas.
Seperti sudah disampaikan, kapital menciptakan faktor penghambat bagi reproduksi dirinya sendiri dan hanya bisa dipecahkan secara temporal melalui perjuangan kelas, dengan bersandar kepada basis kekuasaan materialnya. Nah, dalam usaha untuk menghalau hambatan itu dalam perluasan reproduksi kapital, atau akumulasi kapital, kaum kapitalis menggunakan semua senjata, dan salah satu yang penting adalah kekuasaan Negara. Di sini, menurut Clarke, Negara bukan agen fungsional yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan kontradiksi, tetapi tidak lebih dari sebuah badan pelengkap, yang dipakai kaum kapitalis dalam usaha memenangkan perjuangan kelas, dengan menunda-nunda ledakan dari kontradiksi kapital itu sendiri. Pada momen tertentu, dari sisi kontinjensi perjuangan kelas, kelas kapitalis berusaha memenangkannya dengan memengaruhi proses-proses politik, misalnya, mempengaruhi kebijakan/undang-undang tentang upah buruh yang rendah, menentang kebijakan-kebijakan redistribusi, dan lain sebagainya. Sebaliknya, dari sisi kelas pekerja, sifat kontinjensi perjuangan kelas bisa saja mengambil bentuk tuntutan kenaikan upah dan aneka benefit, pembentukan serikat pekerja, pemogokan-pemogokan, penutupan pabrik, pembentukan partai politik, atau bahkan dalam karakter revolusi sosialis — yakni merebut kekuasaan negara lantas mentransformasikan hubungan produksi kapitalis menjadi sosialistik.
Dengan gambaran di atas, apa yang ingin dikatakan Clarke adalah bahwa Negara sama sekali bukan suatu keniscayaan di bawah logika swa-reproduksi hubungan kapitalis. Menurutnya, keniscayaan Negara tidak bersifat formal dan abstrak, dengan kata lain, tidak tertanam di dalam logika M – C – M.’ Sebaliknya, Negara adalah sebuah keniscayaan sejarah, lahir dari perkembangan perjuangan kelas, merupakan sebuah alat kolektif untuk dominasi kelas. Clarke menandaskannya:
Secara logika, negara tidak tumbuh keluar dari kapital [mekanisme M – C – M’], tetapi secara historis, dia tumbuh mekar dari perjuangan kelas (1991:5).
Dengan dalih semacam itu, Clarke berbeda dengan teori instrumentalis, teori struktural, dan teori logika kapital yang mengesensialkan sifat kapitalistik dari Negara. Baginya, sifat itu hanya rupa permukaan saja. Gambaran esensial dari Negara adalah karakteristik kelasnya.
Refleksi
Semenjak Marx sendiri tidak pernah mewujudkan niatnya menulis tentang Negara secara khusus, dan karya-karyanya tentang topik ini bertebaran di mana-mana, baik secara abstrak maupun merujuk ke peristiwa-peristiwa sejarah tertentu, maka menurut saya, jalan keluar paling baik untuk memahami teori Marx tentang negara dan atau teori Marxian tentang negara adalah dengan kembali melihat semua karya-karyanya itu dengan merujuk kepada dialektika materialisme, metode ilmiah yang membedakan Marxisme dari ideologi ilmu borjuis (Marx, 1973: 100-8, Marx, 1970: 19). Argumen ini mengantarkan pada empat catatan reflektif.
Pertama, dengan metode dari abstrak ke konkrit (‘rising from the abstract to the concrete’) (Marx, 1973:100-8), karya-karya Marx tentang Negara bisa ditelusuri dari naskah-naskah seperti di the German Ideology atau Preface to a Contribution to Political Economy. Di kedua karya itu, kita bisa melihat bahwa kajian tentang negara mesti dimulai dari aspek paling mendasar di dalam materialisme sejarah, yakni dengan menyingkap aspek corak produksi (kombinasi antara tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi). Dalam langgam yang sama, maka kita harus merujuk ke Capital, karya agung teoritik Marx yang menyingkap bagaimana sistem kapitalisme bekerja. Saya berpendapat, Capital merupakan fondasi teoritik paling solid untuk mengembangkan teori Negara borjuis, yakni dengan mengabstraksikan dari logika kontradiksi di dalam kapitalisme itu sendiri. Teori logika kapital dan teori perjuangan kelas, terlepas dari perbedaan-perbedaan pendekatan keduanya, merupakan contoh-contoh bagaimana para teoritisi Marxis berusaha mengerti Negara borjuis dengan kerangka semacam itu.
Kedua, investigasi dari konkrit ke abstrak (‘to advance from the particular to the general’) (Marx, 1970:19), bisa dilihati dari karya Marx seperti the Eighteent Brumaire of Louis Bonaparte dan the Civil War in France. Dengan prosedur investigasi ini, kita menemukan momen-momen sejarah tertentu di mana sifat-sifat kekhususan negara yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Karya Lenin, bisa dikategorikan ke dalam kelompok ini, ketika dia menekankan kekhususannya dalam pengalaman revolusi Russia. Proyek Miliband yang mengacu kepada negara kapitalis di negeri-negeri Barat dengan pendekatan empirisnya yang kuat, juga dapat dikatakan tergolong di sini. Karenanya, dari pada mempertentangkan klaim mengenai ‘Negara sebagai alat’ dan ‘otonomi Negara,’ lebih baik melihat itu sebagai karakteristik Negara di dalam momen kesejarahan tertentu. Lebih pokok, melihat karakteristik negara semacam ini sebagai kontinjensi, yang ditentukan oleh perkembangan-perkembangan perjuangan kelas, hal yang tak terhindar akibat kontradiksi internal.
Ketiga, bagaimana dengan Manifesto? Tak bisa disanggah, naskah ini merujuk pada momen kesejarahan tertentu, seperti disinggung sejarawan Hobsbawm (1998: 13). Menurut saya, tidak penting menyoal Manifesto, karena tidak mengelaborasikan secara dalam frasa ‘Negara sebagai alat kelas kapitalis,’ atau ‘Negara sebagai proletariat yang terorganisasi,’ katakanlah, dibanding dengan dengan the Civil War in France dan the Eighteent Brumaire of Louis Bonaparte. Jauh lebih penting adalah meletakkan kedua frasa itu dalam konteks perjuangan kelas di masa itu. Ada juga aspek paling mendasar yang bisa diambil hikmahnya dari sini; sebagai sistem yang kontradiktif, yakni, ketegangan yang tidak terdamaikan antara perkembangan tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produksi, maka kapitalisme akan mengalami kehancuran dari dalam. Inilah yang Marx (1976) maksud dengan ‘kapitalisme menciptakan negasi bagi dirinya sendiri.’ Tentu saja, bukan seperti menunggu lotere, mengimpikan kedatangan kehancuran itu, tetapi aktif menyingkirkannya melalui perjuangan kelas, termasuk merebut kekuasaan Negara, guna mengakhiri eksploitasi kelas pekerja oleh kelas kapitalis. Kedua frasa Manifesto musti dibaca menurut penalaran itu.
Keempat, perkembangan kontemporer kapitalisme yang kian mengglobal semakin menunjukkan Negara borjuis tidak pernah kehilangan karakter kelasnya. Kendati negara bangsa secara politik dibentuk berbasis nasional, dipelihara melalui manipulasi aneka simbol identitas dan ideologi nasional, tetapi karakter kelasnya melampaui batas-batas nasional, setelah internasionalisasi kapital — kapital industri, kapital keuangan, dan kapiatl komerial — merontokkan batas-batas itu. Buktinya, hukum kepemilikan dan kontrak kapitalis merontokkan sistem hukum dan konstitusi nasional, mengintegrasikan negara bangsa secara mentah-mentah ke dalam logika akumulasi kapital berskala global. Dan tendensi ini, selalu dimulai dengan krisis-krisis kapitalisme, terutama sejak 1970an. Kemunculan Negara neoliberal, dengan orientasi ekstrim perlindungan hak milik privatedan pemaksaan fundamentalisme pasar yang agresif, tak salah lagi merupakan kemenangan kelas kapitalis dalam perjuangan kelas, untuk keluar dari krisis. Efeknya, seperti di negeri-negeri kapitalis maju, nafas kelas pekerja kian sumpek, karena obat krisis adalah program austerity, tiada lain pendisiplinan kelas pekerja, untuk menjadi subyek neoliberal, dengan merogoh dalam-dalam kantongnya sendiri untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan jasa-jasa pelayanan lain.
Di negeri-negeri kapitalis yang sedang berkembang, seperti Indonesia, kebrutalan sistem ini berlangsung, misalnya, melalui eksploitasi berbasis absolute surplus-value, dengan memperpanjang jam kerja dan atau melipat-gandakan beban kerja selama jam kerja, tetapi dengan upah yang sama dan rendah. Pengalaman ini bisa dengan mudah ditelusuri secara konkrit pada industri-industri kapitalis di sektor manufaktur, pertambangan, dan perkebunan. Tak kalah kejamnya, atau bahkan lebih, proses penghancuran bentuk-bentuk corak produksi pra-kapitalis berjalan cepat dan meluas di mana-mana: di permukaan, hadir dalam bentuk perampasan tanah-tanah petani dan masyarakat adat, sering berlangsung berdarah-darah, hanya dengan satu tujuan: membuka ruang baru untuk reinvestasi surplus-value.
Dari semua cerita ini, ada Negara borjuis di sana. Bussiness as usual.***
More aboutANTO SANGAJI : Manifesto Komunis dan Teori Negara