Kali ini, mata saya terperanga pada tulisan kawan saya yang di post pada media ilmiah lokal, Ya, penulis itu bernama Windu Jusuf dan tulisannya yang berjudul "Syuhada" ini di post kan pada website IndoProgress pada 18 Agustus 2013 kemarin. Secara ramping tulisan ini membahas tentang konflik politik yang bergejolak di Mesir, coba disimak tulisan beliau berikut ini.
More about → Syuhada
TIAP perjuangan politik nampaknya butuh martir. Tujuannya, untuk memberi inspirasi pada angkatan muda, atau sekadar untuk menandai musuh. Cara kerjanya sederhana: tiap orang di pihak ‘kita’ yang dibunuh ‘mereka,’ adalah ‘martir.’ Sementara bagi mereka sendiri sekadar ‘penjahat,’ ‘ekstremis,’ ‘pengacau,’ ‘penindas’ dan seterusnya. Gereja Katolik memiliki daftar para martir Perang Sipil Spanyol, yakni para biarawan yang dibunuh kaum anarkis. Sebaliknya, ada pula satu masa dimana teroris sayap kiri Jerman, Rote Armee Fraktion (RAF), menamai operasi-operasi bersenjata mereka dengan nama para kamerad yang gugur: Kommando Petra Schelm, Kommando Thomas Weissbecker, Kommando Ulrike Meinhof…
Dengan atau tanpa landasan kitab suci, martir adalah soal klaim.
Alkisah, seorang anggota Ikhwanul Muslimin Palestina bernama Abdullah Azzam hijrah ke Afghanistan. Sebab persisnya tidak diketahui. Namun jurnalis Lawrence Wright dalam Sejarah Terormenyebutkan: ia kecewa dengan gerakan perlawanan di Palestina yang kian hari kian sekuler, semakin ke kiri, dan semakin nasionalis. Maka, ketika Afghanistan terancam diserbu Uni Soviet, bergegaslah Azzam ke sana. Jihad untuk mendirikan Daulah Islamiyah, tulisnya, haruslah dimulai dari sana, sebelum akhirnya digulirkan ke ‘tanah-tanah Muslim.’
Ia murid Sayyid Qutb dengan erudisi yang mengagumkan. Namun, kali ini, agaknya ia mengikuti saran Mao Zedong: ‘Ada badai di kolong firdaus—sungguh situasi yang sempurna.’
Dan boleh jadi benar—ia memang seperti Mao-nya sebagian kalangan Islamis. Keduanya sama-sama bergerilya, sama-sama berteori tentang perang, sama-sama bersastra—dan tumbuh pula semacam kultus individu yang dibangun oleh pengikutnya. Semenjak 11 September 2001, pers Barat yang ketakutan menyebutnya ‘mentor Bin Laden.’
Tapi yang menarik adalah aktivitasnya semasa perang Soviet-Afghanistan, antara akhir 1970-an hingga 1980-an. Sementara pihak lawan, rejim komunis Muhammad Najibullah, mendapat bantuan uang dan senjata dari Soviet, di belakang Azzam hanya ada sekumpulan pemuda Arab yang belum lagi lurus memegang senapan. Suku-suku Afghan pun terpecah ke dalam puluhan laskar, dengan senjata dan amunisi ala kadarnya. Akhirnya memang ada bantuan besar-besaran dari Pakistan, Saudi, dan Amerika. Namun kebutuhan pokoknya tetaplah massa.
Tapi ia tak mundur. Di tengah keputusasaan, ia rajin ‘blusukan.’ Dari prajurit-prajurit yang ia temui, ia gali kesaksian tentang pengalaman mereka di medan perang. Hasilnya menakjubkan. Ada cerita tentang mayat serdadu Muslim yang tak membusuk meski sudah sebulan teronggok; baunya harum, berbeda dari mayat pasukan Rusia yang cepat belatungan dan dimakan anjing. Ada pula cerita tentang prajurit yang sekarat dan kelaparan tiba-tiba menemukan kurma di pojok penjara musuh. Yang lainnya lebih magis. Misalnya, dua-tiga baris pengakuan tentang kedatangan malaikat Jibril dan Mikail yang ikut bertempur di sisi mereka, atau tank Rusia yang meledak oleh lemparan pasir.
Cerita-cerita magis itu tak bermula dari, katakanlah, aliran Salafi yang dianut Azzam. Sebaliknya, mereka bersumber dari tradisi sufi dan mistik yang telah berakar kuat dalam masyarakat Afganistan pra-Taliban. Tak sedikit pula yang coraknya berakar dari catatan-catatan biografis para martir Syiah. Toh, tak jadi soal jika asal-usulnya bertentangan dengan ajaran Salafi: jika itu bisa menggerakkan orang untuk berperang, kenapa tidak?
Maka terbitlah satu buku: Tanda-Tanda Ar-Rahman dalam Jihad Afghan. Agar lebih kokoh, terbit pula sebuah manifesto: Syuhada, fondasi bangsa-bangsa, yang mengglorifikasi pengorbanan diri demi kejayaan umat di masa datang. Dan syuhada, dalam manifesto Azzam, adalah manusia terpilih: karena dedikasinya, derajatnya lebih tinggi ketimbang manusia biasa. Mirip ‘Manusia Soviet Baru’-nya Stalin, yang mengabdikan hidup-matinya demi fajar baru komunisme; juga seperti yang dibayangkan salah satu pendiri bangsa Amerika, Thomas Jefferson, ketika menulis dalam sepucuk suratnya yang mahsyur: ‘Pohon Kebebasan mestilah disirami dengan darah para martir dan patriot.’
Buku Azzam beredar luas: di Mesir, di Palestina, di toko-toko buku berbahasa Arab di Amerika. Tak jarang direproduksi ke dalam artikel di majalah-majalah Arab, atau dibacakan secara dramatis dan direkam dalam kaset yang kemudian dijual. Ia memang rajin rutin ke berkeliling ke luar Afghanistan, memasok materi-materi untuk merekrut putra-putra Arab yang mengembara ke ‘negeri-negeri kafir.’
Ikhtiar Azzam tak sia-sia. Lewat kisah-kisah heroik nan fantastis yang ia kumpulkan, disertai fatwa yang mewajibkan jihad bagi setiap Muslim, ribuan orang dari seluruh dunia berbondong-bondong ke Afghanistan mengejar mati syahid. Dan kita tahu kelanjutan kisah Afghanistan. Ia sukses mengusir Soviet. Najibullah digantung dan Negara Islam pun berdiri. Namun, pertikaian antar faksi memicu perang saudara, hingga akhirnya gerombolan santri ekstrem bernama Taliban merebut kekuasaan di tahun 1996. Azzam sendiri sudah meninggal dalam insiden bom mobil tujuh tahun sebelumnya.
Tapi cerita-cerita yang dikumpulkan Azzam rupanya berumur lebih panjang. Ketika konflik di Balkan dan Chechnya meletus—dan ramai dibicarakan di sini—muncul kisah-kisah syahid yang sama persis; hanya berganti karakter protagonis dan antagonisnya saja.
Selanjutnya gampang ditebak: kisah-kisah Azzam tersebar ke mana-mana, ke Syiria, ke Mesir; ke Ambon, ke Poso, atau belakangan dalam laporan-laporan di Arrahmah.com tentang teroris (atau terduga teroris) yang dihantam pelor Densus 88. Di mana pun terjadi kekerasan massal yang korbannya mudah diklaim sebagai Muslim—dan cuma ditandai oleh label ‘Muslim,’ bukan yang lainnya—di situlah lahir mitos jenazah wangi yang itu-itu juga. Ia menjadi bagian dari geografi kekerasan yang, bagi sebagian kelompok, hanya meliputi ‘tanah-tanah Muslim’—tak peduli konflik macam apa yang sesungguhnya terjadi.
Buat para pendukung Morsi: tak usah gusar, ini sekadar cerita asal-usul.***