Comet Elenin Poses No Threat to Earth, NASA Says

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Senin, 17 Desember 2012

Akhir-akhir ini, kita semua digegerkan dengan beredarnya informasi tentang "Masa kegelapan Bumi" yang jatuh pada 23,24 dan 25 Desember 2012 mendatang, banyak sekali argumen yang merespon jangkaan NASA tersebut baik dari sisi sains dan spiritual. Agar tidak terjadi Distorsi Informasi yang meluas, saya akan   menyajikan sebuah artikel ilmiah hasil karya Tariq Maliq, seorang Manajer Editor sekaligus editor senior di jurnal Space Online, berikut artikelnya

The comet Elenin is passing through the inner solar system right now and will make its closest approach to Earth on Oct. 16. The comet has sparked an Internet firestorm among believers who claim its approach is linked to Earth's destruction, a rogue "planet" called Nibiru and a NASA conspiracy to cover it all up.
Now NASA is stressing the simple truth: Comet Elenin is just an icy comet — and a wimpy one at that — which poses no threat to our planet.
Take, for example, Elenin's "close" approach to Earth. That closest point is still out in deep space, a distant 22 million miles (35 million kilometers) from our planet, NASA scientists explained in a statement released yesterday (Aug. 16). That's more than 90 times the distance from the Earth to the moon, they added.  
he speculations by comet Elenin doomsayers claiming that the comet will align with other planets or celestial bodies to wreak havoc on Earth are just not true, the space agency says.
"Any approximate alignments of comet Elenin with other celestial bodies are meaningless, and the comet will not encounter any dark bodies that could perturb its orbit, nor will it influence us in any way here on Earth," said Don Yeomans, a scientist at NASA's Jet Propulsion Laboratory in Pasadena, Calif. 
NASA's statement on comet Elenin stepped from a barrage of questions sent in by the public over the last few months to sort out fact from the digital fictions swarming across the Internet regarding the comet's appearance. [Best Close Encounters with Comets]
"Often, comets are portrayed as harbingers of gloom and doom in movies and on television, but most pose no threat to Earth," NASA officials said. "Comet Elenin, the latest comet to visit our inner solar system, is no exception."
Comet Elenin was discovered on Dec. 10, 2010 by astronomer Leonid Elenin of Lyubertsy, Russia, who made the find using a remote-controlled observatory based in New Mexico. At the time, the comet was about 401 million miles (647 million km) from Earth. It is fairly faint and not expected to dazzle skywatchers, NASA scientists have said.
Since then, the comet (officially known as C/2010 X1) has made its way into the inner solar system, giving rise to many rumors — some outlandish — that link comet Elenin to 2012 end-of-the-world theories and other disaster scenarios.
NASA's Tuesday statement counters many of those speculations in plain language. They include:
  • Will comet Elenin block out the sun, causing three days of darkness? No, the comet won't cross the face of the sun as seen from Earth, and even if it did it's much too small to have an effect.
  • Will the comet pass between the Earth and the moon? No, it will be 90 times farther way.
  • Will comet Elenin cause shifting tides or earthquakes on Earth? Not at all.
For that last one, Yeomans stressed that there is absolutely no way Elenin could affect life on Earth, aside from providing a target for skywatchers to gaze at with telescopes.
"So you've got a modest-sized icy dirtball that is getting no closer than 35 million kilometers [about 22 million miles)," Yeomans explained. "It will have an immeasurably miniscule influence on our planet. By comparison, my subcompact automobile exerts a greater influence on the ocean's tides than comet Elenin ever will."
Comet Elenin and a hidden object?
Another theory rampant on the Internet is that comet Elenin is actually a type of failed star known as a "brown dwarf," or could be affected by another unknown planet or star, such as a rogue object called Nibiru suggested by many believers or brown dwarf star. NASA received questions on that as well.
 "A comet is nothing like a brown dwarf. You are correct that the way astronomers measure the mass of one object is by its gravitational effect on another, but comets are far too small to have a measureable influence on anything," said David Morrison of the NASA Astrobiology Institute at the NASA Ames Research Center in Moffett Field, Calif.
And another scenario — that a brown dwarf, or even a so-called "black dwarf" star, could be hidden from NASA's view — is also not possible, Morrison added.
"If we had a brown dwarf star in the outer solar system, we could see it, detect its infrared energy and measure its perturbing effect on other objects," Morrison said. "There is no brown dwarf in the solar system, otherwise we would have detected it. And there is no such thing as a black dwarf."
According to NASA, the best time to spot comet Elenin in telescopes will be in early October. Binoculars or telescopes are required because of the comet's dim appearance.
Whether the comet will be visible to the unaided eye, however, remains to be seen.
"This comet may not put on a great show. Just as certainly, it will not cause any disruptions here on Earth. But, there is a cause to marvel," Yeomans said in the statement. "This intrepid little traveler will offer astronomers a chance to study a relatively young comet that came here from well beyond our solar system's planetary region. After a short while, it will be headed back out again, and we will not see or hear from Elenin for thousands of years. That's pretty cool."
More aboutComet Elenin Poses No Threat to Earth, NASA Says

Redupnya semangat Tradisi Keilmuan

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Selasa, 04 Desember 2012


Redupnya semangat Tradisi Keilmuan
Adam Syarief Thamrin H*

Dekade akhir ini, makin dirasakan redupnya semangat pemuda Indonesia tak terkecuali para pelajarnya. Banyak alasan-alasan klasik yang senantiasa dijadikan indicator oleh penguasa sebagai asal-muasal redupnya semangat tersebut antara lain masalah Globalisasi dan budaya barat, memang tak dapat dipungkiri budaya pop barat masuk seperti derasnya air di Niagara, serta menjamurnya efek globalisasi seperti virus yang tak mudah diberangus dan tak mudah di hentikan. Padahal sejatinya, jika kita mau menganalisis akar persoalan secara runtut, kronologi yang menyebabkan redupnya Tradisi Keilmuan bahkan hilangnya hal tersebut dikalangan pelajar adalah sebuah “Sistem Pendidikan” di negeri ini (Indonesia) yang selalu tidak se-Arus dengan kondisi dan keadaan Pelajar di Indonesia. Mari kita ambil contoh mengenai maju-mundurnya Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia seperti gonta-gantinya Kurikulum Pendidikan Dasar hingga menengah atas yang sempat menimbulkan keresahan para Pelajar, Wali Murid dan Guru, selanjutnya, UJIAN NASIONAL (UNAS) yang dinilai hanya mengacu pada nilai akhir UNAS guna menentukan kelulusan pelajar tersebut, bahkan jika ditilik sejak kemunculan UNAS pertamakali, UNAS telah mengabaikan point-point yang termasuk pada nilai Afektif, Kognitif,dll. Maka tak heran akhir-akhir ini ujian kelulusan yang digunakan (UNAS) dengan ajaibnya mampu “membolak-balikkan” nasib pelajar, yang Pintar dan belajar sungguh-sungguh bisa saja mendapat nilai jelek sebaliknya yang tidak bersungguh-sungguh malah mendapat porsi lebih dengan nilai yang baik. Maka, jika dianalisis lebih mendalam system ujian kelulusan menggunakan UNAS ini lebih mengedepankan “system keberuntungan / Bejo”.
Selain masalah system pendidikan di Indonesia yang masih amburadul, hal lain yang menyebabkan redupnya Tradisi Keilmuan dikalangan pelajar adalah masalah kurikulum, ya, kurikulum sejatinya adalah salah satu rangkaian terpisah dari sebuah system pendidikan nasional, tapi yang membuatnya berbeda adalah, kurikulum merupakan tingkatan system yang mendapat porsi tahapan paling mengakar dan paling mendalam dalam tatanan system pendidikan itu sendiri, tetapi sayangnya, vitalnya keberadaan kurikulum dalam suatu tatanan system pendidikan rasanya diabaikan oleh Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, bagaimana tidak, kita perhatikan saja dari tahun-ketahun Kurikulum sebagai “Base of Education in School” telah banyak mengalami fase-fase perubahan, contohnya saja dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, setidaknya sudah ada beberapa kali pergantian ‘strategi pembelajaran’. Diawali pada tahun 1947 dengan Rentjana Pelajaran 1947 dimana tujuan pendidikan pada saat itu menekankan pada pembentukan karakter rakyat Indonesia untuk menyadari bahwa kedudukan bangsa Indonesia berdaulat dan sejajar dengan negara lain.
Kemudian pada tahun 1952, pendidikan lebih mengarah pada pelajaran yang disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Strategi ini dinamakan Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Setelah itu dikenal Program Pancawardhana pada tahun 1964, yakni: pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik, ketrampilan, dan jasmani.
Seiring dengan berubahnya rezim pada masa itu, maka Program Pancawardhana pun diganti pada tahun 1968 dengan pendidikan yang mengarah pada pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kemudian pada tahun 1975 dikenal istilah PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang muatannya lebih mengarah kepada tercapainya tujuan yang dapat diukur dalam bentuk tingkah laku siswa.
‘Strategi pembelajaran’ tahun 1975 ini sangat sulit diwujudkan, karena guru memiliki beban berat karena harus menyusun materi pelajaran secara detail, dibantu dengan alat peraga dan dokumen pendukung pelajaran. Sementara pendapatan atau gaji guru pada saat itu tidaklah memadai. ‘Strategi’ ini hanya bisa dilakukan oleh seorang profesional seperti dosen; maka lahirlah ‘strategi’ CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) pada tahun 1984.
Dalam pembelajaran ini, siswa terlibat aktif baik secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan gurunya. Program pendidikan yang tidak kaku menjadi prinsip CBSA dengan adanya interaksi yang hangat antara siswa dengan guru dan kegairahan belajar. Dengan alasan proses CBSA hanya mengacu pada teori belajar mengajar tanpa memperhatikan kualitas dari isi pembelajaran, maka ‘strategi pembelajaran’ yang telah berlangsung 1 dekade ini pun diganti dengan nama Kurikulum 1994.
Kurikulum 1994, saya istilahkan dengan ‘Kurikulum Satu Pintu’. Yakni materi pelajaran yang sama bagi semua siswa se-Indonesia, dengan kurang memperhatikan keberbedaan setiap daerah, lingkungan, dan masyarakat. Kemudian direvisi dengan nama Suplemen Kurikulum 1994, dimana daerah dapat menambah materi pembelajaran dengan menyesuaikan wilayah masing-masing. Pada tahun 2002, lahir ‘strategi pembelajaran’ yang dinamakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi); yakni pengembangan kemampuan untuk melakukan kompetensi dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan program ini diharapkan siswa mampu mengetahui, menyikapi, dan melakukan materi pembelajaran secara bertahap dan berkelanjutan hingga berkompeten. Muatan KBK pun direvisi pada tahun 2004 dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dimana konsep yang ditawarkan masih sama;  yaitu mengacu pada basis kompetensi. Yang membedakannya adalah pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, memiliki kebebasan dan kewenangan penuh dalam menyusun program pendidikan, tetapi tetap mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan.
Memang, kita sadari bersama pasca-Kemerdekaan Indonesia dapat dikatan Negara kita masih belum dapat konsisten menentukan system pendidikan yang bisa diterapkan secara nasional tetapi hal tersebut masih dapat dimaklumi selagi dalam ambang batas yang wajar sesuai dengan ketentuan waktu yang ada. Sekarang, Indonesia harus sudah mulai berbenah dengan system pendidikannya dan mulai memperhatikan Tradisi Keilmuan yang seharusnya muncul di tengah-tengah kalangan pelajar masa kini.

IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) sebagai organisasi otonom dibawah naungan persyarikatan Muhammadiyah adalah salah satu diantara beberapa organisasi berbasis pelajar yang konsen terhadap masalah-masalah pendidikan, bahkan semangat Tradisi Keilmuan itu sendiri termaktub pada misi IPM sendiri yakni berupaya untuk membangun sebuah Tradisi Keilmuan, seiring dengan berjalannya waktu akhirnya disadari bahwa semangat Tradisi Keilmuan tersebut sejatinya telah redup bahkan lenyap dikalangan pelajar masa kini, Ghiroh pelajar dalam menempa ilmu seperti perjuangan Dr. Soetomo dimasa pergerakan nasional yang sangat luar biasa dalam mengedapnkan ilmu sebagai senjata paling ampuh untuk melumpuhkan penjajah kolonialisme Belanda ternyata telah redup.
Aksi Real pun telah dilakukan oleh IPM, seperti upaya Judicial Review terhadap kebijakan UNAS yang diajukan melalu Mahkamah Konstitusi oleh PP IPM, selain itu uji public mengenai kebijakan UNAS dan Sisdiknas serta banyak diskusi-diskusi terbuka untuk membahas kebijakan Pendidikan di Indonesia yang sedang tidak beres sekarang ini.

Tradisi Keilmuan itu Vital
Menimbang pentingnya sebuah Tradisi Keilmuan bahkan dimaktubkan pada sebuah misi bersama dalam organisasi IPM, memang tak dapat dipungkiri vitalnya tradisi keilmuan tersebut. Mengapa? Tidak lain Tradisi keilmuan nantinya akan berlanjut hingga generasi ke generasi tanpa ada keniscayaan untuk berhenti menempa ilmu sehingga ILMU dan Prosesnya untuk menempa ilmu menjadi sebuah tradisi dan cultural yang melekat kuat dalam pelajar dan masyarakat Indonesia.
Sehingga jika konsep tersebut semua terwujud menjadi satu tujuan bersama maka, terwujudnya Indonesia sebagai Negara maju berkembang bukan merupakan keniscayaan. Perlu kita sadari saat ini pesaing kita bukanlah bermain pada nilai material belaka tetapi Ilmu menjadi patokan tajam dalam suatu proses kompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Maka, sudah merupakan kewajiban sebagai pelajar garda terdepan untuk kembali membangkitkan tradisi keilmuan tersebut dengan “Kritis” menyikapi hal-hal yang bertentangan dengan arus yang ada, percayalah, jika pelajar kritis dan menginginkan perubahan, maka perubahan tersebut akan datang seiring semangat membangkitkan kembali Tradisi keilmuan itu sendiri. Hidup Pelajar!



*Adam Syarief Thamrin Hasibuan  (@adamsyarieftham)
Mahasiswa FISIP UNAIR
Ketua Umum Pimpinan Daerah IPM Kota Surabaya
Untuk gerakan poros pelajar yang rindu akan perubahan!
More aboutRedupnya semangat Tradisi Keilmuan

APA KATA PEMUDA MASJID TERKAIT KONDISI PANGAN DI INDONESIA

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Senin, 29 Oktober 2012

Telat… Bagi kami Pemuda, tidak ada kata telat untuk mengawal kondisi pangan di Indonesia. Hari Pangan sedunia adalah moment tahunan yang membuat setiap negara berpikir dan bergerak perihal kondisi Pangan di setiap Negara. Justru, sebuah moment hanya terjadi sekali. Tapi, keistiqomahan kita dalam mengawal semua program pangan di negara kita sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memperbaiki kondisi tersebut.

Kita semua mengetahui tanggal 16 Oktober 2012 ini adalah hari Pangan Sedunia yang ke 32 tahun, FAO tahun ini mengangkat tema Agricultural Cooperatives – Key to Feeding The World. Di Indonesia pun pemerintah menerapkan tema internasional tersebut sesuai dengan kondisi bangsa saat ini dengan mengusung tema bertajuk Agroindustri Berbasis Kemitraan Petani Menuju Kemandirian Pangan Memang bukan merupakan suatu keniscayaan di Indonesia terhadap cita-cita kemandirian pangan yang berkesinambungan. Tentu, hal ini tak jauh kaitannya dengan upaya mensejahterakan Rakyat yang notabene masih dalam taraf hidup really berkecukupan, atau benar-benar taraf yang wajar se wajar-wajarnya garis ambang standar hidup masyarakat Negara berkembang seperti Indonesia. Penggunaan kalimat ambigu barusan dimaksudkan agar Pemerintah kembali berpikir apa yang terjadi dibawah sana terkait dengan pangan rakyat yang seharusnya stabil diatas standar sebenarnya.

Tetapi disadari atau tidak, tetap saja jika kita berbicara angka kesejahteraan sosial di Indonesia masih jauh luar biasa dari ambang-batas standar sebagai Negara berkembangan dan ex- Negara Swasembada.
Ini adalah salah satu factor pemicu keresahan rakyat terhadap sikap pemerintah yang cenderung menutup mata akan keadaan ini.
Hal itulah yang tampak dari kaca mata kami sebagai pemuda terutama pemuda masjid. Untuk itu, diperlukan kerja keras Pemerintah yang harus didukung oleh masyarakat tentang program-program peningkatannya. Dan kami sebagai pemuda/pemuda masjid siap untuk berkontribusi akan hal ini.

Di momentum hari pangan tahun 2012, kita sadari peran pemerintah dapat dibilang cukup dalam upaya ketahanan pangan di Indonesia, contoh upaya-upaya pemerintah yang dapat kita lihat adalah Melibatkan peran aktif seluruh stake holder dibawah koordinasi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Daerah, Melaksanakan program pembangunan ketahanan pangan yang secara langsung memberikan manfaat kepada masyarakat luas, Mengembangkan kerjasama antara daerah dengan pusat dan Mempertahankan keberadaan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian.
Selanjutnya, terkait kondisi masyarakat khususnya di wilayah Jawa Timur terkait ekonomi pangan. Sejak dampak krisis ekonomi beberapa waktu lalu, membuat masyarakat pesimis akan kondisi ekonomi pangan yang sedang terjadi, dimana mayoritas harga sembako yang meningkat drastis serta kebutuhan pokok pangan lainnya juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data yang ada dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi.
Padahal, Negara kita memiliki luasan wilayah yang cukup luas dibanding Negara-negara lain di ASEAN. Akan tetapi, kita masih banyak melakukan import bahan pangan dari Negara tetangga. Apa yang salah akan hal ini? kurangnya program dari pemerintah akan peningkatan bahan pangan dalam negeri? Atau kurang antusiasnya masyarakat akan profesi-profesi pertanian dan pengadaan bahan pangan?


Banyak yang bisa dilakukan


Jika kita peduli, banyak yang bisa kita lakukan untuk ambil peran dalam hal ini terkait pangan masyarakat. Memang, banyak yang harus diperhatikan dalam masalah ini terutama kesejahteraan petani dalam rangka meningkatkan produktivitas padi yang dihasilkan.
Pada era orde baru, Indonesia adalah Negara macan asia yang tentu banyak disegani oleh Negara tertangga termasuk Malaysia pada waktu itu, tetapi seiring berjalannya waktu, konsistensi pemerintah terhadap predikat yang disandang pada saat itu tidaklah cukup untuk mempertahankan predikat tersebut, dengan alih-alih pembenahan system ekonomi dan stabilisasi ekonomi pada saat itu, konsentrasi pemerintah terpecah dan saat ini predikat yang disandang itu telah hilang.

Apakah karena setiap individual atau kelompok lebih menfokuskan ke kekuasaan masing-masing sehingga “seolah-olah” pangan tidak menjadi perhatian yang maksimal dalam program-programnya? Dibutuhkan pemimpin di bidang ini yang bisa mengawal setiap program-program yang telah dilahirkan untuk meningkatkan kebutuhan pangan yang berkualitas dan terjangkau bagi Rakyat Indonesia.
Sebagai pemuda, tentu banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk ambil peran dalam permasalahan pangan dan kesejahteraan masyarakat ini, ambil beberapa contoh misalnya; Peran Pemuda dalam mewujudkan masyarakat yang Madani, mendorong kualitas dan kuantitas produktivitas masyarakat tani dan lain sebagainya. Pemuda memiliki sejuta akses untuk masuk dan terjun langsung ke masyarakat. Hal itulah yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik.

REMAJA MASJID / PEMUDA MASJID sebagai garda terdepan

Pemuda erat kaitannya dengan dinamika hidup berorganisasi, banyak sekali organisasi di negeri ini yang menghimpun pemuda/remaja dengan maksud dan tujuan yang sama, tetapi tidak dengan Remaja Masjid. ReMas/Remaja Masjid pada hakekatnya adalah suatu organisasi otonom yang bernaung dibawah Ketakmiran Masjid atau Yayasan pengelola masjid. Peran serta Remas dalam mendorong ksejahteraan masyarakat sangatlah besar. Dibidang pangan dapat diambil contoh, sebagai Remaja Masjid yang bernaung di masjid-masjid pemukiman, desa atau dusun yang lokasinya berada di area pertanian; Remas dapat melakukan sosialisasi dan konsultasi secara intens terhadap masyarakat tani disekitar, hal tersebut dilakukan di Masjid.
Konsekuensi Remaja Masjid tidaklah hanya sebagai pembantu umum disaat Masjid mengadakan acara atau hanya mengadakan acara-acara yang berbasis kerohanian islam saja tetapi sudah merupakan kewajiban Remaja Masjid sebagai garda terdepan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, utamanya kesejahteraan pangan. Bukankah banyak pemuda-pemuda masjid yang menjalani perkuliahan dibidang pertanian? Bukankah banyak lulusan-lulusan mahasiswa yang bisa terjun ke masyarakan lewat masjid? Hal ini menjadi PR bagi sahabat-sahabat REMAJA MASJID di Indonesia untuk terus berperan aktif untuk kesejahteraan Masyarakat Indonesia dengan aktif meramaikan masjid, mengadakan pembinaan masyarakan di masjid, mendidik karakter yang berkualitas dan memproduksi hasil yang bermanfaat di Masjid dengan semangat REMAJA MASJID BISA!!!

Selamat Hari Pangan ke 32 tahun 2012, semoga kedepan, kondisi ekonomi pangan nasional kita dapat lebih baik sehingga swasembada pangan dapat kita wujudkan kembali.

(Adam Syarief Thamrin Hasibuan, red)

Seorang Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, angkatan 2011. Aktif di Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (JPRMI) Surabaya Divisi Networking. Didaulat untuk menjabat Ketua Umum di Remaja Masjid Ash Shoobiriin sejak tahun 2010 dan sebagai Ketua Umum di Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah kota Surabaya dan aktif di berbagai organisasi lain. (adamsyarief@yahoo.com | @adamsyarieftham)



Apa kata Pemuda dan yang lainnya terkait Hari Pangan sedunia 2012



Rinaldi Yoga, Pelajar & Aktivis Remas, Peran serta Remaja Masjid dewasa ini sangat dibutuhkan untuk mendorong kesejahteraan pangan rakyat. Maka, mulai sekarang Jadikan masjid sebagai pusat konsepsi kesejahteraan rakyat!!!

Bastian Najich, Fotografer Muda, Pemerintah udah ngasih stok logisitk cukup banyak sih buat rakyatnya, tapi sayangnya itu semua produk non-lokal. Dan pemerataan/distribusi buat pulau2 diluar jawa kurang banget. Itu perlu diperhatiin. Buat pemuda-pemuda kudunya support produk local, support pedagang local, support all about local deh pokoknya. Katanya negeri gemah ripah loh jinawi, lha kok malah di buat bisnis

Sila Basuki, Akademisi / Direktur Lapersada Nusantara Jatim, Salah satu unsur Ketahanan Nasional (Tanas) adalah Ketahanan Pangan … tentu sudah ada Regulasinya, antara lain meningkatkan teknologi pertanian untuk pengembangan tanaman pangan berbasis potensi SDA (alam pedesaan) dan SDM (masyarakat desa) … dan tolak import tanaman pangan !!!

Jaka Ghianovan, Mahasiswa /Aktivis KAMMI, Ingat masa nabi Yusuf, pemerataan hasil panen untuk rakyat, insyaAllah rakyat sejahtera!!!

Arif Rahman Sidy, Mahasiswa Fak. Ekonomi & Bisnis Unair, yo dimulai teko hal-hal cilik ae misale tuku bahan-bahan sembako tuku seng produk lokal ae ojok tuku seng import, alusane nolak produk-produk negoro kapitalis. lek wes ngono para ‘pekerja’ pangan iku ngroso diregani karo wong-wong iso nambah motivasi gawe ningkatno produksi pangan dalam negri mungkin iso sampe swasembada koyok jamane pak soeharto, dadi ga onok mane berita ‘kelangkaan sembako’ dll

Hery Wawan, Aktivis Pelajar IPM Sulawesi Selatan, Indonesia, negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, memiliki tingkat populasi cukup tinggi. Kenyataan itu mengharuskan pemerintah mewujudkan kemandirian pangan, bukan sekadar ketersediaan pangan yang memadai. Hal itu disebabkan setiap pertambahan penduduk harus diikuti dengan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Bagi saya kemandrian pangan dan kesejahteraan petani harus beriringan….

M. Farras Fauzi, Mahasiswa Hubungan Internasional Unpad Bandung
, balik lagi ke masyarakat, untuk mengatasi kesenjangan pangan ya perlu juga diadakan proses pengubahan pola makan rakyat kita yang terlalu rice-minded. Jadi ya itu cuma dr pandangan saya aja, krn bahan pangan di indonesia sendiri juga banyak, toh nasi sendiri pun kita belum bisa produksi sendiri
untuk pemerintah ya mungkin cuma diadain penyuluhan lagi mengenai pola pola makan yang benar dan cukup gizi bagi masyarakat.

SUMBER : http://andricipta.wordpress.com/2012/10/18/apa-kata-pemuda-masjid-terkait-kondisi-pangan-di-indonesia/
More aboutAPA KATA PEMUDA MASJID TERKAIT KONDISI PANGAN DI INDONESIA

Aktivis Masjid : Remas Ash Shoobiriin & JPRMI, upaya bersama dorong gerakan Ayo ke Masjid dengan Green Funbike

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Minggu, 14 Oktober 2012


http://jprmisemarang.org/pict/71387840JPRMI.jpglogo Remas.bmp



HUMAS REMAJA MASJID ASH SHOOBIRIIN
remasashshoobiriin@yahoo.co.id | @remasAShoobirin

Remas Ash Shoobiriin gelar funbike bareng JPRMI dan GAMIS
10/14/12

Rungkut, Surabaya – Sejak Ahad Pagi (14/10), halaman masjid Ash Shoobiriin tidak seperti biasanya, pada hari tersebut, Remaja Masjid Ash Shoobiriin bersama JPRMI Cabang Gunung Anyar & Rungkut serta GAMIS (Gerakan Anak Masjid) menggelar kegiatan bersama bertajuk Go Green Cycling to Barokah. Kegiatan ini dilandasi atas keinginan bersama para aktivis masjid tersebut untuk lebih mengokohkan tali ukhuwah Islamiyah diantara sesame, sekaligus menjalin hubungan silahturahim dengan baik kepada masyarakat sekitar.  Terbukti, kegiatan ini mendapatkan dukungan penuh dari pihak kecamatan Rungkut dan pengurus RW VII Rungkut Mapan Tengah Surabaya serta pengurus Takmir Masjid Ash Shoobiriin.

Bapak Ridwan selaku camat Rungkut mengaku gembira dengan adanya inisiatif dari pemuda-pemuda masjid yang peduli akan lingkungan dengan menggelar kegiatan berbasis go green ini. Salah satu rangkaian kegiatan ini adalah pengenalan dan upaya penghijauan di Hutan Mangrove Wonorejo – Rungkut Surabaya.

Selepas kegiatan di mangrove, peserta funbike kembali ke Masjid Ash Shoobiriin untuk mengikuti acara hiburan dan pengundian doorprize sebuah sepeda dan puluhan hadiah hiburan lainnya. H. Soedarsono selaku ketua Takmir Masjid yang membuka acara ini mengaku sangat bangga, karena ternyata masih banyak pemuda-pemuda yang hatinya senantiasa terpaut pada Masjid, harapan kedepan tidak sampai pada acara ini saja, tetapi Remas Ash Shoobiriin, JPRMI dan GAMIS senantiasa secara terus-menerus mengadakan kegiatan dalam rangka upaya Gerakan  Ayo ke Masjid yang dicetuskan oleh JPRMI Nasional.

Semoga langkah positif dari pemuda-pemuda aktivis masjid ini senantiasa mendapat Ridho dari Allah SWT dan senantiasa membawa manfaat terhadap masyarakat banyak. (Humas)
More aboutAktivis Masjid : Remas Ash Shoobiriin & JPRMI, upaya bersama dorong gerakan Ayo ke Masjid dengan Green Funbike

Pemberontakan 1926, Tan Malaka dan Pengkhianatan itu

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Sabtu, 16 Juni 2012


Sebuah Tulisan seorang kawan saya RAGIL NUGROHO,

Tak perlu risau. Ini versi PKI.

Bagi sebagian orang, Tan Malaka ujud dari legenda kiri. Tokoh revolusioner militan dan misterius. Tapi, bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) tak seperti itu. Tan Malaka tak lebih dari seorang pengkhianat.

Apa pangkalnya?

Tanggal 25 Desember 1925, PKI melakukan konferensi di Candi Prambanan. Ini unik, rapat partai komunis dilakukan di lingkungan candi sisa feodal. Mungkin tempat ini yang paling aman. PKI kala itu memang sedang main umpet-umpetan dengan kekuasaan penjajah. Dalam pertemuan, semua anggota Hoofd Bestuur (Komite Sentral) yang ada di Indonesia hadir. Ditambah anggota dari daerah. Hasilnya mengejutkan: PKI akan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan Belanda.

Situasi sebelum pemberontakan memang mendidih. Pemogokan buruh terjadi di berbagai lokasi. Di Semarang, Surabaya, Jakarta dan Medan, buruh melumpuhkan pabrik. Sampai Mei 1925, tercatat 65 kali pemogokan dengan melibatkan tiga ribu anggota komunis. Surat kabar revolusiner seperti Api, Merdeka, Proletar, Halilintar, dan Guntur, semakin gencar menyerang pemerintahan. Pun, kaum tani tak ketinggalan.

Setahun bersiap, 12 Nopember 1926 pemberontakan pecah. Ini tercatatat sebagai pemberontakan pertama yang dipimpin oleh sebuah organisasi.

Jalannya pemberontakan cukup mencekam.

Paling awal terjadi di Batavia. Dari Kampung Karet, 200 orang menuju Jakarta Kota. Mereka begitu percaya diri. Massa yang lain muncul dari Mangga Dua. Sementara, serombongan orang dari Tanah Abang berpapasan dengan dua orang reserse Belanda. Terjadi duel. Dua reserse itu mengalami nasib sial: tewas. Rata-rata pemberontak membawa senjata berupa golok, pedang, tombak dan senjata api rampasan. Kantor telepon mereka duduki. Pos polisi diserbu. Sasaran bukan hanya milik pemerintah, tapi juga penguasa feodal. Di Meester-Conerlis, rumah Asisten Wedana diobrak-obrak. Setelah berlangsung dua hari, pemberontakan baru bisa dipadamkan.

Tak hanya di Batavia. Tangerang, Banten, Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kediri dan Sumatra Barat juga terjadi hal serupa. Mereka seolah muncul begitu saja. Massa berbondong-bondong membawa senjata. Tak takut bermuka-muka dengan aparat kolonial.

Memang semuanya bisa dipatahkan. Tapi menghasilkan satu hal: keberanian. Pemberontakan tak pernah sia-sia. Selalu ada pelajaran yang bisa ditimba. Sajak di nisan Aliarcham—tokoh pemberontakan yang gugur di Digul— tepat memberikan lukisan:

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas, tidak
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami jang meneruskan
Kerdja agung djuang hidupmu
Kami tantjapkan kata mulia hidup penuh harapan
Suluh dinjalakan dalam malammu
Kami jang meneruskan kepada pelandjut angkatan

Benar: pemberontakan itu akan menjadi bahan bagi para pelanjut angkatan. Takkan hilang tanpa bekas.

Ada beberapa alasan sebagai penyebab kegagalan pemberontakan itu. Di sini satu saja yang disebut: pengkhiatan Tan Malaka. Buku Pemberontakan November 1926 yang ditulis Lembaga Sedjarah PKI, menuliskan: ‘Pengchianatan trotskis Tan Malaka, baik sebelum pemberontakan, selama pemberontakan dan sesudah pemberontakan merupakan faktor jang perlu diungkapkan….’ Ada dua kata kunci di situ: ‘pengchianatan’ dan ‘trotskis.’ Trotskis adalah para pengikut Leon Trotsky, salah satu tokoh revolusioner Rusia.

Tan Malaka memang dikenal sebagai Bapak Trotskis di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Komite Esekutif Komunis Internasional Biro Timur Jauh, sebagai wakil PKI. Dalam posisi ini, menurut buku yang disusun PKI, ia berhubungan dengan orang-orang Trotskis. Dengan nada mengejek dituliskan karakter Tan Malaka yang terpengaruh ajaran Trotskis sebagai berikut: ‘…tidak lepas burdjuis ketjil intelektual jang kekiri-kirian, keburu nafsu….’ Mengapa orang kiri bisa menjadi kekiri-kirian dan keburu nafsu? Njoto menjawab dalam tulisannya, Lenin dan Pembasmian Penjakit2 Burdjuis Ketjil. Cukup gamblang jawabannya: ‘karena keliru menilai keadaan dan kekuatan. Akibatnya, meninggalkan massa dan memaksakan keadaan.‘

PKI memang berseteru dengan pengkitut Trotskis. Mereka lebih condong pada Stalin. Tak heran Tan Malaka dilibas. Ini hujaman lain. Dalam sidang Komite Esekutif Komunis Internasional bulan April 1925, Tan Malaka membuat pernyataan bersangkutan tentang revolusi Indonesia. Katanya: ‘…kita hanya menunggu keuntungan dari revolusi dunia.’ Tak pelak, PKI mencemoohnya: ‘…kalau kita ikuti pandangan Tan Malaka maka Rakjat Indonesia tidak perlu melalukan melakukan revolusi…’ Mengikuti Tan Malaka berarti cukup menunggu saat baik, yaitu datangnya revolusi dunia. Pandangan ini dicerca oleh PKI sebagai paham revolusi permanen Trotskis yang bangkrut. PKI menilai, setiap negeri mempunyai syarat-syarat sejarah dan musuh-musuh revolusi sendiri, dan tak sama pula perkembangan gerakan revolusionernya. Jadi, tak bisa dibuat berwarna seragam.

Benarkah pandangan Trotskis bangkrut? Pastinya, pandangan itu memang tak pernah besar di Indonesia. Kelompok Trotskis lebih berkembang sebagai ordo Jubah Merah, bukan sebagai gerakan politik yang menjangkar ke bumi. Mungkin mereka menunggu saat yang tepat untuk muncul: mengikuti anjuran Tan Malaka.

Kunci kedua: pengchianat. Tentu saja tuduhan ini serius.

PKI memberontak. Tan Malaka justru mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Partai ini digunakan untuk mensabot keputusan Prambanan. Tentu PKI punya bukti. Tan Malaka mengundang Suprojo dan Sugono ke Singapura, untuk diberi perintah guna menggagalkan pemberontakan. Utusan lain juga dikirim ke Sumatra Barat dengan tujuan sama. Organisasi tak satu lagi. Kesimpulan menjadi jelas: sebagai salah satu pimpinan PKI, Tan Malaka tidak tunduk pada keputusan partai dan justru mendirikan organisasi baru untuk pecah belah. Tak heran PKI melabelinya pengkhianat.

Jarak pengkhianat dan pahlawan sepertinya lebih tipis dari silir bawang. Pembongkaran yang dilakukan PKI tentu punya tujuan. Mungkin analisa PKI tak tepat. Tapi telah mengembalikan Tan Malaka ke bumi.

Bagi PKI, Tan Malaka tak ubahnya Brutus: menusuk dari belakang. Entah bagi yang lain. Bisa jadi ia seorang santo.
More aboutPemberontakan 1926, Tan Malaka dan Pengkhianatan itu

Samsir Mohammad : Berdamai dengan kenyataan (?)

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Kita semua mengetahui dan menyaksikan, kenyataan adalah kenyataan—disukai atau sebaliknya. Kenyataan tidak bisa ditolak—maksimal bisa diabaikan, diterima, dituruti atau disanggah. Itulah yang dituntut oleh kenyataan pada kita. Artinya ialah sebuah conditio sino quanon yang tidak terelakkan. Jika tidak, maka kita hanyalah akan menjadi sekawan hampa makna. Ringkasnya, kita dituntut untuk menyikapi kenyataan yang dihadapi.

Di masa lalu, ketika para pemodal menjarah kepulauan Nusantara, ketika kita belum bernama Indonesia, para pemodal itu berbekal meriam, senapan dan kelewang menduduki dan menguasai wilayah-wilayah Nusantara dengan paksa. Kenyataan itulah yang memunculkan berbagai perlawanan. Perlawanan-perlawanan itu adalah sikap terhadap penjarah yang hendak menguasai. Bermula dengan perampasan atas hasil kesuburan Nusantara, beralih menjadi Tanam Paksa, dan kemudian setelah menata birokrasi penguasaan tanah di penghujung abad ke-19 (tepatnya di tahun 1870)—ketika itu kita sudah bernama atau disebut Indonesia—secara sepihak wilayah Indonesia setapak demi setapak dinyatakan sebagai milik Kerajaan Belanda dan dinami Nederlands Indie (Hindia Belanda). Sejak itu, maka resmilah kita menjadi jajahan Kerajaan Belanda. Setalah menerapkan sistem Tanam Paksa Kerajaan Belanda menerapkan cara koeli kontrak yang memperbudak tenaga kerja Indonesia dengan upah sangat murah dan perlakuan semena-mena. Itulah kenyataan pada waktu itu.

Kenyataan itu sangat menguntungkan Kerajaan Belanda. Sebaliknya, hal itu telah memiskinkan dan menyengsarakan masyarakat-bangsa Indonesia di negerinya sendiri yang luas, sebur dan kaya sumber-sumber alamnya. Ratusan juta Gulden (mata uang Belanda kala itu) setiap tahun mengalir ke Negeri Belanda dari hasil keringat tenaga kerja Indonesia yang kala itu disebut koeli.

Adalah juga suatu kenyataan adanya kalanan-kalangan kecil yang bersikap menerima dan menuruti kenyataan tersebut sehingga mau menjadi pelengkap birokrasi kolonial. Bersamaan dengan itu, adalah juga kenyataan hadir dan tumbuh pula sejumlah kecil orang yang menyanggah kenyataan tersebut. Merekalah pada desiden yang menyanggah menentang penjajahan kolonial Belanda. Merekalah yang menyalakan semangat kebangsaan dan merintis perjuangan untuk kemerdekaan. Kehadiran dan pengorbanan merekalah yang telah mendatangkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, seusai Perang Dunia Kedua.

Mengapa Berdamai dengan Kenyataan?

Seandainya ketika kita dijajah oleh Kerajaan Belanda tidak hadir dan tidak tumbuh para deseden yang menyanggah, menentang penjajah mustahil kita bisa mencapai Kemerdekaan—Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, punya negara dan penyelenggara negara sendiri yang merdeka dan berdaulat, yang menguasai—bukan memiliki—bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan untuk apa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk, tidak lain adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam dalam pasal-pasal pada UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum (Pasal 27), tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (Pasal 31), serta fakis-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34). Itulah kenyataan. Kenyataan yang mengandung makna dari kemerdekaan kita, yang tentu saja berbeda dengan kenyataan ketika kita dijajah oleh Kerajaan Belanda.

Jadi, adalah kenyataan kita sudah merdeka. Adalah kenyataan kita punya UUD dan adalah juga kenyataan kita memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari warganegara kita sendiri. Tetapi, kenyataan itu belum juga bisa dijalankan dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh, lurus, benar dan konsisten sehingga mewujud dalam keadaan nyata yang dirasakan dan dialami oleh masyarakat-bangsa, sehingga perbedaan ketika dijajah dan setelah menjadi bangsa yang merdeka menjelma menjadi nyata.

Ketika kita dikuasai oleh penjajah kita menentang dan melawan. Sudah tentu sikap tersebu tidak cocok lagi dengan keadaan kita sekarang di mana kita sudah merdeka dan memiliki UUD Negara. Persoalannya ialah bagaimana supaya apa yang sudah ditetapkan dan ditentukan oleh UUD dipatuhi, dijalankan dengan sungguh-sungguh, lurus, benar dan konsisten. Untuk itulah kita perlu bersatu dan berjuang demi kepentingan seluruh masyarakat-bangsa dan tumpah darah Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan berdamai dengan kenyataan untuk mengubah keadaan kita sekarang dari menyusahkan menjadi tidak menyusahkan menuju keadaan yang menyenangkan masyarakat-bangsa; agar bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya di tanah air kita benar-benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang dititahkan oleh UUD 1945.

Seperti ketika kita melawan dan menentang penjajahan sebelum merdeka, kita memiliki kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Sekarang pun untuk dijalankannya UUD 1945 secara lurus, benar dan konsisten kita membutuhkan mereka, yaitu kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Jika dahulu mereka menggugah kesadaran masyarakat-bangsa untuk bersatu mencapai kemerdekaan dan menyadari bahwa penjajahan itu menyengsarakan, maka sekarang kaum terpelajar yang sehat dan patriotik hendaklah juga menggugah kemengertian dan kesadaran bernegara serta ber-UUD/konstitusi di kalangan masyarakat-bangsa. Kesadaran dan kemengertian masyarakat-bangsa itulah yang akan mengawal mereka yang menduduki kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif berserta birokrasi dan aparatnya) supaya tidak tergelincir—menghampakan makna kemerdekaan untuk masyarkat-bangsa—dan agar dijalankannya UUD 1945 dengan sungguh-sungguh secara lurus, benar dan konsisten. Semoga.
More aboutSamsir Mohammad : Berdamai dengan kenyataan (?)

Hasnul Suhaimi : Bekerja sama dan Bekerja sama

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn


Kerja tim atau teamwork tentunya dibutuhkan di dalam organisasi atau perusahaan. Selaras dengan budaya gotong royong di Indonesia, tentunya bekerja tim ini bukanlah sesuatu hal yang asing lagi di masyarakat Indonesia. Terlihat sebagai sesuatu yang sederhana dan mudah, namun aplikasinya tidak seperti itu.

Bekerja sama tentunya mengharuskan kita untuk bersama-sama mengerjakan sesuatu pekerjaan. Tetapi, bukan hanya pekerjaannya yang dilakukan bersama-sama, namun di dalam hatinya pun harus bekerja bersama-sama dengan ikhlas. Bekerja dengan setulus hati.

Inti dari kerjasama adalah mau memberi dan mau menerima, mau membantu dan mau dibantu. Yang paling berat sebenarnya adalah dibantu, bukan membantu. Orang bisa gampang membantu timnya, tetapi orang suka kesal kalau dibantu oleh orang lain, karena merasa sudah mampu melakukan pekerjaan tersebut tanpa bantuan orang lain. Ini yang mesti dihindari. Saya artikan teamwork sebagai itu. Bekerja bersama-sama, hatinya bersama-sama, pun saling bantu-membantu.

Satu hal lagi selain bantu-membantu adalah saling memberitahu. Sama halnya dengan bantu-membantu, di dalam kerja tim orang senang memberitahu tetapi terkadang suka kesal kalau diberitahu karena merasa diajari. Jika seseorang bisa membantu dan juga dibantu, maka lebih mudah baginya untuk mengembangkan diri dan berkolaborasi dengan tim.
More aboutHasnul Suhaimi : Bekerja sama dan Bekerja sama

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn



Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah tokoh mahasiswa lainnya di Eropa, telah menjadikan konsep menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan yang sewenang-wenang. Persatuan teori dan praktek ini dapat dibilang pelajaran yang paling berharga dari rekaman sejarah yang diukir oleh revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika dan bagian dunia lainnya

Tradisi historis yang mengandung gagasan ini dimulai dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengenal kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.

Sama seperti persatuan antara teori dan praktek merupakan penuntun yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat ini, begitu pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi, revolusi yang sadar, hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerakkan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan kata lain, jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi. Ini adalah konsepsi utama yang diberikan Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.

Kita akan coba melihat bahwa kedua konsep itu, menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasiswa di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali dalam aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.

Gerakan mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana dan di Amerika Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di dunia Barat tempat kita hidup, walaupun keadaannya sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.

Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika Serikat termasuk di dalam perkecualian itu; para buruh imigran yang dibayar rendah di Eropa Barat juga termasuk di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat, mahasiswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima gaji atau upah yang mendapat bayaran lumayan. Ketika memasuki universitas mereka secara umum tidak disiapkan oleh hidup yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan lengkap tentang alasan-alasan perlunya perlawanan sosial. Mereka baru akan memahaminya ketika berada di dalam kerangka universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian atau golongan kecil elemen-elemen yang memiliki pengetahuan politik yang memadai, tapi kepada massa mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi, yang membimbing mereka pada jalan perlawanan

Singkatnya, ini sudah mencakup organisasi, struktur dan kurikulum universitas yang amat tidak memadai dan serangkaian fakta material, sosial dan politik yang dialami dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh kebanyakan mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik borjuis yang berusaha memahami perlawanan mahasiswa, harus memasukkan sejumlah pernyataan di dalam analisis mereka terhadap lingkungan mahasiswa, yang telah lama mereka enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.

Beberapa hari yang lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material. Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan karena mereka diperlakukan buruh seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar borjuis ini sebagian telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa. Struktur universitas borjuis hanyalah cerminan dari struktur hirarki yang umum dalam masyarakat borjuis; keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadaran sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berlebihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.

Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempelajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu bahwa sampai Perang Dunia II, wewenang paternal paling sedikit dipertanyakan di negara itu. Kepatuhan anak terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyarakat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan adanya generasi orang tua di Jerman yang menerima Nazisme, mendukung Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan menghadapi resesi, krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun dari dua atau tiga generasi orang tua seperti itu kini menghasilkan rasa jijik di kalangan anak muda terhadap wewenang orang tua mereka. Perasaan ini membuat anak-anak tersebut, saat memasuki universitas, tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu saja, tanpa perlawanan.

Mereka pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang obyektif tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk universitas masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa harus mendengar dosen-dosen berbicara melalui sound system. Mereka tidak dapat berbicara dengan dosen-dosen itu atau sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog. Perumahan dan makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya makin menajamkan kekuatan pemberontakan mahasiswa. Tapi, perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur otoriter dari universitas dan substansi yang sangat lemah dari pendidikan, paling tidak dalam bidang ilmu sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.

Inilah alasan mengapa usaha-usaha mengadakan reformasi di universitas, yang disorongkan oleh sayap liberal dalam keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan mencapai tujuannya karena tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan mahasiswa. Mereka tidak berusaha menekan sebab-sebab keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.

Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diajukan oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam kenyataan, rancangan reformasi itu tidak lain untuk meluruskan organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat neo-kapitalis. Tuan-tuan itu mengatakan: tentu sangat disayangkan adanya proletariat akademis; sayang sekali begitu banyak orang yang meninggalkan universitas dan tidak berhasil mendapat pekerjaan. Ini akan menimbulkan ketegangan sosial dan ledakan sosial.

Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan membenahinya dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi neo-kapitalis. Di tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik jika dikirim 100.000 insinyur daripada 50.000 orang sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak. Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan fungsi universitas pada posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan keterasingan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universitas dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan, disiplin ilmu dan bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di universitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis coba mencari slogan-slogan transisional dalam gerakan sosial lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power" tidak dapat diangkat di dalam lingkup universitas. Dalam masyarakat luas slogan ini memang dihindari karena artinya bahwa sebuah minoritas kecil menempatkan dirinya sebagai pemimpin mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management" oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.

Tapi di sinipun aku akan hati-hati karena banyak persoalan yang membuat universitas berbeda dari pabrik atau komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teoretisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanyakan mahasiswa memang akan menjadi buruh atau sudah setengah buruh. Mereka dapat dibandingkan dengan orang yang magang di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut kerja intelektual dengan orang magang di pabrik-- dari sudut kerja manual. Mereka memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang khas dalam masyarakat. Karena itu kita harus hati-hati merumuskan slogan tentang transisi ini.

Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan ini sekarang. Mari kita terima saja gagasan "student power" atau "student control" sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan ini yang tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengubah sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal ini universitas borjuis, dan berpikir bahwa masalah sosial dapat diatasi di segmen tertentu tanpa mengubah masalah sosial dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual. Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.

Sekali lagi, ini bukan observasi teoretis yang jatuh dari langit. Ini adalah pelajaran dari pengalaman praktek. Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah melalui pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa. Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dengan isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai bergerak keluar batas-batas universitas. Gerakan itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah penindasan komunitas kulit hitam diangkat oleh sejumlah mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak di kalangan elemen yang maju, yang paling peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.

Mereka terlibat dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di negara-negara berkembang seperti Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainnya Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana diferensiasi politik yang nyata terjadi di kalangan gerakan mahasiswa kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu oleh aksi solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran berkunjung ke Berlin.

Para mahasiswa pelopor tidak sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan perjuangan di Aljazair, Kuba dan Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin memulai aksi yang revolusioner tanpa analisis teori tentang asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang revolusioner menentang imperialisme.Melalui analisis tentang kolonialisme dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan terorganisir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis internasional di mana kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem ini, kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti kenapa kita harus mengikatkan diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri di mana mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk memahami alasan-alasan terdalam dari masalah sosial dan perlawanan.

Kesatuan Teori dan Aksi

Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang dinamis, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik keharusan perjuangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus menyadari bahwa mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perdebatan di antara orang-orang tuli, di mana sebagian pengunjung mengatakan, "yang penting aksi! Tidak perlu yang lain, yang penting aksi!" sementara di pihak lain ada yang mengatakan, "Tidak, sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku." (tepuk tangan)

Jawaban yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan revolusioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan (tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya katakan sebelumnya, kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali melalui aksi.

Setiap bentuk teori yang tidak diuji melalui aksi bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya menjadi teori yang tidak berguna dari sudut pandang pembebasan manusia. (tepuk tangan) Hanya melalui usaha terus menerus memajukan keduanya pada saat bersamaan, tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal lain yang membuat saya tersentak, dan benar-benar menyentak karena diajukan dalam satu pertemuan orang-orang sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu dimensi baru dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak ada para aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di pihak lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat dalam aksi demonstrasi, maka mereka tidak akan punya waktu berpikir atau menulis buku, dan dengan begitu maka ada elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang.

Saya katakan bahwa setiap pernyataan yang menyebut adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran di dalam gerakan revolusioner, yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar dan elit yang kerja pikiran, secara mendasar bukan pernyataan sosialis. Pernyataan itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama dari gerakan sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya dalam organisasi tapi, lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang sosialis revolusioner pada 50 atau 100 tahun yang lalu belum dapat melihat hal ini dengan jelas, seperti kita sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk mencapai tujuan itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan pendidikan yang memungkinkan tercapainya hal itu. Salah satu pelajaran berharga yang harus kita ambil dari kemunduran Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan antara kerja manual dan kerja intelektual dipertahankan pada masyarakat yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju sosialisme dalam bentuk lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan birokrasi dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)

Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan tentang pemisahan kerja manual dan kerja pikiran dalam gerakan revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi yang baik jika tidak terlibat dalam aksi, dan tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima, memperkuat dan memajukan teori. (tepuk tangan)

Gerakan mahasiswa Eropa telah mencoba mencapai hal ini sampai tingkat tertentu di Jerman, Prancis dan Italia. Di sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi dengan sosiolog terkemuka, ahli politik dan ekonomi dan mengalahkan mereka dalam bidang ilmu mereka sendiri. (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan hanya tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.

Perlunya Organisasi Revolusioner

Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain dari kesatuan teori dan aksi yang sudah menjadi perdebatan dalam gerakan mahasiswa Eropa dan Amerika Utara. Saya secara pribadi yakin bahwa tanpa organisasi yang revolusioner, bukan suatu formasi yang longgar tapi sebuah organisasi yang serius dan permanen sifatnya, maka kesatuan teori dan praktek tidak akan bertahan lama. (tepuk tangan)

Ada dua alasan. Yang pertama berhubungan dengan asas dari mahasiswa sendiri. Status kemahasiswaan, hanya berlaku untuk jangka waktu yang singkat, tidak seperti buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat memperkirakan apa yang terjadi setelah ia meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemimpin partai-partai komunis di Eropa yang menentang perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: "Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menjadi bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius."

Ini adalah argumen yang tolol karena tidak mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan universitas sekarang ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik, maka mereka akan tahu bahwa hanya sebagian kecil dari lulusan universitas yang bisa menjadi kapitalis atau agen-agen langsung dari para kapitalis ini. Apa yang mereka khawatirkan mungkin saja menjadi kenyataan jika jumlah lulusan itu hanya 10.000, 15.000 atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta, lima juta mahasiswa, dan tidak mungkin kebanyakan dari mereka akan menjadi kapitalis atau manejer perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.

Argumen demagogis ini ada benarnya. Lingkungan akademis memang memiliki konsekuensi tertentu terhadap tingkat kesadaran sosial dan aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia tetap di universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh ideologi dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan sosial yang baru ini, apapun bentuknya. Ada kemungkinan terjadinya proses mundur ke posisi intelektual reformis atau liberal kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.

Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa revolusioner yang paling tua di Eropa. Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial Demokrat Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan meninggalkan universitas. Setelah beberapa tahun, dengan tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan orang-orang militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis sosialis, tidak aktif lagi dalam politik dari sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki satu organisasi partai. Karena tanpa organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan kelas buruh industri, dalam pengertian yang paling umum sekalipun. Sebagai Marxis, saya tetap yakin bahwa tanpa aksi kelas buruh tidak akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan dan itu berarti tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis. (tepuk tangan)

Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman gerakan mahasiswa, pertama di Jerman, lalu Prancis dan Italia, sudah berhasil mencapai kesimpulan teoretis tersebut dalam praktek. Diskusi yang sama tentang relevan atau tidaknya kelas buruh industri bagi aksi revolusioner dilakukan setahun atau bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti Jerman dan Italia.Masalah ini ditempatkan dalam praktek bukan hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar dari SDS Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di luar universitas menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.

Pengalaman seperti ini mengajarkan gerakan mahasiswa di Eropa Barat bahwa mereka harus menemukan jembatan dengan kelas buruh industri. Masalah ini memiliki sejumlah aspek yang berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan sebagai guru, karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu, tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain pengalaman kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan sejumlah kecil buruh, setelah tiga sampai delapan bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal, dan saat keseimbangan sudah tercapai, maka sedikit saja yang tersisa.

Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen adalah untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan perjuangan kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus. Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana dalam batas waktu tertentu, tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis revolusioner yang sama.Kita harus kritis melihat apakah integrasi seperti ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman di Prancis, Italia, dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, maka dengan mudah kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak dapat saya uraikan sekarang, sebuah situasi khusus muncul di Amerika Serikat di mana mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis tentang aksi revolusioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.

Tentu saja hal ini dengan cepat dapat berubah. Sejumlah orang berpendapat seperti itu di Prancis, hanya beberapa minggu sebelum tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan di Amerika Serikat, ada minoritas dalam kelas buruh industri yang penting, yaitu buruh kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa setelah dua tahun terakhir mereka tidak dapat menerima gagasan sosialis atau tidak mampu menjalankan aksi revolusioner. Di sini paling tidak ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara teori dan praktek di sebagian kalangan kelas buruh.

Sebagai tambahan, kiranya penting untuk menganalisa kecenderungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan mengguncang ketidakpedulian politik yang platen dan konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan lingkungan yang sangat mirip membuktikan bahwa hal itu mungkin terjadi. Beberapa tahun lalu di kalangan kelas buruh di Jerman mengendap stabilitas, konservatisme, dan integrasi masyarakat kapitalis yang tidak terguncang, sama seperti Amerika Serikat di mata banyak orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam perimbangan kekuatan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap struktur serikat buruh tradisional dan hak-hak dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.

Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang masalah-masalah perjuangan kelas kalian sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian harus bergabung dengan buruh. Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian banyak saluran tempat kesadaran sosialis dan aktivitas revolusioner dapat menghubungkan mahasiswa dan buruh, seperti ditunjukkan bukan hanya oleh Eropa Barat tapi juga oleh Jepang. Rangkaian penghubung ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh. Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terakhir yang mempengaruhi struktur kelas buruh, sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam teknologi yang telah berubah bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang kehancuran total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam yang tingkat penganggurannya sama tinggi seperti tingkat rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan ini memperlihatkan apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda. Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang ini jelas menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak membeda-bedakan antara mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai musuh.Contoh kongkret dari ini adalah insiden di Flins ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah dibunuh oleh polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas orang-orang yang lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak, sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi. (tepuk tangan)

Jika kalian secara seksama membaca buku-buku sekarang, industri film dan bentuk-bentuk refleksi kenyataan sosial yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir, kalian akan lihat bahwa di samping semua pembicaraan yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggambarkan jenis pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga semangat memberontak dari kaum muda. Ini tidak terbatas bagi mahasiswa atau kelompok minoritas seperti orang kulit hitam di Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosialis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya penting bagi negeri-negeri Barat selama sepuluh sampai limabelas tahun mendatang. Jika kita berhasil mengangkat kaum muda yang terbaik menjadi sosialis revolusioner --saya pikir ini sudah mulai dilakukan di negeri-negeri Eropa Barat-- kita bisa yakin tentang kemajuan gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas dan kebanyakan orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan, maka kita akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan masuk ke dalam liang kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.

Persatuan teori dan praktek juga berarti bahwa serangkaian gagasan kunci dari gerakan sosialis dan tradisi revolusioner telah ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa sebagian orang dalam gerakan mahasiswa di Amerika Serikat ingin menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Aku sepenuh hati setuju dengan setiap usulan yang menginginkan sesuatu yang lebih baik, karena apa yang telah dicapai oleh generasi-generasi sebelumnya juga kurang meyakinkan dari sudut pandang pembangunan masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan. Jika kalian menyangka sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang sebenarnya sedang dilakukan adalah mundur ke masa lalu yang jauh lebih terbelakang dari masa lalu Marxisme.

Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi populer di kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya sudah sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari evolusi sosial dan kecenderungan kritik sosialis dikembangkan dalam jalur para pemikir besar abad 18 dan 19. Terlepas dari kalian suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya diciptakan di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan kecenderungan baru, kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil terbaik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan untuk senantiasa menciptakan sesuatu yang baru hanyalah satu aspek awal dari radikalisme mahasiswa. Ketika gerakan sudah berkembang menjadi besar dan bisa memobilisasi massa yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner yang luas ber­juang menemukan kembali tradisi sejarah dan akar-akar historis mereka. Mereka seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih kuat jika mengatakan: perjuangan kami adalah perpanjangan dari perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau bahkan 2.000 tahun lalu ketika budak-budak pertama memberontak terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari sejarah dan terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa lalu tidak pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada yang dapat kita pelajari dari itu. (tepuk tangan)

Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa kembali pada beberapa konsep historis dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita telah melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Prancis, Jerman, Italia dan sekarang Inggris kembali kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis dan demokrasi buruh. Bagi seseorang seperti saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana gerakan revolusioner Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara, dan menghu­bungkannya dengan tradisi terbaik dari sosialisme. Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali tradisi internasionalisme dari sosialisme lama dan Marxisme ketika kalian bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan bahwa gerakan mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan akar-akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme, sama seperti internasionalisme dari kelas buruh. Masalah-masalah internasional yang dihadapi adalah masalah solidaritas dengan kawan-kawan kita di Meksiko, Argentina dan Brasil yang memimpin perjuangan besar, yang mengangkat revolusi Amerika Latin ke tingkat lebih tinggi setelah menderita kekalahan karena kepemimpinan yang buruh, reaksi internal dan represi imperialis selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan mahasiswa-mahasiswa Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah situasi politik secara mendasar di negeri itu dan membuang topeng demokrasi palsu yang dipasang pemerintah Mexico untuk menerima jutaan dolar dari penonton-penonton Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton Olimpiade akan tahu bahwa ia telah mengunjungi negeri di mana para pemimpin serikat buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun setelah masa tahanan mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik kalangan kiri dipenjara bertahun-tahun tanpa pengadilan, di mana pemimpin mahasiswa dan ribuan milisi mahasiswa ditahan di penjara tanpa landasan hukum. Protes mereka yang heroik memiliki konsekuensi bagi masa depan politik Meksiko dan perjuangan kelas di negeri itu. (tepuk tangan)

Penting juga kiranya mengutarakan beberapa patah kata tentang mahasiswa tahanan di negeri-negeri semi kolonial lainnya, yang tidak pernah dibicarakan orang, seperti pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena mengorganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan terlupakan.

Akhirnya, kita tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi Amerika Serikat di Vietnam, yang tetap menjadi perjuangan utama di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya negosiasi itu di Paris, tidak berarti bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan untuk membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya mengajak kalian ikut dalam aksi dunia yang dimulai oleh gerakan mahasiswa Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa Revolusioner Inggris bersama dengan Kampanye Solidaritas Vietnam, dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini. Ini adalah Minggu Solidaritas untuk revolusi Vietnam, dari tanggal 21 sampai 27 Oktober. Minggu ini ratusan ribu mahasiswa, buruh muda dan revolusioner muda akan turun ke jalan bersamaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diajukan kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia bahwa di Amerika Serikat ada ratusan ribu orang yang menginginkan penarikan kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu pasti akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan) |ernestmandel
More aboutGerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek