Redupnya semangat Tradisi Keilmuan
Adam Syarief Thamrin H*
Dekade
akhir ini, makin dirasakan redupnya semangat pemuda Indonesia tak terkecuali
para pelajarnya. Banyak alasan-alasan klasik yang senantiasa dijadikan indicator
oleh penguasa sebagai asal-muasal redupnya semangat tersebut antara lain
masalah Globalisasi dan budaya barat, memang tak dapat dipungkiri budaya pop
barat masuk seperti derasnya air di Niagara, serta menjamurnya efek globalisasi
seperti virus yang tak mudah diberangus dan tak mudah di hentikan. Padahal sejatinya,
jika kita mau menganalisis akar persoalan secara runtut, kronologi yang
menyebabkan redupnya Tradisi Keilmuan bahkan hilangnya hal tersebut dikalangan
pelajar adalah sebuah “Sistem Pendidikan” di negeri ini (Indonesia) yang selalu
tidak se-Arus dengan kondisi dan keadaan Pelajar di Indonesia. Mari kita ambil
contoh mengenai maju-mundurnya Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia seperti
gonta-gantinya Kurikulum Pendidikan Dasar hingga menengah atas yang sempat
menimbulkan keresahan para Pelajar, Wali Murid dan Guru, selanjutnya, UJIAN
NASIONAL (UNAS) yang dinilai hanya mengacu pada nilai akhir UNAS guna
menentukan kelulusan pelajar tersebut, bahkan jika ditilik sejak kemunculan
UNAS pertamakali, UNAS telah mengabaikan point-point yang termasuk pada nilai
Afektif, Kognitif,dll. Maka tak heran akhir-akhir ini ujian kelulusan yang
digunakan (UNAS) dengan ajaibnya mampu “membolak-balikkan” nasib pelajar, yang
Pintar dan belajar sungguh-sungguh bisa saja mendapat nilai jelek sebaliknya
yang tidak bersungguh-sungguh malah mendapat porsi lebih dengan nilai yang
baik. Maka, jika dianalisis lebih mendalam system ujian kelulusan menggunakan
UNAS ini lebih mengedepankan “system keberuntungan / Bejo”.
Selain masalah system pendidikan di Indonesia
yang masih amburadul, hal lain yang menyebabkan redupnya Tradisi Keilmuan
dikalangan pelajar adalah masalah kurikulum, ya, kurikulum sejatinya adalah
salah satu rangkaian terpisah dari sebuah system pendidikan nasional, tapi yang
membuatnya berbeda adalah, kurikulum merupakan tingkatan system yang mendapat
porsi tahapan paling mengakar dan paling mendalam dalam tatanan system pendidikan
itu sendiri, tetapi sayangnya, vitalnya keberadaan kurikulum dalam suatu
tatanan system pendidikan rasanya diabaikan oleh Pemerintah sebagai pembuat
kebijakan, bagaimana tidak, kita perhatikan saja dari tahun-ketahun Kurikulum
sebagai “Base of Education in School” telah banyak mengalami fase-fase
perubahan, contohnya saja dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia,
setidaknya sudah ada beberapa kali pergantian ‘strategi pembelajaran’. Diawali
pada tahun 1947 dengan Rentjana
Pelajaran 1947 dimana tujuan pendidikan pada saat itu menekankan
pada pembentukan karakter rakyat Indonesia untuk menyadari bahwa kedudukan
bangsa Indonesia berdaulat dan sejajar dengan negara lain.
Kemudian pada tahun 1952, pendidikan lebih
mengarah pada pelajaran yang disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Strategi
ini dinamakan Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Setelah itu dikenal Program
Pancawardhana pada tahun 1964, yakni: pengembangan moral,
kecerdasan, emosional/ artistik, ketrampilan, dan jasmani.
Seiring dengan berubahnya rezim pada masa
itu, maka Program Pancawardhana
pun diganti pada tahun 1968 dengan pendidikan yang mengarah pada pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kemudian pada tahun 1975
dikenal istilah PPSI (Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional) yang muatannya lebih mengarah kepada tercapainya
tujuan yang dapat diukur dalam bentuk tingkah laku siswa.
‘Strategi pembelajaran’ tahun 1975 ini sangat
sulit diwujudkan, karena guru memiliki beban berat karena harus menyusun materi
pelajaran secara detail, dibantu dengan alat peraga dan dokumen pendukung
pelajaran. Sementara pendapatan atau gaji guru pada saat itu tidaklah memadai.
‘Strategi’ ini hanya bisa dilakukan oleh seorang profesional seperti dosen;
maka lahirlah ‘strategi’ CBSA (Cara
Belajar Siswa Aktif) pada tahun 1984.
Dalam pembelajaran ini, siswa terlibat aktif
baik secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan gurunya. Program
pendidikan yang tidak kaku menjadi prinsip CBSA
dengan adanya interaksi yang hangat antara siswa dengan guru dan kegairahan
belajar. Dengan alasan proses CBSA
hanya mengacu pada teori belajar mengajar tanpa memperhatikan kualitas dari isi
pembelajaran, maka ‘strategi pembelajaran’ yang telah berlangsung 1 dekade ini
pun diganti dengan nama Kurikulum
1994.
Kurikulum 1994, saya istilahkan dengan ‘Kurikulum Satu Pintu’. Yakni
materi pelajaran yang sama bagi semua siswa se-Indonesia, dengan kurang
memperhatikan keberbedaan setiap daerah, lingkungan, dan masyarakat. Kemudian
direvisi dengan nama Suplemen
Kurikulum 1994, dimana daerah dapat menambah materi pembelajaran
dengan menyesuaikan wilayah masing-masing. Pada tahun 2002, lahir ‘strategi
pembelajaran’ yang dinamakan KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi); yakni pengembangan kemampuan untuk
melakukan kompetensi dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan program ini
diharapkan siswa mampu mengetahui, menyikapi, dan melakukan materi pembelajaran
secara bertahap dan berkelanjutan hingga berkompeten. Muatan KBK pun direvisi pada tahun 2004
dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan), dimana konsep yang ditawarkan masih sama; yaitu
mengacu pada basis kompetensi. Yang membedakannya adalah pihak sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan, memiliki kebebasan dan kewenangan penuh dalam
menyusun program pendidikan, tetapi tetap mengacu pada standar-standar yang
telah ditetapkan.
Memang, kita sadari bersama pasca-Kemerdekaan
Indonesia dapat dikatan Negara kita masih belum dapat konsisten menentukan system
pendidikan yang bisa diterapkan secara nasional tetapi hal tersebut masih dapat
dimaklumi selagi dalam ambang batas yang wajar sesuai dengan ketentuan waktu
yang ada. Sekarang, Indonesia harus sudah mulai berbenah dengan system pendidikannya
dan mulai memperhatikan Tradisi Keilmuan yang seharusnya muncul di tengah-tengah
kalangan pelajar masa kini.
IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) sebagai
organisasi otonom dibawah naungan persyarikatan Muhammadiyah adalah salah satu
diantara beberapa organisasi berbasis pelajar yang konsen terhadap
masalah-masalah pendidikan, bahkan semangat Tradisi Keilmuan itu sendiri
termaktub pada misi IPM sendiri yakni berupaya untuk membangun sebuah Tradisi
Keilmuan, seiring dengan berjalannya waktu akhirnya disadari bahwa semangat
Tradisi Keilmuan tersebut sejatinya telah redup bahkan lenyap dikalangan
pelajar masa kini, Ghiroh pelajar dalam menempa ilmu seperti perjuangan Dr.
Soetomo dimasa pergerakan nasional yang sangat luar biasa dalam mengedapnkan
ilmu sebagai senjata paling ampuh untuk melumpuhkan penjajah kolonialisme
Belanda ternyata telah redup.
Aksi Real pun telah dilakukan oleh IPM,
seperti upaya Judicial Review terhadap kebijakan UNAS yang diajukan melalu
Mahkamah Konstitusi oleh PP IPM, selain itu uji public mengenai kebijakan UNAS
dan Sisdiknas serta banyak diskusi-diskusi terbuka untuk membahas kebijakan
Pendidikan di Indonesia yang sedang tidak beres sekarang ini.
Tradisi
Keilmuan itu Vital
Menimbang pentingnya sebuah Tradisi Keilmuan
bahkan dimaktubkan pada sebuah misi bersama dalam organisasi IPM, memang tak
dapat dipungkiri vitalnya tradisi keilmuan tersebut. Mengapa? Tidak lain
Tradisi keilmuan nantinya akan berlanjut hingga generasi ke generasi tanpa ada
keniscayaan untuk berhenti menempa ilmu sehingga ILMU dan Prosesnya untuk
menempa ilmu menjadi sebuah tradisi dan cultural yang melekat kuat dalam
pelajar dan masyarakat Indonesia.
Sehingga jika konsep tersebut semua terwujud
menjadi satu tujuan bersama maka, terwujudnya Indonesia sebagai Negara maju
berkembang bukan merupakan keniscayaan. Perlu kita sadari saat ini pesaing kita
bukanlah bermain pada nilai material belaka tetapi Ilmu menjadi patokan tajam
dalam suatu proses kompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Maka, sudah merupakan
kewajiban sebagai pelajar garda terdepan untuk kembali membangkitkan tradisi
keilmuan tersebut dengan “Kritis” menyikapi hal-hal yang bertentangan dengan
arus yang ada, percayalah, jika pelajar kritis dan menginginkan perubahan, maka
perubahan tersebut akan datang seiring semangat membangkitkan kembali Tradisi
keilmuan itu sendiri. Hidup Pelajar!
*Adam Syarief Thamrin Hasibuan (@adamsyarieftham)
Mahasiswa FISIP UNAIR
Ketua Umum Pimpinan Daerah IPM Kota Surabaya
Untuk gerakan poros pelajar yang rindu akan perubahan!
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar