Redupnya semangat Tradisi Keilmuan

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Selasa, 04 Desember 2012


Redupnya semangat Tradisi Keilmuan
Adam Syarief Thamrin H*

Dekade akhir ini, makin dirasakan redupnya semangat pemuda Indonesia tak terkecuali para pelajarnya. Banyak alasan-alasan klasik yang senantiasa dijadikan indicator oleh penguasa sebagai asal-muasal redupnya semangat tersebut antara lain masalah Globalisasi dan budaya barat, memang tak dapat dipungkiri budaya pop barat masuk seperti derasnya air di Niagara, serta menjamurnya efek globalisasi seperti virus yang tak mudah diberangus dan tak mudah di hentikan. Padahal sejatinya, jika kita mau menganalisis akar persoalan secara runtut, kronologi yang menyebabkan redupnya Tradisi Keilmuan bahkan hilangnya hal tersebut dikalangan pelajar adalah sebuah “Sistem Pendidikan” di negeri ini (Indonesia) yang selalu tidak se-Arus dengan kondisi dan keadaan Pelajar di Indonesia. Mari kita ambil contoh mengenai maju-mundurnya Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia seperti gonta-gantinya Kurikulum Pendidikan Dasar hingga menengah atas yang sempat menimbulkan keresahan para Pelajar, Wali Murid dan Guru, selanjutnya, UJIAN NASIONAL (UNAS) yang dinilai hanya mengacu pada nilai akhir UNAS guna menentukan kelulusan pelajar tersebut, bahkan jika ditilik sejak kemunculan UNAS pertamakali, UNAS telah mengabaikan point-point yang termasuk pada nilai Afektif, Kognitif,dll. Maka tak heran akhir-akhir ini ujian kelulusan yang digunakan (UNAS) dengan ajaibnya mampu “membolak-balikkan” nasib pelajar, yang Pintar dan belajar sungguh-sungguh bisa saja mendapat nilai jelek sebaliknya yang tidak bersungguh-sungguh malah mendapat porsi lebih dengan nilai yang baik. Maka, jika dianalisis lebih mendalam system ujian kelulusan menggunakan UNAS ini lebih mengedepankan “system keberuntungan / Bejo”.
Selain masalah system pendidikan di Indonesia yang masih amburadul, hal lain yang menyebabkan redupnya Tradisi Keilmuan dikalangan pelajar adalah masalah kurikulum, ya, kurikulum sejatinya adalah salah satu rangkaian terpisah dari sebuah system pendidikan nasional, tapi yang membuatnya berbeda adalah, kurikulum merupakan tingkatan system yang mendapat porsi tahapan paling mengakar dan paling mendalam dalam tatanan system pendidikan itu sendiri, tetapi sayangnya, vitalnya keberadaan kurikulum dalam suatu tatanan system pendidikan rasanya diabaikan oleh Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, bagaimana tidak, kita perhatikan saja dari tahun-ketahun Kurikulum sebagai “Base of Education in School” telah banyak mengalami fase-fase perubahan, contohnya saja dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, setidaknya sudah ada beberapa kali pergantian ‘strategi pembelajaran’. Diawali pada tahun 1947 dengan Rentjana Pelajaran 1947 dimana tujuan pendidikan pada saat itu menekankan pada pembentukan karakter rakyat Indonesia untuk menyadari bahwa kedudukan bangsa Indonesia berdaulat dan sejajar dengan negara lain.
Kemudian pada tahun 1952, pendidikan lebih mengarah pada pelajaran yang disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Strategi ini dinamakan Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Setelah itu dikenal Program Pancawardhana pada tahun 1964, yakni: pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik, ketrampilan, dan jasmani.
Seiring dengan berubahnya rezim pada masa itu, maka Program Pancawardhana pun diganti pada tahun 1968 dengan pendidikan yang mengarah pada pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kemudian pada tahun 1975 dikenal istilah PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang muatannya lebih mengarah kepada tercapainya tujuan yang dapat diukur dalam bentuk tingkah laku siswa.
‘Strategi pembelajaran’ tahun 1975 ini sangat sulit diwujudkan, karena guru memiliki beban berat karena harus menyusun materi pelajaran secara detail, dibantu dengan alat peraga dan dokumen pendukung pelajaran. Sementara pendapatan atau gaji guru pada saat itu tidaklah memadai. ‘Strategi’ ini hanya bisa dilakukan oleh seorang profesional seperti dosen; maka lahirlah ‘strategi’ CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) pada tahun 1984.
Dalam pembelajaran ini, siswa terlibat aktif baik secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan gurunya. Program pendidikan yang tidak kaku menjadi prinsip CBSA dengan adanya interaksi yang hangat antara siswa dengan guru dan kegairahan belajar. Dengan alasan proses CBSA hanya mengacu pada teori belajar mengajar tanpa memperhatikan kualitas dari isi pembelajaran, maka ‘strategi pembelajaran’ yang telah berlangsung 1 dekade ini pun diganti dengan nama Kurikulum 1994.
Kurikulum 1994, saya istilahkan dengan ‘Kurikulum Satu Pintu’. Yakni materi pelajaran yang sama bagi semua siswa se-Indonesia, dengan kurang memperhatikan keberbedaan setiap daerah, lingkungan, dan masyarakat. Kemudian direvisi dengan nama Suplemen Kurikulum 1994, dimana daerah dapat menambah materi pembelajaran dengan menyesuaikan wilayah masing-masing. Pada tahun 2002, lahir ‘strategi pembelajaran’ yang dinamakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi); yakni pengembangan kemampuan untuk melakukan kompetensi dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan program ini diharapkan siswa mampu mengetahui, menyikapi, dan melakukan materi pembelajaran secara bertahap dan berkelanjutan hingga berkompeten. Muatan KBK pun direvisi pada tahun 2004 dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dimana konsep yang ditawarkan masih sama;  yaitu mengacu pada basis kompetensi. Yang membedakannya adalah pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, memiliki kebebasan dan kewenangan penuh dalam menyusun program pendidikan, tetapi tetap mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan.
Memang, kita sadari bersama pasca-Kemerdekaan Indonesia dapat dikatan Negara kita masih belum dapat konsisten menentukan system pendidikan yang bisa diterapkan secara nasional tetapi hal tersebut masih dapat dimaklumi selagi dalam ambang batas yang wajar sesuai dengan ketentuan waktu yang ada. Sekarang, Indonesia harus sudah mulai berbenah dengan system pendidikannya dan mulai memperhatikan Tradisi Keilmuan yang seharusnya muncul di tengah-tengah kalangan pelajar masa kini.

IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) sebagai organisasi otonom dibawah naungan persyarikatan Muhammadiyah adalah salah satu diantara beberapa organisasi berbasis pelajar yang konsen terhadap masalah-masalah pendidikan, bahkan semangat Tradisi Keilmuan itu sendiri termaktub pada misi IPM sendiri yakni berupaya untuk membangun sebuah Tradisi Keilmuan, seiring dengan berjalannya waktu akhirnya disadari bahwa semangat Tradisi Keilmuan tersebut sejatinya telah redup bahkan lenyap dikalangan pelajar masa kini, Ghiroh pelajar dalam menempa ilmu seperti perjuangan Dr. Soetomo dimasa pergerakan nasional yang sangat luar biasa dalam mengedapnkan ilmu sebagai senjata paling ampuh untuk melumpuhkan penjajah kolonialisme Belanda ternyata telah redup.
Aksi Real pun telah dilakukan oleh IPM, seperti upaya Judicial Review terhadap kebijakan UNAS yang diajukan melalu Mahkamah Konstitusi oleh PP IPM, selain itu uji public mengenai kebijakan UNAS dan Sisdiknas serta banyak diskusi-diskusi terbuka untuk membahas kebijakan Pendidikan di Indonesia yang sedang tidak beres sekarang ini.

Tradisi Keilmuan itu Vital
Menimbang pentingnya sebuah Tradisi Keilmuan bahkan dimaktubkan pada sebuah misi bersama dalam organisasi IPM, memang tak dapat dipungkiri vitalnya tradisi keilmuan tersebut. Mengapa? Tidak lain Tradisi keilmuan nantinya akan berlanjut hingga generasi ke generasi tanpa ada keniscayaan untuk berhenti menempa ilmu sehingga ILMU dan Prosesnya untuk menempa ilmu menjadi sebuah tradisi dan cultural yang melekat kuat dalam pelajar dan masyarakat Indonesia.
Sehingga jika konsep tersebut semua terwujud menjadi satu tujuan bersama maka, terwujudnya Indonesia sebagai Negara maju berkembang bukan merupakan keniscayaan. Perlu kita sadari saat ini pesaing kita bukanlah bermain pada nilai material belaka tetapi Ilmu menjadi patokan tajam dalam suatu proses kompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Maka, sudah merupakan kewajiban sebagai pelajar garda terdepan untuk kembali membangkitkan tradisi keilmuan tersebut dengan “Kritis” menyikapi hal-hal yang bertentangan dengan arus yang ada, percayalah, jika pelajar kritis dan menginginkan perubahan, maka perubahan tersebut akan datang seiring semangat membangkitkan kembali Tradisi keilmuan itu sendiri. Hidup Pelajar!



*Adam Syarief Thamrin Hasibuan  (@adamsyarieftham)
Mahasiswa FISIP UNAIR
Ketua Umum Pimpinan Daerah IPM Kota Surabaya
Untuk gerakan poros pelajar yang rindu akan perubahan!

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar