Pemberontakan 1926, Tan Malaka dan Pengkhianatan itu

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Sabtu, 16 Juni 2012


Sebuah Tulisan seorang kawan saya RAGIL NUGROHO,

Tak perlu risau. Ini versi PKI.

Bagi sebagian orang, Tan Malaka ujud dari legenda kiri. Tokoh revolusioner militan dan misterius. Tapi, bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) tak seperti itu. Tan Malaka tak lebih dari seorang pengkhianat.

Apa pangkalnya?

Tanggal 25 Desember 1925, PKI melakukan konferensi di Candi Prambanan. Ini unik, rapat partai komunis dilakukan di lingkungan candi sisa feodal. Mungkin tempat ini yang paling aman. PKI kala itu memang sedang main umpet-umpetan dengan kekuasaan penjajah. Dalam pertemuan, semua anggota Hoofd Bestuur (Komite Sentral) yang ada di Indonesia hadir. Ditambah anggota dari daerah. Hasilnya mengejutkan: PKI akan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan Belanda.

Situasi sebelum pemberontakan memang mendidih. Pemogokan buruh terjadi di berbagai lokasi. Di Semarang, Surabaya, Jakarta dan Medan, buruh melumpuhkan pabrik. Sampai Mei 1925, tercatat 65 kali pemogokan dengan melibatkan tiga ribu anggota komunis. Surat kabar revolusiner seperti Api, Merdeka, Proletar, Halilintar, dan Guntur, semakin gencar menyerang pemerintahan. Pun, kaum tani tak ketinggalan.

Setahun bersiap, 12 Nopember 1926 pemberontakan pecah. Ini tercatatat sebagai pemberontakan pertama yang dipimpin oleh sebuah organisasi.

Jalannya pemberontakan cukup mencekam.

Paling awal terjadi di Batavia. Dari Kampung Karet, 200 orang menuju Jakarta Kota. Mereka begitu percaya diri. Massa yang lain muncul dari Mangga Dua. Sementara, serombongan orang dari Tanah Abang berpapasan dengan dua orang reserse Belanda. Terjadi duel. Dua reserse itu mengalami nasib sial: tewas. Rata-rata pemberontak membawa senjata berupa golok, pedang, tombak dan senjata api rampasan. Kantor telepon mereka duduki. Pos polisi diserbu. Sasaran bukan hanya milik pemerintah, tapi juga penguasa feodal. Di Meester-Conerlis, rumah Asisten Wedana diobrak-obrak. Setelah berlangsung dua hari, pemberontakan baru bisa dipadamkan.

Tak hanya di Batavia. Tangerang, Banten, Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kediri dan Sumatra Barat juga terjadi hal serupa. Mereka seolah muncul begitu saja. Massa berbondong-bondong membawa senjata. Tak takut bermuka-muka dengan aparat kolonial.

Memang semuanya bisa dipatahkan. Tapi menghasilkan satu hal: keberanian. Pemberontakan tak pernah sia-sia. Selalu ada pelajaran yang bisa ditimba. Sajak di nisan Aliarcham—tokoh pemberontakan yang gugur di Digul— tepat memberikan lukisan:

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas, tidak
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami jang meneruskan
Kerdja agung djuang hidupmu
Kami tantjapkan kata mulia hidup penuh harapan
Suluh dinjalakan dalam malammu
Kami jang meneruskan kepada pelandjut angkatan

Benar: pemberontakan itu akan menjadi bahan bagi para pelanjut angkatan. Takkan hilang tanpa bekas.

Ada beberapa alasan sebagai penyebab kegagalan pemberontakan itu. Di sini satu saja yang disebut: pengkhiatan Tan Malaka. Buku Pemberontakan November 1926 yang ditulis Lembaga Sedjarah PKI, menuliskan: ‘Pengchianatan trotskis Tan Malaka, baik sebelum pemberontakan, selama pemberontakan dan sesudah pemberontakan merupakan faktor jang perlu diungkapkan….’ Ada dua kata kunci di situ: ‘pengchianatan’ dan ‘trotskis.’ Trotskis adalah para pengikut Leon Trotsky, salah satu tokoh revolusioner Rusia.

Tan Malaka memang dikenal sebagai Bapak Trotskis di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Komite Esekutif Komunis Internasional Biro Timur Jauh, sebagai wakil PKI. Dalam posisi ini, menurut buku yang disusun PKI, ia berhubungan dengan orang-orang Trotskis. Dengan nada mengejek dituliskan karakter Tan Malaka yang terpengaruh ajaran Trotskis sebagai berikut: ‘…tidak lepas burdjuis ketjil intelektual jang kekiri-kirian, keburu nafsu….’ Mengapa orang kiri bisa menjadi kekiri-kirian dan keburu nafsu? Njoto menjawab dalam tulisannya, Lenin dan Pembasmian Penjakit2 Burdjuis Ketjil. Cukup gamblang jawabannya: ‘karena keliru menilai keadaan dan kekuatan. Akibatnya, meninggalkan massa dan memaksakan keadaan.‘

PKI memang berseteru dengan pengkitut Trotskis. Mereka lebih condong pada Stalin. Tak heran Tan Malaka dilibas. Ini hujaman lain. Dalam sidang Komite Esekutif Komunis Internasional bulan April 1925, Tan Malaka membuat pernyataan bersangkutan tentang revolusi Indonesia. Katanya: ‘…kita hanya menunggu keuntungan dari revolusi dunia.’ Tak pelak, PKI mencemoohnya: ‘…kalau kita ikuti pandangan Tan Malaka maka Rakjat Indonesia tidak perlu melalukan melakukan revolusi…’ Mengikuti Tan Malaka berarti cukup menunggu saat baik, yaitu datangnya revolusi dunia. Pandangan ini dicerca oleh PKI sebagai paham revolusi permanen Trotskis yang bangkrut. PKI menilai, setiap negeri mempunyai syarat-syarat sejarah dan musuh-musuh revolusi sendiri, dan tak sama pula perkembangan gerakan revolusionernya. Jadi, tak bisa dibuat berwarna seragam.

Benarkah pandangan Trotskis bangkrut? Pastinya, pandangan itu memang tak pernah besar di Indonesia. Kelompok Trotskis lebih berkembang sebagai ordo Jubah Merah, bukan sebagai gerakan politik yang menjangkar ke bumi. Mungkin mereka menunggu saat yang tepat untuk muncul: mengikuti anjuran Tan Malaka.

Kunci kedua: pengchianat. Tentu saja tuduhan ini serius.

PKI memberontak. Tan Malaka justru mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Partai ini digunakan untuk mensabot keputusan Prambanan. Tentu PKI punya bukti. Tan Malaka mengundang Suprojo dan Sugono ke Singapura, untuk diberi perintah guna menggagalkan pemberontakan. Utusan lain juga dikirim ke Sumatra Barat dengan tujuan sama. Organisasi tak satu lagi. Kesimpulan menjadi jelas: sebagai salah satu pimpinan PKI, Tan Malaka tidak tunduk pada keputusan partai dan justru mendirikan organisasi baru untuk pecah belah. Tak heran PKI melabelinya pengkhianat.

Jarak pengkhianat dan pahlawan sepertinya lebih tipis dari silir bawang. Pembongkaran yang dilakukan PKI tentu punya tujuan. Mungkin analisa PKI tak tepat. Tapi telah mengembalikan Tan Malaka ke bumi.

Bagi PKI, Tan Malaka tak ubahnya Brutus: menusuk dari belakang. Entah bagi yang lain. Bisa jadi ia seorang santo.
More aboutPemberontakan 1926, Tan Malaka dan Pengkhianatan itu

Samsir Mohammad : Berdamai dengan kenyataan (?)

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Kita semua mengetahui dan menyaksikan, kenyataan adalah kenyataan—disukai atau sebaliknya. Kenyataan tidak bisa ditolak—maksimal bisa diabaikan, diterima, dituruti atau disanggah. Itulah yang dituntut oleh kenyataan pada kita. Artinya ialah sebuah conditio sino quanon yang tidak terelakkan. Jika tidak, maka kita hanyalah akan menjadi sekawan hampa makna. Ringkasnya, kita dituntut untuk menyikapi kenyataan yang dihadapi.

Di masa lalu, ketika para pemodal menjarah kepulauan Nusantara, ketika kita belum bernama Indonesia, para pemodal itu berbekal meriam, senapan dan kelewang menduduki dan menguasai wilayah-wilayah Nusantara dengan paksa. Kenyataan itulah yang memunculkan berbagai perlawanan. Perlawanan-perlawanan itu adalah sikap terhadap penjarah yang hendak menguasai. Bermula dengan perampasan atas hasil kesuburan Nusantara, beralih menjadi Tanam Paksa, dan kemudian setelah menata birokrasi penguasaan tanah di penghujung abad ke-19 (tepatnya di tahun 1870)—ketika itu kita sudah bernama atau disebut Indonesia—secara sepihak wilayah Indonesia setapak demi setapak dinyatakan sebagai milik Kerajaan Belanda dan dinami Nederlands Indie (Hindia Belanda). Sejak itu, maka resmilah kita menjadi jajahan Kerajaan Belanda. Setalah menerapkan sistem Tanam Paksa Kerajaan Belanda menerapkan cara koeli kontrak yang memperbudak tenaga kerja Indonesia dengan upah sangat murah dan perlakuan semena-mena. Itulah kenyataan pada waktu itu.

Kenyataan itu sangat menguntungkan Kerajaan Belanda. Sebaliknya, hal itu telah memiskinkan dan menyengsarakan masyarakat-bangsa Indonesia di negerinya sendiri yang luas, sebur dan kaya sumber-sumber alamnya. Ratusan juta Gulden (mata uang Belanda kala itu) setiap tahun mengalir ke Negeri Belanda dari hasil keringat tenaga kerja Indonesia yang kala itu disebut koeli.

Adalah juga suatu kenyataan adanya kalanan-kalangan kecil yang bersikap menerima dan menuruti kenyataan tersebut sehingga mau menjadi pelengkap birokrasi kolonial. Bersamaan dengan itu, adalah juga kenyataan hadir dan tumbuh pula sejumlah kecil orang yang menyanggah kenyataan tersebut. Merekalah pada desiden yang menyanggah menentang penjajahan kolonial Belanda. Merekalah yang menyalakan semangat kebangsaan dan merintis perjuangan untuk kemerdekaan. Kehadiran dan pengorbanan merekalah yang telah mendatangkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, seusai Perang Dunia Kedua.

Mengapa Berdamai dengan Kenyataan?

Seandainya ketika kita dijajah oleh Kerajaan Belanda tidak hadir dan tidak tumbuh para deseden yang menyanggah, menentang penjajah mustahil kita bisa mencapai Kemerdekaan—Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, punya negara dan penyelenggara negara sendiri yang merdeka dan berdaulat, yang menguasai—bukan memiliki—bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan untuk apa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk, tidak lain adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam dalam pasal-pasal pada UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum (Pasal 27), tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (Pasal 31), serta fakis-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34). Itulah kenyataan. Kenyataan yang mengandung makna dari kemerdekaan kita, yang tentu saja berbeda dengan kenyataan ketika kita dijajah oleh Kerajaan Belanda.

Jadi, adalah kenyataan kita sudah merdeka. Adalah kenyataan kita punya UUD dan adalah juga kenyataan kita memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari warganegara kita sendiri. Tetapi, kenyataan itu belum juga bisa dijalankan dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh, lurus, benar dan konsisten sehingga mewujud dalam keadaan nyata yang dirasakan dan dialami oleh masyarakat-bangsa, sehingga perbedaan ketika dijajah dan setelah menjadi bangsa yang merdeka menjelma menjadi nyata.

Ketika kita dikuasai oleh penjajah kita menentang dan melawan. Sudah tentu sikap tersebu tidak cocok lagi dengan keadaan kita sekarang di mana kita sudah merdeka dan memiliki UUD Negara. Persoalannya ialah bagaimana supaya apa yang sudah ditetapkan dan ditentukan oleh UUD dipatuhi, dijalankan dengan sungguh-sungguh, lurus, benar dan konsisten. Untuk itulah kita perlu bersatu dan berjuang demi kepentingan seluruh masyarakat-bangsa dan tumpah darah Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan berdamai dengan kenyataan untuk mengubah keadaan kita sekarang dari menyusahkan menjadi tidak menyusahkan menuju keadaan yang menyenangkan masyarakat-bangsa; agar bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya di tanah air kita benar-benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang dititahkan oleh UUD 1945.

Seperti ketika kita melawan dan menentang penjajahan sebelum merdeka, kita memiliki kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Sekarang pun untuk dijalankannya UUD 1945 secara lurus, benar dan konsisten kita membutuhkan mereka, yaitu kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Jika dahulu mereka menggugah kesadaran masyarakat-bangsa untuk bersatu mencapai kemerdekaan dan menyadari bahwa penjajahan itu menyengsarakan, maka sekarang kaum terpelajar yang sehat dan patriotik hendaklah juga menggugah kemengertian dan kesadaran bernegara serta ber-UUD/konstitusi di kalangan masyarakat-bangsa. Kesadaran dan kemengertian masyarakat-bangsa itulah yang akan mengawal mereka yang menduduki kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif berserta birokrasi dan aparatnya) supaya tidak tergelincir—menghampakan makna kemerdekaan untuk masyarkat-bangsa—dan agar dijalankannya UUD 1945 dengan sungguh-sungguh secara lurus, benar dan konsisten. Semoga.
More aboutSamsir Mohammad : Berdamai dengan kenyataan (?)

Hasnul Suhaimi : Bekerja sama dan Bekerja sama

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn


Kerja tim atau teamwork tentunya dibutuhkan di dalam organisasi atau perusahaan. Selaras dengan budaya gotong royong di Indonesia, tentunya bekerja tim ini bukanlah sesuatu hal yang asing lagi di masyarakat Indonesia. Terlihat sebagai sesuatu yang sederhana dan mudah, namun aplikasinya tidak seperti itu.

Bekerja sama tentunya mengharuskan kita untuk bersama-sama mengerjakan sesuatu pekerjaan. Tetapi, bukan hanya pekerjaannya yang dilakukan bersama-sama, namun di dalam hatinya pun harus bekerja bersama-sama dengan ikhlas. Bekerja dengan setulus hati.

Inti dari kerjasama adalah mau memberi dan mau menerima, mau membantu dan mau dibantu. Yang paling berat sebenarnya adalah dibantu, bukan membantu. Orang bisa gampang membantu timnya, tetapi orang suka kesal kalau dibantu oleh orang lain, karena merasa sudah mampu melakukan pekerjaan tersebut tanpa bantuan orang lain. Ini yang mesti dihindari. Saya artikan teamwork sebagai itu. Bekerja bersama-sama, hatinya bersama-sama, pun saling bantu-membantu.

Satu hal lagi selain bantu-membantu adalah saling memberitahu. Sama halnya dengan bantu-membantu, di dalam kerja tim orang senang memberitahu tetapi terkadang suka kesal kalau diberitahu karena merasa diajari. Jika seseorang bisa membantu dan juga dibantu, maka lebih mudah baginya untuk mengembangkan diri dan berkolaborasi dengan tim.
More aboutHasnul Suhaimi : Bekerja sama dan Bekerja sama

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn



Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah tokoh mahasiswa lainnya di Eropa, telah menjadikan konsep menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan yang sewenang-wenang. Persatuan teori dan praktek ini dapat dibilang pelajaran yang paling berharga dari rekaman sejarah yang diukir oleh revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika dan bagian dunia lainnya

Tradisi historis yang mengandung gagasan ini dimulai dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengenal kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.

Sama seperti persatuan antara teori dan praktek merupakan penuntun yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat ini, begitu pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi, revolusi yang sadar, hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerakkan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan kata lain, jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi. Ini adalah konsepsi utama yang diberikan Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.

Kita akan coba melihat bahwa kedua konsep itu, menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasiswa di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali dalam aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.

Gerakan mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana dan di Amerika Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di dunia Barat tempat kita hidup, walaupun keadaannya sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.

Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika Serikat termasuk di dalam perkecualian itu; para buruh imigran yang dibayar rendah di Eropa Barat juga termasuk di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat, mahasiswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima gaji atau upah yang mendapat bayaran lumayan. Ketika memasuki universitas mereka secara umum tidak disiapkan oleh hidup yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan lengkap tentang alasan-alasan perlunya perlawanan sosial. Mereka baru akan memahaminya ketika berada di dalam kerangka universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian atau golongan kecil elemen-elemen yang memiliki pengetahuan politik yang memadai, tapi kepada massa mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi, yang membimbing mereka pada jalan perlawanan

Singkatnya, ini sudah mencakup organisasi, struktur dan kurikulum universitas yang amat tidak memadai dan serangkaian fakta material, sosial dan politik yang dialami dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh kebanyakan mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik borjuis yang berusaha memahami perlawanan mahasiswa, harus memasukkan sejumlah pernyataan di dalam analisis mereka terhadap lingkungan mahasiswa, yang telah lama mereka enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.

Beberapa hari yang lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material. Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan karena mereka diperlakukan buruh seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar borjuis ini sebagian telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa. Struktur universitas borjuis hanyalah cerminan dari struktur hirarki yang umum dalam masyarakat borjuis; keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadaran sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berlebihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.

Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempelajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu bahwa sampai Perang Dunia II, wewenang paternal paling sedikit dipertanyakan di negara itu. Kepatuhan anak terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyarakat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan adanya generasi orang tua di Jerman yang menerima Nazisme, mendukung Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan menghadapi resesi, krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun dari dua atau tiga generasi orang tua seperti itu kini menghasilkan rasa jijik di kalangan anak muda terhadap wewenang orang tua mereka. Perasaan ini membuat anak-anak tersebut, saat memasuki universitas, tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu saja, tanpa perlawanan.

Mereka pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang obyektif tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk universitas masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa harus mendengar dosen-dosen berbicara melalui sound system. Mereka tidak dapat berbicara dengan dosen-dosen itu atau sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog. Perumahan dan makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya makin menajamkan kekuatan pemberontakan mahasiswa. Tapi, perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur otoriter dari universitas dan substansi yang sangat lemah dari pendidikan, paling tidak dalam bidang ilmu sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.

Inilah alasan mengapa usaha-usaha mengadakan reformasi di universitas, yang disorongkan oleh sayap liberal dalam keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan mencapai tujuannya karena tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan mahasiswa. Mereka tidak berusaha menekan sebab-sebab keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.

Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diajukan oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam kenyataan, rancangan reformasi itu tidak lain untuk meluruskan organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat neo-kapitalis. Tuan-tuan itu mengatakan: tentu sangat disayangkan adanya proletariat akademis; sayang sekali begitu banyak orang yang meninggalkan universitas dan tidak berhasil mendapat pekerjaan. Ini akan menimbulkan ketegangan sosial dan ledakan sosial.

Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan membenahinya dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi neo-kapitalis. Di tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik jika dikirim 100.000 insinyur daripada 50.000 orang sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak. Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan fungsi universitas pada posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan keterasingan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universitas dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan, disiplin ilmu dan bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di universitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis coba mencari slogan-slogan transisional dalam gerakan sosial lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power" tidak dapat diangkat di dalam lingkup universitas. Dalam masyarakat luas slogan ini memang dihindari karena artinya bahwa sebuah minoritas kecil menempatkan dirinya sebagai pemimpin mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management" oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.

Tapi di sinipun aku akan hati-hati karena banyak persoalan yang membuat universitas berbeda dari pabrik atau komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teoretisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanyakan mahasiswa memang akan menjadi buruh atau sudah setengah buruh. Mereka dapat dibandingkan dengan orang yang magang di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut kerja intelektual dengan orang magang di pabrik-- dari sudut kerja manual. Mereka memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang khas dalam masyarakat. Karena itu kita harus hati-hati merumuskan slogan tentang transisi ini.

Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan ini sekarang. Mari kita terima saja gagasan "student power" atau "student control" sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan ini yang tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengubah sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal ini universitas borjuis, dan berpikir bahwa masalah sosial dapat diatasi di segmen tertentu tanpa mengubah masalah sosial dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual. Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.

Sekali lagi, ini bukan observasi teoretis yang jatuh dari langit. Ini adalah pelajaran dari pengalaman praktek. Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah melalui pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa. Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dengan isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai bergerak keluar batas-batas universitas. Gerakan itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah penindasan komunitas kulit hitam diangkat oleh sejumlah mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak di kalangan elemen yang maju, yang paling peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.

Mereka terlibat dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di negara-negara berkembang seperti Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainnya Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana diferensiasi politik yang nyata terjadi di kalangan gerakan mahasiswa kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu oleh aksi solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran berkunjung ke Berlin.

Para mahasiswa pelopor tidak sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan perjuangan di Aljazair, Kuba dan Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin memulai aksi yang revolusioner tanpa analisis teori tentang asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang revolusioner menentang imperialisme.Melalui analisis tentang kolonialisme dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan terorganisir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis internasional di mana kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem ini, kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti kenapa kita harus mengikatkan diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri di mana mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk memahami alasan-alasan terdalam dari masalah sosial dan perlawanan.

Kesatuan Teori dan Aksi

Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang dinamis, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik keharusan perjuangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus menyadari bahwa mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perdebatan di antara orang-orang tuli, di mana sebagian pengunjung mengatakan, "yang penting aksi! Tidak perlu yang lain, yang penting aksi!" sementara di pihak lain ada yang mengatakan, "Tidak, sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku." (tepuk tangan)

Jawaban yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan revolusioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan (tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya katakan sebelumnya, kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali melalui aksi.

Setiap bentuk teori yang tidak diuji melalui aksi bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya menjadi teori yang tidak berguna dari sudut pandang pembebasan manusia. (tepuk tangan) Hanya melalui usaha terus menerus memajukan keduanya pada saat bersamaan, tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal lain yang membuat saya tersentak, dan benar-benar menyentak karena diajukan dalam satu pertemuan orang-orang sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu dimensi baru dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak ada para aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di pihak lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat dalam aksi demonstrasi, maka mereka tidak akan punya waktu berpikir atau menulis buku, dan dengan begitu maka ada elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang.

Saya katakan bahwa setiap pernyataan yang menyebut adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran di dalam gerakan revolusioner, yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar dan elit yang kerja pikiran, secara mendasar bukan pernyataan sosialis. Pernyataan itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama dari gerakan sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya dalam organisasi tapi, lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang sosialis revolusioner pada 50 atau 100 tahun yang lalu belum dapat melihat hal ini dengan jelas, seperti kita sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk mencapai tujuan itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan pendidikan yang memungkinkan tercapainya hal itu. Salah satu pelajaran berharga yang harus kita ambil dari kemunduran Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan antara kerja manual dan kerja intelektual dipertahankan pada masyarakat yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju sosialisme dalam bentuk lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan birokrasi dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)

Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan tentang pemisahan kerja manual dan kerja pikiran dalam gerakan revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi yang baik jika tidak terlibat dalam aksi, dan tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima, memperkuat dan memajukan teori. (tepuk tangan)

Gerakan mahasiswa Eropa telah mencoba mencapai hal ini sampai tingkat tertentu di Jerman, Prancis dan Italia. Di sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi dengan sosiolog terkemuka, ahli politik dan ekonomi dan mengalahkan mereka dalam bidang ilmu mereka sendiri. (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan hanya tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.

Perlunya Organisasi Revolusioner

Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain dari kesatuan teori dan aksi yang sudah menjadi perdebatan dalam gerakan mahasiswa Eropa dan Amerika Utara. Saya secara pribadi yakin bahwa tanpa organisasi yang revolusioner, bukan suatu formasi yang longgar tapi sebuah organisasi yang serius dan permanen sifatnya, maka kesatuan teori dan praktek tidak akan bertahan lama. (tepuk tangan)

Ada dua alasan. Yang pertama berhubungan dengan asas dari mahasiswa sendiri. Status kemahasiswaan, hanya berlaku untuk jangka waktu yang singkat, tidak seperti buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat memperkirakan apa yang terjadi setelah ia meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemimpin partai-partai komunis di Eropa yang menentang perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: "Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menjadi bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius."

Ini adalah argumen yang tolol karena tidak mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan universitas sekarang ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik, maka mereka akan tahu bahwa hanya sebagian kecil dari lulusan universitas yang bisa menjadi kapitalis atau agen-agen langsung dari para kapitalis ini. Apa yang mereka khawatirkan mungkin saja menjadi kenyataan jika jumlah lulusan itu hanya 10.000, 15.000 atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta, lima juta mahasiswa, dan tidak mungkin kebanyakan dari mereka akan menjadi kapitalis atau manejer perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.

Argumen demagogis ini ada benarnya. Lingkungan akademis memang memiliki konsekuensi tertentu terhadap tingkat kesadaran sosial dan aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia tetap di universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh ideologi dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan sosial yang baru ini, apapun bentuknya. Ada kemungkinan terjadinya proses mundur ke posisi intelektual reformis atau liberal kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.

Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa revolusioner yang paling tua di Eropa. Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial Demokrat Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan meninggalkan universitas. Setelah beberapa tahun, dengan tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan orang-orang militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis sosialis, tidak aktif lagi dalam politik dari sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki satu organisasi partai. Karena tanpa organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan kelas buruh industri, dalam pengertian yang paling umum sekalipun. Sebagai Marxis, saya tetap yakin bahwa tanpa aksi kelas buruh tidak akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan dan itu berarti tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis. (tepuk tangan)

Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman gerakan mahasiswa, pertama di Jerman, lalu Prancis dan Italia, sudah berhasil mencapai kesimpulan teoretis tersebut dalam praktek. Diskusi yang sama tentang relevan atau tidaknya kelas buruh industri bagi aksi revolusioner dilakukan setahun atau bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti Jerman dan Italia.Masalah ini ditempatkan dalam praktek bukan hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar dari SDS Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di luar universitas menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.

Pengalaman seperti ini mengajarkan gerakan mahasiswa di Eropa Barat bahwa mereka harus menemukan jembatan dengan kelas buruh industri. Masalah ini memiliki sejumlah aspek yang berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan sebagai guru, karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu, tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain pengalaman kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan sejumlah kecil buruh, setelah tiga sampai delapan bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal, dan saat keseimbangan sudah tercapai, maka sedikit saja yang tersisa.

Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen adalah untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan perjuangan kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus. Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana dalam batas waktu tertentu, tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis revolusioner yang sama.Kita harus kritis melihat apakah integrasi seperti ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman di Prancis, Italia, dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, maka dengan mudah kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak dapat saya uraikan sekarang, sebuah situasi khusus muncul di Amerika Serikat di mana mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis tentang aksi revolusioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.

Tentu saja hal ini dengan cepat dapat berubah. Sejumlah orang berpendapat seperti itu di Prancis, hanya beberapa minggu sebelum tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan di Amerika Serikat, ada minoritas dalam kelas buruh industri yang penting, yaitu buruh kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa setelah dua tahun terakhir mereka tidak dapat menerima gagasan sosialis atau tidak mampu menjalankan aksi revolusioner. Di sini paling tidak ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara teori dan praktek di sebagian kalangan kelas buruh.

Sebagai tambahan, kiranya penting untuk menganalisa kecenderungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan mengguncang ketidakpedulian politik yang platen dan konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan lingkungan yang sangat mirip membuktikan bahwa hal itu mungkin terjadi. Beberapa tahun lalu di kalangan kelas buruh di Jerman mengendap stabilitas, konservatisme, dan integrasi masyarakat kapitalis yang tidak terguncang, sama seperti Amerika Serikat di mata banyak orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam perimbangan kekuatan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap struktur serikat buruh tradisional dan hak-hak dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.

Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang masalah-masalah perjuangan kelas kalian sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian harus bergabung dengan buruh. Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian banyak saluran tempat kesadaran sosialis dan aktivitas revolusioner dapat menghubungkan mahasiswa dan buruh, seperti ditunjukkan bukan hanya oleh Eropa Barat tapi juga oleh Jepang. Rangkaian penghubung ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh. Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terakhir yang mempengaruhi struktur kelas buruh, sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam teknologi yang telah berubah bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang kehancuran total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam yang tingkat penganggurannya sama tinggi seperti tingkat rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan ini memperlihatkan apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda. Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang ini jelas menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak membeda-bedakan antara mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai musuh.Contoh kongkret dari ini adalah insiden di Flins ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah dibunuh oleh polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas orang-orang yang lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak, sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi. (tepuk tangan)

Jika kalian secara seksama membaca buku-buku sekarang, industri film dan bentuk-bentuk refleksi kenyataan sosial yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir, kalian akan lihat bahwa di samping semua pembicaraan yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggambarkan jenis pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga semangat memberontak dari kaum muda. Ini tidak terbatas bagi mahasiswa atau kelompok minoritas seperti orang kulit hitam di Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosialis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya penting bagi negeri-negeri Barat selama sepuluh sampai limabelas tahun mendatang. Jika kita berhasil mengangkat kaum muda yang terbaik menjadi sosialis revolusioner --saya pikir ini sudah mulai dilakukan di negeri-negeri Eropa Barat-- kita bisa yakin tentang kemajuan gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas dan kebanyakan orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan, maka kita akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan masuk ke dalam liang kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.

Persatuan teori dan praktek juga berarti bahwa serangkaian gagasan kunci dari gerakan sosialis dan tradisi revolusioner telah ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa sebagian orang dalam gerakan mahasiswa di Amerika Serikat ingin menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Aku sepenuh hati setuju dengan setiap usulan yang menginginkan sesuatu yang lebih baik, karena apa yang telah dicapai oleh generasi-generasi sebelumnya juga kurang meyakinkan dari sudut pandang pembangunan masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan. Jika kalian menyangka sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang sebenarnya sedang dilakukan adalah mundur ke masa lalu yang jauh lebih terbelakang dari masa lalu Marxisme.

Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi populer di kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya sudah sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari evolusi sosial dan kecenderungan kritik sosialis dikembangkan dalam jalur para pemikir besar abad 18 dan 19. Terlepas dari kalian suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya diciptakan di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan kecenderungan baru, kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil terbaik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan untuk senantiasa menciptakan sesuatu yang baru hanyalah satu aspek awal dari radikalisme mahasiswa. Ketika gerakan sudah berkembang menjadi besar dan bisa memobilisasi massa yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner yang luas ber­juang menemukan kembali tradisi sejarah dan akar-akar historis mereka. Mereka seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih kuat jika mengatakan: perjuangan kami adalah perpanjangan dari perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau bahkan 2.000 tahun lalu ketika budak-budak pertama memberontak terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari sejarah dan terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa lalu tidak pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada yang dapat kita pelajari dari itu. (tepuk tangan)

Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa kembali pada beberapa konsep historis dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita telah melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Prancis, Jerman, Italia dan sekarang Inggris kembali kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis dan demokrasi buruh. Bagi seseorang seperti saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana gerakan revolusioner Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara, dan menghu­bungkannya dengan tradisi terbaik dari sosialisme. Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali tradisi internasionalisme dari sosialisme lama dan Marxisme ketika kalian bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan bahwa gerakan mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan akar-akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme, sama seperti internasionalisme dari kelas buruh. Masalah-masalah internasional yang dihadapi adalah masalah solidaritas dengan kawan-kawan kita di Meksiko, Argentina dan Brasil yang memimpin perjuangan besar, yang mengangkat revolusi Amerika Latin ke tingkat lebih tinggi setelah menderita kekalahan karena kepemimpinan yang buruh, reaksi internal dan represi imperialis selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan mahasiswa-mahasiswa Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah situasi politik secara mendasar di negeri itu dan membuang topeng demokrasi palsu yang dipasang pemerintah Mexico untuk menerima jutaan dolar dari penonton-penonton Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton Olimpiade akan tahu bahwa ia telah mengunjungi negeri di mana para pemimpin serikat buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun setelah masa tahanan mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik kalangan kiri dipenjara bertahun-tahun tanpa pengadilan, di mana pemimpin mahasiswa dan ribuan milisi mahasiswa ditahan di penjara tanpa landasan hukum. Protes mereka yang heroik memiliki konsekuensi bagi masa depan politik Meksiko dan perjuangan kelas di negeri itu. (tepuk tangan)

Penting juga kiranya mengutarakan beberapa patah kata tentang mahasiswa tahanan di negeri-negeri semi kolonial lainnya, yang tidak pernah dibicarakan orang, seperti pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena mengorganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan terlupakan.

Akhirnya, kita tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi Amerika Serikat di Vietnam, yang tetap menjadi perjuangan utama di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya negosiasi itu di Paris, tidak berarti bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan untuk membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya mengajak kalian ikut dalam aksi dunia yang dimulai oleh gerakan mahasiswa Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa Revolusioner Inggris bersama dengan Kampanye Solidaritas Vietnam, dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini. Ini adalah Minggu Solidaritas untuk revolusi Vietnam, dari tanggal 21 sampai 27 Oktober. Minggu ini ratusan ribu mahasiswa, buruh muda dan revolusioner muda akan turun ke jalan bersamaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diajukan kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia bahwa di Amerika Serikat ada ratusan ribu orang yang menginginkan penarikan kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu pasti akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan) |ernestmandel
More aboutGerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek

Distorsi Informasi : Analogi, Kasus dan Pemahaman

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn


Distorsi Informasi adalah suatu keadaan dimana terjadi kesalahpahaman dalam menerima informasi. Sangat sering terjadi ketika menggunakan metode Sebarkan!.

Distorsi informasi sering terjadi di berbagai media, terutama di media maya semacam YM dan Milis. Namun tak menutup kemungkinan terjadi pula di dunia nyata.


Contoh Kasus

Momon: Hari ini silitnya anang dibedah, sebarkan!
Zamroni: Ha?! SILITNYA MOMON DIBEDAH ANANG?? TERUS ISINYA DISEBARKAN??? buset !

Antobilang: Nanti kalau Chincha Lawra tersinggung, yang diciduk ke kantor polisi siapa?
Zamroni: Ha?! Cinlaw diciduk pulisi??
Herman: Ha?! Cinlaw dicipok pulisi??
Leksa: Ha?! Herman dicipok pulisi??
Tikabanget: Ha?! Herman dicipok Bu Lisi??

Momon : Selamat, Cyapila diterima bekerja di tempatnya Ndoro. Pesan ini akan meledak dalam 30 detik. tit tit tit.....
Arya : Mon, Pesan ini akan meledak berapa detik lagi ?
Momon : Ya nanti klo tititnya makin keras, maka akan meledak.
Tikabanget : Hah? Titit nya Ndoro keras??
Antobilang : Hah, titit nya Ndoro mau meledak dengan keras ??

Sandal : Lagi di tejo 3A , ga ada tomatoes !
Antobilang : wah berita dari leksa palsu!
Mbilung : ha? leksa sama tomatoes palsu?
Antobilang : iya, leksa itu adalah tomat yang palsu! :))
Alex : loe naksir leksa nto?

Adit : Yang mengikuti sandal dan Gunawan ciri2 nya Bertopi, Menggunakan Honda bebek, Badan gak terlalu besar..
Annots : Bertopi, tdk terlalu besar badannya? Apakah bukan antobilang lg pake motornya funkshit?
Antobilang : ah tret ini mendiskreditkan manusia bertopi!
Mbilung : weee, ada manusia bertopi kredit
Annots : Jadi yg pake topi itu tukang kredit?

source : wiki cah andong ^^
More aboutDistorsi Informasi : Analogi, Kasus dan Pemahaman