MASA DEPAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS WACANA TENTANG PERKEMBANGAN CIVIL SOCIETY

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Senin, 27 Februari 2012

JURNAL MASYARAKAT KEBUDAYAAN DAN POLITIK

Volume 12, Nomor 4: 15-24
Masa Depan Indonesia: Sebuah Analisis Wacana tentang Perkembangan Civil Society

(Sebuah Pelajaran yang Disimak dari Penyelenggaraan Scenario Planning Indonesia 2010)



Daniel Sparringa*

Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga


Tulisan berikut ini menyodorkan sebuah tema sentral tentang apa yang dapat kita pelajari setelah beberapa rangkaian dialog regional untuk menyusun scenario planning (SP) digelar.Pendekatan utama yang dipa-kai dalam analisis ringkas ini adalah pene-kanannya kepada usaha memberi tempat yang penting pada pengembangan kategori, konsep dan wacana menurut perspektif pe-serta dialog. Alih-alih menekankan pada pe-ngembangan konsep-konsep yang telah ma-pan, analisis berikut ini memusatkan perhati-annya pada pemikiran-pemikiran peserta di-alog tentang tema-tema tertentu yang mun-cul dan berkembang selama rangkaian dia-log itu berlangsung

Para peserta dialog SP pada umum-nya mengembangkan sendiri kategori-kategori a-priori yang terbentuk dan yang amat dipengaruhi oleh wacana yang berkem-bang di sekitar kehidupan mereka. Satu hal yang amat menonjol adalah kenyataan bah-wa mereka banyak mengadopsi berbagai istilah yang dibawa oleh perubahan yang utamanya terjadi dalam dua tahun terakhir ini. Beberapa pasang kata yang mencermin-kan pemilahan biner yang paling populer di kalangan mereka di antaranya adalah: demo-krasi-otoriter, ekonomi kerakyatan-konglo-merasi, elit-rakyat, hak-hak asasi manusia-represi, Jawa-luar Jawa, keadilan-penindas-an, negara (state)-masyarakat (civil society), negara kesatuan-federasi, reformasi-status quo, pluralisme-penyeragaman, religius-sekuler, sentralisme-desentralisme, dan sipil-militer. Di samping itu, beberapa isti-lah lain juga muncul walaupun digunakan dalam

konteks yang berdiri sendiri atau kalaupun berpasangan mereka sering tidak konsisten penempatan kategorinya. Misal, dwifungsi, globalisasi, hegemoni, kapitalis-me, kearifan lokal, masyarakat adat, dan otonomi.

Sebenarnya, dapat dikatakan tidak ada pola tunggal dalam cara mereka me-mahami wacana yang diwakili oleh istilah-istilah tersebut. Sebagai sebuah lapangan wacana (discursive field), apa yang didefinisikan sebagai patut-tak patut, baik-buruk, boleh-tak boleh merepresentasikan sebuah pergumulan makna yang amat majemuk dan lebih dalam proses ‘menjadi’ daripada sebagai sebuah makna final yang mencerminkan posisi ideologis seseorang atau kelompok. Pengelompokan atas respon mereka pada masing-masing wacana tentu saja dapat dilakukan namun dengan segala kompleksitasnya yang kerap dipenuhi oleh paradoks.

Paradoks itu dapat dikenali dengan melihat cara mereka mendefinisikan masa-lah dan memberikan arti kepadanya. Meski pun sangat jelas bahwa sebagian besar pe-serta dialog merupakan representasi elemen-elemen penting dalam civil society (CS), na-mun kebanyakan dari mereka enggan me-nempatkan posisinya sebagai bagian dari kekuatan yang hidup dalam alam pikir rakyat kebanyakan. Keengganan untuk berpikir dalam perspektif orang kebanyakan itu pada dasarnya menegaskan kembali tentang lebarnya kesenjangan ideologis di antara mereka dan orang kebanyakan pada umumnya.

Sementara mereka beroperasi dengan istilah yang hanya dimengerti dalam kalang-an mereka sendiri, terdapat kecenderungan yang kuat untuk mengadopsi kepercayaan bahwa berpikir ilmiah adalah berpikir me-nurut logika yang dibangun atas dasar posi-tivisme --sebuah paradigma yang di antara-nya menerima obyektivitas sebagai sebuah dalil untuk menghasilkan kebenaran sejati. Sebuah kebenaran yang dipercaya dapat, atau bahkan harus, dibangun di luar kesadar-an subyektif manusia Dalam perspektif se-macam ini, terdapat keengganan untuk menyuarakan kepentingan ‘kelompok’ dari mana mereka berasal. Berpikir ‘politis’ --yakni menyuarakan kepentingan ‘subyektif’ berdasarkan kesadaran kolektif-partikular--dipandang sebagai berpotensi mencederai intelektualisme yang amat mereka bangga-kan sebagai icon yang membedakan mereka dengan orang kebanyakan itu. Kepercayaan kepada adanya kebenaran universal menjadi satu wacana tersendiri yang amat dominan di kalangan para peserta dialog. Akibatnya, sebagian besar peserta dialog menempatkan dirinya secara konservatif sebagai individu-individu ‘obyektif’ yang lokasi sosialnya amat berjarak dengan orang kebanyakan (rakyat).

Paradoks yang lain nampak dari ba-gaimana mereka memposisikan dirinya ter-hadap wacana publik yang tengah berkem-bang dalam dialog. Sementara mereka me-nyatakan dirinya sebagai individu bebas (free-floating individual), sangat sering me-reka pada saat yang sama mengatasnamakan rakyat dalam perdebatan tentang sebuah tema. Lebih jauh, politik wacana mereka juga amat diwarnai oleh elitisme --rakyat dilihat sebagai masih kurang mengerti dan tak cukup canggih untuk mengerti persoalan yang tengah mereka bahas. Meskipun mere-ka memiliki pandangan-pandangan yang progresif tentang banyak hal, kebanyakan dari mereka sangat enggan mengadopsi pen-dekatan populis-- sebuah pandangan yang walaupun pada tingkat wacana sangat mengagungkan partisipasi namun menolak keterlibatan massa dalam proses pembuatan keputusan publik. Gagasan mereka tentang pemberdayaan masyarakat (empowerment of civil society) pada dasarnya terbatas pada elemen-elemen elitis dalam masyarakat yang dipandangnya sebagai kekuatan inti yang mencerahkan karena kemampuan intelektual yang dimilikinya.

Yang juga menarik untuk dicatat di sini adalah, ketika mereka sedang berbicara tentang negara (state), mereka memposisi-kan sebagai rakyat. Sementara itu, ketika mereka sedang berbicara tentang CS, orang-orang di luar lingkaran mereka adalah rak-yat. Lokasi sosial yang agak ganjil ini untuk sebagian menjelaskan bagaimana kuatnya kecenderungan untuk menolak perubahan yang datang dari bawah, dari kekuatan arus bawah, dari orang kebanyakan. Sementara mereka berbicara dalam ‘bahasa orang terdi-dik’, mereka sendiri tampak tak cukup punya bekal yang memadai untuk berbicara lebih jauh dari sekedar istilah semata. Pe-mahaman mereka terhadap istilah global-isasi, demokrasi, kapitalisme, pluralisme, se-bagai misal, pada umumnya berhenti di tingkat retorika. Hampir tidak terjadi pem-bicaraan yang menyentuh substansi dan im-plikasinya pada kehidupan yang nyata. Tidak mudah dijelaskan, memang. Semen-tara mereka menempatkan posisinya di pusat perubahan, mereka sendiri tak cukup siap menjadi pusat bagi tumbuhnya gagasan-gagasan alternatif cemerlang yang mampu menandingi wacana dominan Orde Baru. Ambivalensi mereka terhadap posisi rakyat dalam proses perubahan menimbulkan perta-nyaan tentang adakah kepercayaan bahwa mereka dapat menjadi motor perubahan itu dapat dipertahankan lebih lama lagi.

Sementara sebagian dari mereka ter-kesan gagal mengembangkan definisi yang lebih luas tentang demokrasi, sebagian yang lain berusaha mengembangkan definisi yang sempit, yakni demokrasi yang ditandai oleh berfungsinya parlemen, partai dan pemilu, titik! “Demokrasi terbatas” yang mereka pahami itu gagal memberi tempat penting bagi praktek “partisipasi politik individu secara langsung” yang sering dicakup dalam konsep civil liberties. Pemahaman mereka terhadap partisipasi politik semacam itu se-perti telah diisyaratkan dalam uraian di muka tadi dilihat dengan sikap yang mere-mehkan kesempatan bagi orang kebanyakan memperoleh kesempatan untuk melaksana-kan hak-hak dasar politik mereka seperti kebebasan berbicara dan berserikat. Wacana dominan di sekitar tema ini pada umumnya diwarnai oleh kepercayaan bahwa mayoritas rakyat belum siap menerima demokrasi. Terdapat isyarat yang cukup jelas yang memperlihatkan preferensi mereka terhadap apa yang saya sebut dengan “demokrasi segmental” --sebuah konsepsi yang menem-patkan elemen elitis dalam masyarakat sebagai pusat wacana dan perubahan. Sebagai kontras, mereka melihat jaminan terhadap praktek “partisipasi politik individu secara langsung” hanya akan melahirkan apa yang sering dalam kesempatan berbeda saya sebut dengan “demokrasi chihuahua” -- sebuah istilah yang merepresentasikan pandangan bahwa suara orang kebanyakan hanya merefleksikan euphoria dan akan melahirkan kekacauan.

Walaupun terdapat kecenderungan umum bahwa perkembangan politik di Indonesia pasca-Soeharto mengindikasikan makin berkembangnya CS, sesungguhnya terdapat sedikit bukti untuk menyokong pandangan bahwa elemen-elemen strategis yang terdapat dalam masyarakat dapat memberikan terobosan segera yang berarti bagi kemungkinan berkembangnya sebuah masyarakat yang lebih pluralistik, lebih demokratis. Dengan menguji apa yang telah dikemukakan sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa secara epistemologis, kebanyakan peserta dialog berperan dalam gaya politik pemerintah dan karenanya kurang memberi tandingan yang berarti pada wacana dominan yang diproduksi atau direproduksi oleh negara. Bahkan, terdapat kecenderung-an yang masih terlihat bahwa mereka bertahan dalam budaya politik Orde Baru yang cenderung melihat kebenaran dalam perspektif tunggal dan mengatasi yang lain (monolitik dan hegemonik).

Penyuaraan untuk perubahan secara gradual dan segmental, kecenderungan un-tuk mengadopsi pendekatan yang lebih elitis dalam demokrasi, atau “lokalisasi kekuasa-an” dengan meminta pemerintah memberi-kan otonomi yang lebih luas kepada daerah, sebagai misal, dalam banyak hal memper-kuat struktur politik yang ada. Posisi sema-cam ini meneguhkan hegemoni negara sebagai pusat dan lokus kekuasaan, daripada melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang menyebar dan menyelimuti masyarakat (disperse and permeate), dan sebagai sesu-atu yang “sudah tersedia di sana”. Mirip dengan itu, cara mereka memandang pemerintah sebagai agen utama pem-bangunan yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan dan ketidak-adilan, sekali lagi, menegaskan ikhwal itu.

Gambaran di atas, walaupun diung-kapkan hanya dalam garis-garis besarnya saja, memperlihatkan masih kuatnya hu-bungan yang tak setara di antara CS dan negara. Dalam ikhwal yang terakhir ini, menjadi penting untuk dilihat bagaimana proses-proses politik maupun sosial yang terjadi di tingkat CS dapat dicermati sebagai bahan untuk melihat potensi dan arah perkembangan Indonesia di masa depan.

Bagian berikut dari tulisan ini men-coba mengedepankan ulasan saya tentang perkembangan CS di Indonesia dalam pers-pektif sosiologis. Ulasan itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai analisis lengkap, apalagi akhir, namun sekurang-kurangnya mencoba menawarkan sebuah perspektif kontekstual yang melampaui wacana yang berkembang dalam rangkaian dialog regional itu.

Perkembangan Civil Society di Indonesia:
sebuah Perspektif Sosiologis

Sejak awal sebenarnya terdapat masalah yang serius dalam sejarah perkembangan civil society[2] (CS) di Indonesia. Pada masa kolonial, kecuali memang tidak terdapat infrastruktur sosial yang memadai bagi usaha untuk memfasilitasi tumbuhnya insti-tusi sosial penting yang mencerminkan hadirnya asosiasi-asosiasi sukarela, plural-isme dan transaksi sosial lintas kultural, secara sistematis terdapat usaha dari peme-rintah kolonial untuk menghambat perkem-bangan yang wajar dari CS di Indonesia.[3] Meskipun terdapat perubahan yang cukup berarti tidak lama setelah politik etis menghasilkan kaum bumiputera terdidik di sekitar awal abad lalu, dapat dikatakan hanya sekelompok kecil lapis atas dari kaum ini yang mungkin dapat dipandang sebagai embrio lahirnya gagasan-gagasan universal kemanusiaan yang dalam dua dekade berikutnya berimbas pada berkembangnya gagasan-gagasan politik kebangsaan di Indonesia.[4]

Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan CS di Indonesia sampai dengan tibanya pengakuan kedaulatan tidak cukup menghasilkan kesadaran-kesadaran baru selain nasionalisme --sebuah kesadaran yang terutama dikonstruksikan melalui wacana politik tentang kolonialisme dan yang kemudian disusul dengan gerakan perlawanan bersenjata mengusir penjajah. Catatan terpenting dari ikhwal ini adalah gagasan nasionalisme generasi kedua[5] yang lahir mendahului pernyataan kemerdekaan itu tidak disokong oleh tersedianya forum dan media yang memungkinkan elemen-elemen majemuk dalam CS berinterkasi dalam kerangka negara bangsa (nation state) yang moderen. Walaupun dalam periode se-telah kemerdekaan, terutama selama era multipartai pertama (1950-8), terdapat kesempatan yang cukup luas untuk mengembangkan pluralisme, hampir dapat dikatakan bahwa ikatan-ikatan politik yang tumbuh karena kesadaran partikular dan lokalitas masih cukup dominan mewarnai wacana dan praktek politik selama periode itu. Meskipun tidak cukup puas dengan apa yang terjadi, banyak kalangan percaya bahwa periode itu sangat penting untuk di-perhatikan karena elemen-elemen majemuk dalam masyarakat mulai mengambil prakar-sa untuk berinterkasi dalam ruang publik yang amat dinamis karena melibatkan proses-proses negosiasi-renegosiasi dan posisi-reposisi di antara nilai-nilai lokal, partikular dan universal.

Periode perkembangan yang amat penting itu relatif terhambat karena terja-dinya perubahan pada tingkat negara dengan munculnya Demokrasi Terpimpin (1959-65). Hadirnya Demokrasi Terpimpin jelas telah mengakibatkan kompetisi di antara lima aliran ideologi itu (Islam, Tradisional-Ortodoks, Nasionalis, Sosial-Demokrat dan Komunis) tenggelam oleh besarnya kehendak negara untuk di satu pihak menge-limisasi polarisasi dan divisi sosial di dalam masyarakat dan di pihak lain menggeser proses-proses politik massa ke arah yang lebih elitis. Persaingan di antara aliran-aliran ideologi dicegah untuk berkembang melalui pengenalan kembali pada gagasan-gagasan nasionalisme awal republik yang amat diwarnai oleh interpretasi Soekarno yang sampai batas-batas tertentu merupakan usaha sinkretisme atas aliran-aliran ideologi itu.[6]

Walaupun melalui motivasi yang berbeda, perubahan politik selanjutnya memperburuk perkembangan CS. Hadirnya rejim Orde Baru telah amat menghancurkan kemungkinan elemen-elemen penting dalam CS di Indonesia untuk melakukan proses pertumbuhan. Kebijakan yang amat sistem-atis yang ditempuh oleh Orde Baru untuk melakukan depolitisasi politik massa dan politik aliran menggenapkan kesempurnaan proses-proses politik yang dasar-dasarnya telah diletakkan sebelumnya oleh peme-rintah kolonial. Orde Baru, dalam pema-haman sosiologis saya, merupakan feno-mena negara yang amat hegemonik karena amat berhasil mengintegrasikan elemen-elemen penting CS ke dalam wilayah negara. Interaksi di antara elemen-elemen majemuk yang memungkinkan berkembang-nya ruang publik bagi pengembangan sebuah masyarakat plural praktis tidak banyak berkembang, bahkan hancur, karena adopsi cara pandang elit Orde Baru yang melihat kesempatan semacam itu lebih mungkin menghasilkan disintegrasi sosial daripada stabilitas sosial --sebuah paradigma yang kemudian diketahui amat menyesatkan karena stabilitas sosial yang dibangun dengan cara meniadakan kemajemukan itu justru menimbulkan komplikasi yang amat serius di kemudian hari.

Indonesia dalam Transisi: “dari Komunisme ke Komunalisme”[7]

Harus diakui bahwa ketika orang mulai memikirkan sebuah perubahan di Indonesia, tidak banyak dari mereka yang melihat ada sejumlah masalah dengan itu. Wacana yang dominan tentang perubahan yang dikemas dengan istilah “reformasi” itu pada umum-nya mengasumsikan masalah terpokok bagi sebuah perubahan di Indonesia terdapat pada negara (state) dan bukan masyarakat (civil society). Kekuasaan yang korup, sentral-istis, dan abai terhadap hak-hak sipil dan politik rakyat, misalnya, dipandang sebagai sumber utama dari berbagai persoalan di Indonesia yang kerap digambarkan sebagai “krisis multi-dimensi”.[8] Anggapan yang se-belumnya sangat dominan berkembang di kalangan elit Orde Baru bahwa masyarakat Indonesia belum siap menerima demokrasi pada umumnya ditolak, sekurang-kurangnya diremehkan, oleh para penganjur “Demokra-si Sekarang” (DS).[9]

Para penganjur DS yang terutama berasal dari kalangan aktivis mahasiswa, LSM, intelektual oposisionis[10] (baik yang berasal dari kampus maupun non-kampus) dan sebagian ‘kelas menengah’ yang berasal dari kelompok profesional berbasis urban, pada dasarnya menghendaki perubahan yang bersifat struktural di tingkat negara. Datang dengan gagasan “reformasi total”, mereka beroperasi melalui tema-tema “demokrasi”, “HAM”, “keadilan”, “rule of Law”, “civil supremacy”, dan “clean government and good governance”. Walaupun sebagian besar tidak percaya pada revolusi, mereka menghendaki upaya-upaya yang cepat bagi pemulihan demokrasi di Indonesia yang menjadi inti dari “Indonesia Baru” itu.

Tentu saja, saya sendiri tidak menampik seriusnya persoalan yang terdapat pada negara Orde Baru yang dalam pemahaman saya terutama ditandai oleh tidak hadirnya sebuah pemisahan dan pembagian kekuasaan yang jelas di antara tiga hal: (a) kekuasaan judisial-eksekutif-legislatif (JEL); (b) pemerintah pusat-daerah; dan wilayah negara-masyarakat.[11] Walaupun begitu, banyak kalangan mulai mempertanyakan kembali tentang kesiapan masyarakat setelah melihat begitu banyak tindakan-tindakan kekerasan yang mem-bawa korban dalam bentuk harta dan nyawa. Apabila sampai dengan setahun setelah kejatuhan Presiden Soeharto masyarakat pada umumnya dan analis sosial pada khu-susnya menjelaskan kekerasan-kekerasan itu sebagai respon terhadap rejim sebelumnya yang otoritarian, akhir-akhir ini berkembang pertanyaan-pertanyaan di kalangan masya-rakat yang mencerminkan kegelisahan. Kegelisahan itu pada umumnya berkisar di sekitar persoalan tentang (1) seberapa cepat perubahan yang nyata itu akan terjadi, setidak-tidaknya dalam arahnya yang men-janjikan?; (2) seberapa mungkin perubahan itu dapat dilakukan dengan ‘guncangan’ yang mereka dapat menanggungnya lagi?; (3) seberapa masuk akal harapan terhadap perubahan itu digantungkan kepada para pemimpin mereka?; (4) seberapa siap infra-struktur yang terdapat dalam CS untuk ikut menentukan arah perubahan itu?; dan (5) ba-gaimanakah ‘masa lalu’ itu hendak disele-saikan?

Reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan itu pada umumnya mengabarkan kerisauan dalam ikhwal bagaimana mereka semestinya memposisikan dirinya terhadap pertanyaan-pertanyaan itu. Miskinnya pemahaman bahwa mereka sesungguhnya dapat menjadi bagian yang berarti dalam proses perubahan itu mengecilkan potensi bagi berkembangnya kesadaran kolektif yang penting bagi sebuah perubahan yang berpola partisipatoris. Keragu-raguan bahwa para pemimpin mereka sedang bekerja dalam arah yang menjanjikan juga menimbulkan rasa frustasi dan meningkat-kan kecemasan tentang ada tidaknya masa depan yang lebih baik itu.

Di samping berkembangnya perasa-an-perasaan alienasi yang meluas terhadap proses perubahan dan struktur yang memfasilitasi perubahan itu, kebanyakan dari mereka memiliki kepercayaan yang tidak jelas terhadap bagaimana perubahan itu harus dilakukan --dari mana memulai-nya?, siapa yang semestinya mengambil prakarsa?, mana yang harus diubah dan mana pula yang sebaiknya dipertahankan?, dengan ongkos apa dan berapa besar? Dan tentu saja, siapa yang menanggungnya? Apabila terdapat rasa percaya yang berlebihan ketika reformasi pada awalnya digulirkan, yang tampak menonjol sekarang adalah kehilangan rasa percaya diri itu. Pada umumnya terdapat suasana untuk menghindari perdebatan tentang bagaimana mereka harus mengambil posisi terhadap perubahan itu. Yang tampak menonjol jus-tru hasrat yang besar untuk melihat bahwa perubahan itu akan datang dengan sendirinya, pada waktunya.

Walaupun tidak mudah untuk me-rumuskan perasaan-perasaan yang mewakili keprihatinan masyarakat luas itu, saya menangkap kesan yang amat kuat bahwa mereka melihat adanya kesenjangan yang besar di antara apa yang mereka lihat dan alami sekarang dan gambaran mereka sebe-lumnya tentang reformasi itu. Menurut sa-ya, akibatnya sangat buruk. Apa yang me-reka persepsi sebagai ketidakadilan yang sis-temik itu diresonansikan ke dalam sebuah perlawanan simbolik dan retorik yang kerap justru mengaburkan berkembangnya pem-bicaraan-pembicaraan yang jernih tentang masalah yang mereka hadapi sendiri. Di samping itu, tidak berkembangnya infra-struktur sosial dan politik yang memadai di tingkat CS dan negara yang mampu mem-fasilitasi terjadinya proses artikulasi dan institusionalisasi aspirasi mengakibatkan liberalisasi politik yang diletakkan dasar-dasarnya sebelumnya oleh Presiden Habibie hanya menghasilkan frustasi sosial yang luas --sebuah kondisi yang cocok untuk menghasilkan disintegrasi sosial. Fenomena inilah yang sedang dan, untuk waktu yang cukup lama, akan dihadapi oleh duet Gus Dur dan Megawati.

Civil Society sebagai Determinan Perubahan

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Adakah ekspresi “dari komunisme ke komu-nalisme” itu sungguh mencerminkan kea-daan yang sebenarnya sedang kita saksikan? Penjelasan orang tentang isu ini memang dapat bermacam-macam. Di kalangan para penganut aliran struktural fungsional terda-pat kecenderungan untuk percaya bahwa apa yang sedang terjadi ini merupakan proses pencarian keseimbangan baru. Sebuah pro-ses yang walaupun penuh guncangan diper-caya akan diakhiri dengan hadirnya sebuah harmoni baru yang terutama ditandai oleh terjadinya konsensus tentang bagaimana sebuah sistem sosial hendak dikelola secara kolektif. Cara pandang semacam ini pada umumnya cukup kuat di antara mereka yang mempelajari ilmu-ilmu sosial sampai dengan akhir tahun 1970-an.

Sementara itu, bagi mereka yang menggunakan pemikiran yang ditawarkan oleh aliran struktural konflik memahami persoalan itu sebagai perwujudan kompetisi memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan politik. Salah satu varian dari aliran pemikiran ini melihat konflik di tengah masyarakat sebagai bagian dari perjuangan kekuasaan yang lebih luas, terutama di kalangan para elit politiknya. Di luar dua aliran ini, terdapat beberapa aliran pemikiran teoritis di era 1990-an yang mengambil cara pandang yang menolak determinisme struktur sebagai pola dominan dalam menjelaskan perilaku: mulai dari teori kritis hermeneutics ala Habermas, Agency vs Structure ala Giddens sampai dengan power/ knowledge ala Foucault.

Saya sendiri cenderung untuk selalu melihat konteks (dalam hal ini dinamika dan sejarah) dan teks (dalam hal ini struktur dan nilai) dalam sebuah arena yang saling ber-interaksi yang melibatkan proses-proses so-sial yang evaluatif terhadap ruang dan waktu (posisi-reposisi/negosiasi-renegosiasi). Ter-hadap masalah yang sedang kita bicarakan, saya cenderung melihat apa yang terjadi di masyarakat belakangan ini sebagai bagian dari konflik ideologis (ideological battle-field) dan perebutan kekuasaan (power struggle) di antara para elit politik.[12] Di samping itu, ini juga merupakan fungsi dari kegagalan elemen-elemen penting dalam negara untuk mengelola masyarakat majemuk yang proses pembentukannya menjadi sebuah civil society telah lama terhambat.

Memperhatikan bahwa proses-proses politik yang berlangsung di tingkat negara akan banyak diserap oleh kebutuhan untuk di satu pihak melakukan konsolidasi kelem-bagaan dan ideologis dan di pihak lain menciptakan balance of power yang baru, hampir dapat dikatakan tidak banyak yang dapat disumbangkan oleh negara dalam pro-ses penciptaan infrastruktur sosial penting dalam CS.[13] Masyarakat sendiri lah yang pada akhirnya akan menentukan perkem-bangan CS di Indonesia. Perjalanan ke arah itu saya kira masih panjang dan rumit. Trauma sosial di masa lalu telah banyak menghilangkan kepercayaan di kalangan CS untuk mengambil peran yang lebih kon-struktif dalam proses perubahan ini. Keadaan ini tidak saja mencemaskan tetapi juga akan menenggelamkan proses-proses kreatif yang lazimnya selalu mudah dibang-kitkan apabila terdapat rasa percaya dan menghormati (mutual trust and respect) di kalangan masyarakat pada umumnya dan para pemukanya pada khususnya. Keke-rasan yang amat mudah berkembang dalam masyarakat jelas memperlihatkan betapa seriusnya masalah yang dihadapi oleh CS di Indonesia. Agak tidak mudah menjelaskan ikhwal itu hanya dengan mengaitkannya dengan hadirnya provokator, terlebih ketika itu terjadi pada skala yang amat luas.

Saya percaya bahwa masa depan Indonesia sedang memasuki tahapan yang paling kritis dari semua gejolak yang kita lampaui sejak kejatuhan Presiden Soeharto. Masa depan di Indonesia tidak lagi ditentukan oleh apa yang berkembang pada tingkat negara tetapi terutama oleh apa yang sedang terjadi dalam CS. Walaupun jelas artikel ini terlalu sempit untuk membica-rakan masalah itu dalam rincian yang mema-dai, cukup aman untuk mengatakan bahwa apa yang sedang terjadi di tingkat CS bukan-lah kabar yang baik untuk membesarkan harapan kita tentang “Indonesia Baru” itu. Kita memang sedang di persimpangan jalan yang amat menentukan: menuju civil society Indonesia yang terbuka ataukah Civil Society Indonesia yang terbelah menurut garis komunal? Kita ingin perubahan atau-kah pemusnahan? Di tangan elemen-elemen penting dalam CS-lah masa depan Indonesia sedang digantungkan.







Daftar Pustaka





Neocleous, M., “From civil society to the social”, dalam British Journal of Sociology, 46, 1995: 395-408.



Roberts, C., The Idea of Civil Society (Research Triangle Park, N.C.: Nati-onal Humanities Center, 1991).



Sparringa, Daniel, “Demokrasi: Pengalaman Struktural ataukah Kultural?” work-ing paper, Laboratorium Masalah-masalah Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uni-versitas Airlangga (FISIP Unair), 1998a.



Sparringa, Daniel, “Kompetisi Aliran Ideo-logi Pasca Orde Baru” working paper, Laboratorium Masalah-masalah Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uni-versitas Airlangga (FISIP Unair), 1998b.



Sparringa, Daniel, “Taksonomi Intelektual Indonesia” working paper, Labora-torium Masalah-masalah Pemba-ngunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), 1999.



[1]Tulisan ini dikembangkan dari pengalaman memfasilitasi dialog penyusunan scenario planning “Indonesia 2010” di delapan dari 14 rejion yang tersebar dari ujung timur sampai barat. Dimulai pada bulan Juni 1999, seluruh rangkaian dialog ini diper-kirakan akan rampung sebelum pertengahan tahun 2000. Sebagai fasilitator, saya jelas amat beruntung karena memiliki kesempatan untuk melakukan studi terhadap elemen-elemen strategis dalam masyarakat dengan pendekatan pengamatan terlibat dan yang berperspektif grounded theory. Sebagai sebuah metode, scenario planning ini baru kali pertama diperkenalkan di Indonesia untuk kepentingan ini meskipun sebenarnya telah mulai populer di kalangan masyarakat bisnis internasional sejak era 1980-an setelah perusahaan minyak Shell mengawalinya untuk mengembangkan skenario masa depan global dunia perminyakan. Pada tingkat negara, Afrika Selatan dan Columbia adalah dua negara yang menjadi perintis yang menerapkan metode ini. Sekarang, banyak negara menggunakan metode ini untuk mengantisipasi masa depan mereka.

[2]Secara sadar saya memang memilih istilah civil society di tengah perdebatan intelektual di Indonesia belakangan ini tentang adakah istilah masyarakat madani itu dapat dianggap menjadi istilah pengganti untuk civil society. Keengganan saya untuk memasuki area itu bukan terletak pada masalah semantik tetapi pada isu di sekitar pertanyaan tentang adakah rujukan sejarah yang kerap dipakai oleh eksponen penggagas istilah itu memang sungguh mencerminkan ciri yang hakiki yang diwakili oleh konsep civil society sebagaimana ditemukan dalam teks sosiologi pada khususnya dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Lihat, misalnya, Roberts (1991), Neocleous (1995).

[3]Ilustrasi yang cukup memadai tentang ikhwal itu, misalnya, dapat dilihat bagaimana pemerintah kolonial membagi masyarakat ke dalam klas-klas sosial yang mengikuti garis rasial yang pada saat yang sama kerap bersegaris dengan fungsi sosial dalam masyarakat: masyarakat Eropa, Tionghwa dan keturunan Arab, dan Bumiputera. Di daerah perkotaan, kebijakan untuk melakukan politik segregasi itu untuk sebagian terlihat dari bagaimana pemukiman berdasarkan garis ras dan etnisitas itu berkembang yang dalam bentuknya yang relatif masih sempurna dapat dilihat bekas-bekasnya hingga sekarang ini.

[4]Lahirnya “Boedi Oetomo” di tahun 1908 yang kemudian disusul dengan berdirinya partai di tahun 1920-an dan sesudahnya merupakan ilustrasi yang menggambarkan peran kelompok terdidik bumiputera pada era itu.

[5]Puncak kelahiran nasionalisme generasi kedua ditandai dengan lahirnya negara-negara baru setelah PD II. Negara-negara ini, termasuk Indonesia, pada umum dipersatukan oleh semangat yang sama untuk bernaung dalam sebuah negara bangsa yang dibangun di atas puing-puing kolonialisme. Hampir tidak ada alasan obyektif bagi bangsa semacam itu untuk bersatu karena kemajemukannya selain kesadaran bersama yang dibangun karena pengalaman emosional kesejarahan.

[6]Penekanan pada ide persatuan nasional ala Presiden Soekarno pada masa itu di antaranya dapat dikenali melalui gagasannya tentang “NASAKOM”.

[7]Ekspresi ini (“Dari Komunisme ke Komunalisme”) saya pinjam dari seorang kawan yang menggambarkan kecemasan pribadinya tentang masa depan Indonesia Istilah “komunalisme” sendiri dikenal dalam sosiologi sebagai konsep yang mencoba menggambarkan terjadinya divisi sosial, bahkan mungkin ideologi, atas dasar ikatan-ikatan geneakologis seperti daerah, suku, ras dan agama. Di Indonesia sendiri, penggambaran serupa atas kecenderungan ini sering ditangkap dengan istilah primordialisme atau sektarianisme.

[8]Istilah ini dipakai oleh mereka yang percaya bahwa Indonesia tidak saja sedang menghadapi krisis politik, ekonomi, hukum dan budaya, tetapi juga, bahkan terutama, moral.

[9]Para pendukung gagasan “Demokrasi Sekarang” pada umumnya memegang kepercayaan bahwa negara Orde Baru dengan sengaja membesar-besarkan potensi disintegrasi sosial melalui wacana politik mereka tentang “SARA”. Bahkan, para pendukung gagasan itu menuding Orde Baru secara sistematis terlibat dalam pelestarian hubungan antagonis di antara elemen-elemen masyarakat.

[10]Dua kategori intelektual Indonesia lainnya adalah intelektual ortodoks dan intelektual revisionis. Apabila yang disebut terakhir percaya pada peran normatifnya sebagai “guru”/”pandhito” yang berbicara dalam bahasa “orang bijak”, intelektual ortodoks sangat percaya pada peran normatifnya sebagai “formulator” gagasan-gagasan pembangunan --bekerja sebagai staf ahli atau konsultan pemerintah (Sparringa, 1999).

[11]Saya percaya pada pemikiran sentral yang menempatkan persoalan bagaimana kekuasaan itu dikelola sebagai salah satu elemen penting dalam demokrasi. Inti dari perspektif semacam itu pada pokoknya mensyaratkan pencegahan terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan satu lembaga dan karena itu mendiktekan hadirnya mekanisme yang memungkinkan masyarakat dapat mengawasi bagaimana elemen-elemen penting dalam negara bekerja dalam kerangka rakyat berdaulat. Untuk uraian lebih lanjut lihat: Sparringa (1998a).

[12]Dalam pemahaman saya, sekurang-kurangnya terdapat delapan aliran ideologis yang tengah bersaing dalam masa transisi ini. Prosesnya sendiri masih jauh dari selesai dan banyak ditandai oleh proses afiliasi-disafiliasi yang terus berubah sampai sekurang-kurangnya dalam 20 tahun mendatang. Delapan aliran ideologi itu, untuk sebagian merupakan sebuah perkembangan yang akarnya dapat ditelusur kembali pada perkembangan politik di Indonesia tahun 1950-an, atau bahkan sebelumnya. Kedelapan aliran ideologi itu adalah: Islam Kutural, Islam Politik, Nasionalis-Populis, Nasionalis-Negara, Nasionalis Ortodoks, Pragmatis-Teknokratis, Sosial-Demokrat dan Demokrasi Liberal. Lihat Sparringa (1998b).

[13]Di luar itu, pemerintah masih harus menyelesaikan berbagai masalah yang diwariskan pemerintah sebelumnya. Dua di antaranya yang mendapat perhatian besar dari masyarakat luas ada di sekitar pertanyaan tentang bagaimana masalah penyalahgunaan kekuasaan oleh para birokrat sipil maupun militer itu hendak diselesaikan, seperti misalnya soal yang oleh media sering disebut dengan KKN dan pelanggaran HAM. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin penting adalah bagaimana pemerintah Gus Dur-Megawati menemukan solusi terobosan yang di satu pihak dapat diterima masyarakat dan di pihak lain masuk akal untuk dikerjakan oleh pemerintah.

___________________

* Korespondensi : D. Sparringga, Departemen Sosiologi, Fisip, Unair, Jl. Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Telp: 031-5011744.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar