Samsir Mohammad : Berdamai dengan kenyataan (?)

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Sabtu, 16 Juni 2012

Kita semua mengetahui dan menyaksikan, kenyataan adalah kenyataan—disukai atau sebaliknya. Kenyataan tidak bisa ditolak—maksimal bisa diabaikan, diterima, dituruti atau disanggah. Itulah yang dituntut oleh kenyataan pada kita. Artinya ialah sebuah conditio sino quanon yang tidak terelakkan. Jika tidak, maka kita hanyalah akan menjadi sekawan hampa makna. Ringkasnya, kita dituntut untuk menyikapi kenyataan yang dihadapi.

Di masa lalu, ketika para pemodal menjarah kepulauan Nusantara, ketika kita belum bernama Indonesia, para pemodal itu berbekal meriam, senapan dan kelewang menduduki dan menguasai wilayah-wilayah Nusantara dengan paksa. Kenyataan itulah yang memunculkan berbagai perlawanan. Perlawanan-perlawanan itu adalah sikap terhadap penjarah yang hendak menguasai. Bermula dengan perampasan atas hasil kesuburan Nusantara, beralih menjadi Tanam Paksa, dan kemudian setelah menata birokrasi penguasaan tanah di penghujung abad ke-19 (tepatnya di tahun 1870)—ketika itu kita sudah bernama atau disebut Indonesia—secara sepihak wilayah Indonesia setapak demi setapak dinyatakan sebagai milik Kerajaan Belanda dan dinami Nederlands Indie (Hindia Belanda). Sejak itu, maka resmilah kita menjadi jajahan Kerajaan Belanda. Setalah menerapkan sistem Tanam Paksa Kerajaan Belanda menerapkan cara koeli kontrak yang memperbudak tenaga kerja Indonesia dengan upah sangat murah dan perlakuan semena-mena. Itulah kenyataan pada waktu itu.

Kenyataan itu sangat menguntungkan Kerajaan Belanda. Sebaliknya, hal itu telah memiskinkan dan menyengsarakan masyarakat-bangsa Indonesia di negerinya sendiri yang luas, sebur dan kaya sumber-sumber alamnya. Ratusan juta Gulden (mata uang Belanda kala itu) setiap tahun mengalir ke Negeri Belanda dari hasil keringat tenaga kerja Indonesia yang kala itu disebut koeli.

Adalah juga suatu kenyataan adanya kalanan-kalangan kecil yang bersikap menerima dan menuruti kenyataan tersebut sehingga mau menjadi pelengkap birokrasi kolonial. Bersamaan dengan itu, adalah juga kenyataan hadir dan tumbuh pula sejumlah kecil orang yang menyanggah kenyataan tersebut. Merekalah pada desiden yang menyanggah menentang penjajahan kolonial Belanda. Merekalah yang menyalakan semangat kebangsaan dan merintis perjuangan untuk kemerdekaan. Kehadiran dan pengorbanan merekalah yang telah mendatangkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, seusai Perang Dunia Kedua.

Mengapa Berdamai dengan Kenyataan?

Seandainya ketika kita dijajah oleh Kerajaan Belanda tidak hadir dan tidak tumbuh para deseden yang menyanggah, menentang penjajah mustahil kita bisa mencapai Kemerdekaan—Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, punya negara dan penyelenggara negara sendiri yang merdeka dan berdaulat, yang menguasai—bukan memiliki—bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan untuk apa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk, tidak lain adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam dalam pasal-pasal pada UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum (Pasal 27), tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (Pasal 31), serta fakis-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34). Itulah kenyataan. Kenyataan yang mengandung makna dari kemerdekaan kita, yang tentu saja berbeda dengan kenyataan ketika kita dijajah oleh Kerajaan Belanda.

Jadi, adalah kenyataan kita sudah merdeka. Adalah kenyataan kita punya UUD dan adalah juga kenyataan kita memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari warganegara kita sendiri. Tetapi, kenyataan itu belum juga bisa dijalankan dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh, lurus, benar dan konsisten sehingga mewujud dalam keadaan nyata yang dirasakan dan dialami oleh masyarakat-bangsa, sehingga perbedaan ketika dijajah dan setelah menjadi bangsa yang merdeka menjelma menjadi nyata.

Ketika kita dikuasai oleh penjajah kita menentang dan melawan. Sudah tentu sikap tersebu tidak cocok lagi dengan keadaan kita sekarang di mana kita sudah merdeka dan memiliki UUD Negara. Persoalannya ialah bagaimana supaya apa yang sudah ditetapkan dan ditentukan oleh UUD dipatuhi, dijalankan dengan sungguh-sungguh, lurus, benar dan konsisten. Untuk itulah kita perlu bersatu dan berjuang demi kepentingan seluruh masyarakat-bangsa dan tumpah darah Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan berdamai dengan kenyataan untuk mengubah keadaan kita sekarang dari menyusahkan menjadi tidak menyusahkan menuju keadaan yang menyenangkan masyarakat-bangsa; agar bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya di tanah air kita benar-benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang dititahkan oleh UUD 1945.

Seperti ketika kita melawan dan menentang penjajahan sebelum merdeka, kita memiliki kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Sekarang pun untuk dijalankannya UUD 1945 secara lurus, benar dan konsisten kita membutuhkan mereka, yaitu kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Jika dahulu mereka menggugah kesadaran masyarakat-bangsa untuk bersatu mencapai kemerdekaan dan menyadari bahwa penjajahan itu menyengsarakan, maka sekarang kaum terpelajar yang sehat dan patriotik hendaklah juga menggugah kemengertian dan kesadaran bernegara serta ber-UUD/konstitusi di kalangan masyarakat-bangsa. Kesadaran dan kemengertian masyarakat-bangsa itulah yang akan mengawal mereka yang menduduki kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif berserta birokrasi dan aparatnya) supaya tidak tergelincir—menghampakan makna kemerdekaan untuk masyarkat-bangsa—dan agar dijalankannya UUD 1945 dengan sungguh-sungguh secara lurus, benar dan konsisten. Semoga.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar