The Importance of Sports in the Life of a Student

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Kamis, 24 November 2011


The importance of sports in the life of a young student is invaluable and goes much further than the basic answer that "it keeps kids off the streets." It does in fact keep kids off the streets, but it also instills lessons that are essential in the life of a student athlete. Sports play a pivotal role in the makeup of a young athlete, especially in the middle school to high school years where student athletes are much more mature and mentally developed. Where else can a young, impressionable youth learn values like discipline, responsibility, self confidence, sacrifice, and accountability? Television, which may be the most influential tool in the lives of young adults, does not show enough of these qualities, nor is it on the Internet, or radio. Rather it is up to the parents, teachers, sports teams, clubs, and after school programs to help mold, develop, and instill these qualities into the lives of student athletes. I believe in order for this to happen, school sports programs must have a few components in place. The first thing they need is a good core of coaches that understand the great responsibility that is placed upon their shoulders to help shape and prepare these student athletes not only in sports, but in their everyday lives. Yes, I did say coaches, because it is a responsibility that lies on the shoulders of more than one person and it is going to take more than one person to help lead these student athletes to success.
The second component also involves the coaches: It is the ability to capture the admiration and the trust of the athletes. This is crucial because if you can capture a person's admiration and trust you can motivate them to perform at a higher level not only in sports, but also in their own lives. If you can get the athletes to believe in you and your philosophies you can begin to see significant changes in grades and behavior. It all starts with coaches that have a plan and methodology behind the principles they are teaching. As I said earlier, there is a great responsibility on the coaches to help young student athletes make a smooth transition into society.
The third and I believe the most crucial of all is the support that comes from the community, and administration. This is very important because student athletes need to know they are appreciated and there is no greater way than for the community, booster club, and commissioners/treasurers to show that appreciation than to get involved in youth athletics. In order to accomplish this it's going to take investment and the most valuable investments are money and time. The more invested, the better the results. I can attest that there is no greater investment than the future of our young student athletes. When these things are in place, I believe student athletes will benefit and the results will be evident not only on the field, but long after they step off of it.
More aboutThe Importance of Sports in the Life of a Student

Student Development Theory

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Historical of Student Development Theory

The earliest student development theory — or tradition — in Europe was in loco parentis. Schools acted on behalf of parents for the good of their students and concentrated on character development which mostly meant instilling students with traditional Christian values through strict rules and enforced by rigid discipline. Thus the main focus was on the development of students' character rather than on their intellect.
The first changes came in the late nineteenth and early part of the twentieth century, with the increasing growth of universities and development of the social sciences like psychology. By mid-twentieth century, theorists such as B.F. Skinner and Carl Rogers influenced the thinking about students and a new paradigm developed: the student services paradigm as the name indicates stated that students should be provided with services they require in order to better gain knowledge
Soon after, the student service paradigm started to be replaced by the student development paradigm. This paradigm was influenced by the growing body of psychological and sociological theories, reflecting the idea that students learn both in-class and out-of-class, and are influenced both by their genetics and social environment (see nature vs nurture dilemma).
Basic assumptions guiding the student development movement:
  1. Each student is a different individual with unique needs.
  2. The entire environment of the student should be taken into account and used for education.
  3. Student has a personal responsibility for getting educated
Theory

Student development theories generally can be divided into five categories:
  1. Psychosocial. Psychosocial theories focus on long-term issues that tend to occur in sequence and are correlated with chronological age, concentrating on individuals progress through various 'life stages' by accomplishing certain deeds.
  2. Cognitive-Structural. Cognitive-structural theories address how student perceives and rationalize their experiences.
  3. Person-Environment. Person-environment theories address interaction between conceptualizations of the college student and the college environment, looking at behavior as a social function of the person and the environment. Those theories are particularly common in career planning.
  4. Humanistic Existential. Humanistic existential theories concentrate on certain philosophical concepts about human nature: freedom, responsibility, self-actualization and that education and personal growth is encouraged by self-disclosure, self-acceptance and self-awareness. These theories are used extensively in counseling.
  5. Student Development Process Models. Student development process models can be divided into abstract and practical.
There are dozens of theories falling into these five families. Among the most known are:
  • Arthur W. Chickering's theory of identity development
  • William Perry's Cognitive Theory of Student Development
More aboutStudent Development Theory

Inovasi vs Birokrasi

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Rabu, 23 November 2011


Inovasi versus birokrasi
Inovasi merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalani hidup. Tanpa inovasi, hidup akan serasa hambar dan “begitu-begitu saja”. Sebaliknya, dengan inovasi, hidup ini lebih berwarna dan berkembang. Selalu ada hal-hal baru dan segar yang dihasilkan melalui inovasi. Termasuk dalam tubuh sebuah organisasi. Organisasi tanpa inovasi akan melahirkan stagnasi. Organisasi yang kaya inovasi akan selalu kreatif dan produktif. Singkat kata, inovasi juga menjadi begitu penting dalam aktivitas di sebuah organisasi. Namun, organisasi diatur dengan sistem dan aturan tertentu, yang kemudian kita menyebutnya dengan birokrasi. Aturan-aturan inilah yang bisa menjadi lawan munculnya inovasi. Mengapa bisa begitu? Bagaimana solusinya? Mari kita kupas satu per satu.

Inovasi lahir dari kreatifitas. Tanpa kreatifitas, inovasi tidak akan lahir, merangkak, berjalan dan berlari. Maka, ketika kreatifitas terhambat, inovasi akan tumbuh kerdil atau bahkan tidak lahir sama sekali. Untuk itulah, kreatifitas tidak boleh mati, atau sekedar “kurang gizi”. Madhukar Shukla, pengarang buku The Creative Muse: Story of Creativity and Innovation menyatakan, "Beda antara orang kreatif dan yang tidak hanyalah pada kemampuan orang kreatif dalam menghalau aral (penghalang) kemampuan kreatifitas." Maka, untuk melahirkan kratifitas, aral rintangan harus dihapuskan. Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas.

Apa saja yang rantas dan di tuntas? Dalam Birokrasi terdapat sejumlah rintangan yang harus diwaspadai karena akan menjadi potensi besar menghalangi kreatifitas dan inovasi.


Rintangan pola pikir

Dalam konteks kreatifitas, dikenal dua pola berpikir. Pertama adalah pola pikir produktif yang artinya jika dihadapkan pada suatu masalah, seseorang akan berusaha menemukan cara berpikir berbeda, cara pandang baru (sekalipun tidak selalu orisinil), sikap dan perilaku berbeda, merespon dengan cara-cara non konvensional, bahkan unik. Pola semacam inilah yang membuka jalan dan selalu merangsang kreatifitas seseorang.

Kedua, adalah pola pikir reproduktif yang artinya jika dihadapkan pada masalah, seseorang akan cenderung merespon dengan cara yang sama, mengulang pola pikir atau cara pemecahan lama yang sudah terbukti berhasil. Itu sebabnya pola pikir reproduktif menjadi salah satu penyebab utama kekakuan berpikir, dan dengan demikian menjadi aral kreatifitas.

Seringkali, pola pikir reproduktif berlangsung secara mekanikal atau nyaris otomatis. Dan ini terkondisikan oleh hasil pendidikan model skolastik atau lingkungan yang menuntut cara-cara berpikir praktis dan sangat terstruktur. lingkungan birokratislaah yang memiliki potensi ini. Sampai pada saat kita mentok dalam upaya pencarian variasi solusi, di titik itulah baru kita sadari keterbatasan pola pikir reproduktif.

Rintangan ketakutan

Barangkali aral kreatifitas yang paling mudah dikenali adalah rasa takut. Aral ini bisa berupa takut diabaikan, takut dicemooh, takut dievaluasi, takut dihakimi, takut dianggap bodoh, takut pada ketidaksempurnaan, takut mencoba, takut ambil risiko, takut ide tidak berjalan seperti yang diharapkan, takut gagal, dll. Salah satu sebab mengapa banyak rapat-rapat kurang maksimal atau kurang kreatif adalah karena masih kuatnya aral ketakutan yang membelenggu para pesertanya. Pendek kata, kebanyakan rasa takut membuat seseorang cenderung enggan mewujudkan potensi dan mengembangkan kreatifitasnya.

Ketakutan ini bisa muncul dari kungkungan tempurung yang membelenggu. Maka tak heran munculnya istilah: bagai katak dalam tempurung. Secara ringkas, birokrasi mempunyai potensi menjadi tempurung-tempurung bagi kreasi dan inovasi.


Rintang kebiasaan
Sebagai perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan, maka kebiasaan pun jelas berpengaruh pada kreatifitas. Orang-orang kreatif umumnya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menstimulasi kreatifitas. Sementara orang-orang yang kurang kreatif juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang sayangnya bisa meredam kreatifitas. Misalnya; suka menghindari masalah (bukannya mencari solusi), malas berpikir, menghindari tantangan, menghindari tanggung jawab, menghakimi ide-ide baru, berpuas diri, menghindari hal-hal imajinatif, dll. Dihadapkan pada kebiasaan-kebiasaan maka tantangan kreatifitas tidak ada artinya.


Rintang Organisasi
Kini organisasi bisnis menempatkan kreatifitas sebagai motor sekaligus bahan bakar inovasi. Sekalipun peran kreatifitas diakui besar, namun banyak organisasi gagal menyediakan lingkungan atau iklim yang kondusif bagi kreatifitas. Organisasi yang konservatif biasanya kurang merangsang kreatifitas. Sebut pula batasan-batasan seperti hirarki, aturan yang tidak fleksibel, ketiadaan wadah bagi ekspresi kreatif, egoisme antar departemen, buruknya komunikasi, atau situasi organisasi yang sangat terpolitisasi. Potensi kreatif individu sering tidak maksimal dalam iklim seperti ini.


Rintang Kepemimpinan
Dalam kehidupan sosial dan organisasional, faktor gaya kepemimpinan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses kreatifitas. Jika pemimpin organisasi kurang memberi ruang kebebasan, kurang bisa momotivasi, tidak mampu memberi tantangan, tidak mampu mengelola hasrat kreatif, kurang memberi penghargaan, tidak memberi kepercayaan, tidak mendukung, dan tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif, maka kreatifitas individu-individu dalam organisasi jelas akan terhambat. Seberapa kreatif individu-individu dalam tim, namun jika tidak didukung oleh kemampuan manajemen kreatif pemimpinnya, hasilnya juga kurang menggembirakan.

Itulah beberapa potensi rintangan yang dimiliki Birokrasi sehingga menghalangi munculnya kreatifitas dan inovasi. Lalu, bagaimana? Apakah akan selamanya birokrasi akan menghalangi inovasi?
More aboutInovasi vs Birokrasi

Organisasi Pelajar yang (seharusnya) nggak perlu ribet

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn


Sebenernya saya belum lama terjun di dunia organisasi pelajar yang berbasis tingkat daerah atau sederajat-lah, beberapa bulan yang lalu melalui Musyawarah Daerah salah satu organisasi pelajar Islam tingkat kota Surabaya, saya mendapatkan amanah untuk memimpin organisasi tersebut. Wah, itu beban + amanah dan tanggungjawab yang sangat besar dan berat sekaligus tantangan luar biasa dilain sisi saya pun juga berpikir, ini lah juga kesempatan saya untuk mengembangkan ide-ide dan konsep-konsep yang saya miliki untuk pengembangan potensi teman-teman pelajar. Setelah pertimbangan diselingi sedikit perdebatan dalam hati, yah, akhirnya saya terima tawaran tersebut, dihadapan peserta musyawarah pun saya sudah memberikan sambutan. Hmmm, sekalian itung-itung belajar jadi pejabat lah hahaha...

Selang 1-2 hari pasca musyawarah tersebut, keadaan masih tenang dan stabil. Semangat saya pun mulai tumbuh dan meningkat untuk ngurusin sebuah organisasi ini yang saya anggap inilah tantangan untuk saya. Saya mulai mencoba menghimpun teman-teman anggota saya yang ada di organisasi tersebut untuk saya organisir dan saya mulai apayang dinamakan Organization Management Theory. Sebuah ilmu bagaimana mengorganisir sebuah organisasi untuk saya (yg notabene masih pemula dlm memimpin) Memang tidak saya sangkal, saya memiliki track record yang bisa dibilang cukuplah di organisasi, bukan hanya organisasi yang sekarang saya pimpin tapi diluar saya sudah cukup kenyang denan apa yang disebut Training Camp, Leadership, Pengkaderan, Orientasi, Managemen Organisasi dan lain sebagainya lah hingga ilmu-ilmu yang ditularkan ayah saya kepada saya mengenai kepemimpinan dan organisasi.sedikit cerita Ayah saya adalah seorang yang saya kagumi, ia memulai karir dari nol hingga saat ini dipercaya memimpin beberapa perusahaan baik swasta dan milik negara. Selain itu, ayah saya juga seorang akademisi, ia seorang Dosen Akuntansi dan juga seorang konsultan, selain itu ia juga pernah terjun di organisasi. Menurut saya, ayah saya sudah khatam dengan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa dan melalui pengalaman-pengalamannya itu ilmunya ditularkan kepada saya.

Kembali ke posisi saya di organisasi yang baru ini, mungkin selang 3 hari setelah musyawarah saya mulai mendengar isu-isu tidak baik mengenai pengangkatan saya sebagai pimpinan diorganisasi ini, ada yang mempermasalahkan saya tidak sarat adminstrasi dan lain sebagainya dan inilah awal saya mulai berpikir dimana organisasi pelajar pun harus kental dan sarat peraturan dan birokrasi. Saya, salah satu orang yang benci birokrasi dan peraturan. Konsep tersebut menurut saya adalah upaya memperlambat laju perkembangan baik itu negara maupun sumber daya manusia. Mulai saat itu semangat saya mulai menurun, ditambah lagi pihak Pimpinan organisasi menyelenggarakan semacam pemilihan ulang pimpinan yang baru dan terkesan hasil musyawarah kemarin dimentahkan begitu saja. Saya tambah kesal dan kecewa lagi, jika di hitung persentase mungkin semangat saya tinggal 10% lebih dikitlah... tapi saya menyadari itulah dinamika, sebuah dinamika organisasi yang menunjukan bahwa semangat kritisme hidup didalam organisasi itu, saya menerima dengan ikhlas dan legowo hasil keputusan rapat pemilihan yang menarik saya dari pimpinan dan menghasilkan pimpinan baru, sampai sana saya sadar saya bukan orang lama disini, gue masih baru menn..." saya pun menerima keputusan dan sedikit demi sedikit semangat mulai tumbuh kembali untuk bersama-sama membantu menjalankan organisasi.

Hari demi hari pun terus berjalan dengan indahnya dinamika klasik dari organisasi yang tak henti-hentinya bergulir bagai bola panas yang menghantam sendi-sendi kesatuan dan ketahanan organisasi tersebut, hingga pada akhirnya pimpinan organisasi yang lama (yg masih berwenang krn yg baru blm dilantik) mengundang saya termasuk teman-teman lain untuk kembali menghadiri rapat konsolidasi. Rapat tersebut menurut saya cukup menarik, banyak argumen, kritik, pertanyaan-pertanyaan tajam dan lain sebagainya yang salah satunya mempermasalahkan kedudukan dan posisi saya hingga harus turun sejenak dari pimpinan (yg sdh dipilih saat musyawarah) tanpa solusi dan konklusi yang konkrit. Bahkan, didalam rapat tersebut pecah dengan tangisan haru salah satu peserta rapat, dan dalam hati saya bicara "dramatis banget organisasi ini.." 

Rapat internal tersebut yang lebih saya menyebutnya sebagai momen sanggah-sanggahan dan perang argumen itu usai hingga hampir tengah malam dengan keputusan yang sangat lucu dan menggelitik, yaitu kembali mengangkat saya lagi sebagai ketua / pimpinan dan mementahkan hasil rapat pasca-formatur (yg mementahkan keputusan musyawarah) Didalam hati, rasa kesal,mangkel,lucu,menggelitik campur baur jadi satu. Yang saya kesalkan, saya dan teman-teman lain (sesama  anggota pimpinan baru) yang merasa seperti dipermainkan dalam kondisi dinamika organisasi klasik penuh keribetan dan keberatan-keberatan lain, saya berpikir dalam hati "Ini organisasi yang kedudukannya tingkat kota lho, yang mengaku memiliki peraturan runtut tentang tata-cara pemilihan pimpinan yang dianggap sakral, masih bisa ya main-main dengan dinamika peraturannya dan sikap internalnya yang seakan terpecah tidak menjadi satu suara" . Tetapi lucunya, sebuah forum didalam organisasi yang dalam jangka waktu musyawarah bisa memilih hingga 3x pimpinannya, kalo di DPR sana sudah jadi ajang banyak-banyakan amplop tuh hahahaha...

Dan, finally keputusan tersebut berlaku hingga saya menulis artikel di blog ini sekarang dan dengan kekuatan semangat yang sudah tidak bisa maksimal lagi seperti awal (udah ditengah-tengah) saya berusahalah sebisanya dan semampunya hingga muncul prinsip baru saya di organisasi ini "Aku jalankan dan aku laksanakan sebisa dan semampuku, saya bukan orang yang gampang patuh dan tunduk dengan birokrasi, dan inilah saya..." cukup idealis dan apa salahnya kan?? tidak ada toh. Sejak kecil saya bukan tipe orang yang gampang diajak mbulet, gampang diajak patuh tunduk sana sini, kecuali kalo itu ada manfaatnya, kalo enggak? buat apa kan hahaha. Dan menurut saya, birokrasi itu adanya cukuplah di negara / pemerintahan saja, organisasi apalagi organisasi pelajar udahlah jangan diselip-selipkan birokrasi yang njlimet. Sampai saat ini pun saya masih diharuskan untuk mengikuti sebuah pelatihan kader di organisasi itu (yg memang sebuah syarat untuk jadi ketua) yah mungkin semacam pelatihan-pelatihan / training ditempat lainlah. Dan baru saja saya mendapatkan informasi dari teman saya bahwa ada info dari pimpinan organisasi yang tingkatan lebih diatas yang ditujukan mungkin lebih kepada saya untuk segera menyelesaikan administrasi dan mengikuti pelatihan-pelatihan organisasi jika tidak, SK / Surat Ketetapan untuk saya dan teman-teman diorganisasi saya tidak akan diturunkan hahahaha.... udah kayak birokrat apratur negara saja. Kita ini organisasi Pelajar bung... pikirkan Student Development dan Student Character atau Capacity Building aja lah buat organisasi kita...

Tapi, saya tetap salut, saya tetap bangga dengan organisasi yang saya duduki saat ini, saya berharap si Kuning ini bisa menjadi organisasi yang kokoh,kuat dan terarah menaungi dan melindungi pelajar di kota Surabaya dan tetap berpijak pada Al Quran dan As Sunnah sebagai sandaran utama. 

Organisasi Pelajar harusnya nggak perlu ribet mikirin birokrasinya, tapi kembangkan sayapnya untuk berikan yang terbaik dan lebih baik...
More aboutOrganisasi Pelajar yang (seharusnya) nggak perlu ribet