Inovasi vs Birokrasi

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Rabu, 23 November 2011


Inovasi versus birokrasi
Inovasi merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalani hidup. Tanpa inovasi, hidup akan serasa hambar dan “begitu-begitu saja”. Sebaliknya, dengan inovasi, hidup ini lebih berwarna dan berkembang. Selalu ada hal-hal baru dan segar yang dihasilkan melalui inovasi. Termasuk dalam tubuh sebuah organisasi. Organisasi tanpa inovasi akan melahirkan stagnasi. Organisasi yang kaya inovasi akan selalu kreatif dan produktif. Singkat kata, inovasi juga menjadi begitu penting dalam aktivitas di sebuah organisasi. Namun, organisasi diatur dengan sistem dan aturan tertentu, yang kemudian kita menyebutnya dengan birokrasi. Aturan-aturan inilah yang bisa menjadi lawan munculnya inovasi. Mengapa bisa begitu? Bagaimana solusinya? Mari kita kupas satu per satu.

Inovasi lahir dari kreatifitas. Tanpa kreatifitas, inovasi tidak akan lahir, merangkak, berjalan dan berlari. Maka, ketika kreatifitas terhambat, inovasi akan tumbuh kerdil atau bahkan tidak lahir sama sekali. Untuk itulah, kreatifitas tidak boleh mati, atau sekedar “kurang gizi”. Madhukar Shukla, pengarang buku The Creative Muse: Story of Creativity and Innovation menyatakan, "Beda antara orang kreatif dan yang tidak hanyalah pada kemampuan orang kreatif dalam menghalau aral (penghalang) kemampuan kreatifitas." Maka, untuk melahirkan kratifitas, aral rintangan harus dihapuskan. Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas.

Apa saja yang rantas dan di tuntas? Dalam Birokrasi terdapat sejumlah rintangan yang harus diwaspadai karena akan menjadi potensi besar menghalangi kreatifitas dan inovasi.


Rintangan pola pikir

Dalam konteks kreatifitas, dikenal dua pola berpikir. Pertama adalah pola pikir produktif yang artinya jika dihadapkan pada suatu masalah, seseorang akan berusaha menemukan cara berpikir berbeda, cara pandang baru (sekalipun tidak selalu orisinil), sikap dan perilaku berbeda, merespon dengan cara-cara non konvensional, bahkan unik. Pola semacam inilah yang membuka jalan dan selalu merangsang kreatifitas seseorang.

Kedua, adalah pola pikir reproduktif yang artinya jika dihadapkan pada masalah, seseorang akan cenderung merespon dengan cara yang sama, mengulang pola pikir atau cara pemecahan lama yang sudah terbukti berhasil. Itu sebabnya pola pikir reproduktif menjadi salah satu penyebab utama kekakuan berpikir, dan dengan demikian menjadi aral kreatifitas.

Seringkali, pola pikir reproduktif berlangsung secara mekanikal atau nyaris otomatis. Dan ini terkondisikan oleh hasil pendidikan model skolastik atau lingkungan yang menuntut cara-cara berpikir praktis dan sangat terstruktur. lingkungan birokratislaah yang memiliki potensi ini. Sampai pada saat kita mentok dalam upaya pencarian variasi solusi, di titik itulah baru kita sadari keterbatasan pola pikir reproduktif.

Rintangan ketakutan

Barangkali aral kreatifitas yang paling mudah dikenali adalah rasa takut. Aral ini bisa berupa takut diabaikan, takut dicemooh, takut dievaluasi, takut dihakimi, takut dianggap bodoh, takut pada ketidaksempurnaan, takut mencoba, takut ambil risiko, takut ide tidak berjalan seperti yang diharapkan, takut gagal, dll. Salah satu sebab mengapa banyak rapat-rapat kurang maksimal atau kurang kreatif adalah karena masih kuatnya aral ketakutan yang membelenggu para pesertanya. Pendek kata, kebanyakan rasa takut membuat seseorang cenderung enggan mewujudkan potensi dan mengembangkan kreatifitasnya.

Ketakutan ini bisa muncul dari kungkungan tempurung yang membelenggu. Maka tak heran munculnya istilah: bagai katak dalam tempurung. Secara ringkas, birokrasi mempunyai potensi menjadi tempurung-tempurung bagi kreasi dan inovasi.


Rintang kebiasaan
Sebagai perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan, maka kebiasaan pun jelas berpengaruh pada kreatifitas. Orang-orang kreatif umumnya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menstimulasi kreatifitas. Sementara orang-orang yang kurang kreatif juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang sayangnya bisa meredam kreatifitas. Misalnya; suka menghindari masalah (bukannya mencari solusi), malas berpikir, menghindari tantangan, menghindari tanggung jawab, menghakimi ide-ide baru, berpuas diri, menghindari hal-hal imajinatif, dll. Dihadapkan pada kebiasaan-kebiasaan maka tantangan kreatifitas tidak ada artinya.


Rintang Organisasi
Kini organisasi bisnis menempatkan kreatifitas sebagai motor sekaligus bahan bakar inovasi. Sekalipun peran kreatifitas diakui besar, namun banyak organisasi gagal menyediakan lingkungan atau iklim yang kondusif bagi kreatifitas. Organisasi yang konservatif biasanya kurang merangsang kreatifitas. Sebut pula batasan-batasan seperti hirarki, aturan yang tidak fleksibel, ketiadaan wadah bagi ekspresi kreatif, egoisme antar departemen, buruknya komunikasi, atau situasi organisasi yang sangat terpolitisasi. Potensi kreatif individu sering tidak maksimal dalam iklim seperti ini.


Rintang Kepemimpinan
Dalam kehidupan sosial dan organisasional, faktor gaya kepemimpinan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses kreatifitas. Jika pemimpin organisasi kurang memberi ruang kebebasan, kurang bisa momotivasi, tidak mampu memberi tantangan, tidak mampu mengelola hasrat kreatif, kurang memberi penghargaan, tidak memberi kepercayaan, tidak mendukung, dan tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif, maka kreatifitas individu-individu dalam organisasi jelas akan terhambat. Seberapa kreatif individu-individu dalam tim, namun jika tidak didukung oleh kemampuan manajemen kreatif pemimpinnya, hasilnya juga kurang menggembirakan.

Itulah beberapa potensi rintangan yang dimiliki Birokrasi sehingga menghalangi munculnya kreatifitas dan inovasi. Lalu, bagaimana? Apakah akan selamanya birokrasi akan menghalangi inovasi?

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar