Etika Sosial Politik : Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam kaitannya dengan Sosial Politik

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Kamis, 28 Februari 2013


Adam Syarief Thamrin Hasibuan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya



Tulisan ini adalah sepenggal dari tugas Etika Sosial & Politik yang diberikan oleh Bapak Drs. Gitadi Tegas Supramudyo (Dosen Pengamat Kebijakan Publik Fisip UA) untuk membedah secara singkat buku karangan K. Bertens, bab III

***
Kebebasan dan Tanggung Jawab merupakan pengertian dari dua kalimat yang berbeda tetapi maknanya keterkaitan dan bersinggungan. Sehingga, orang bisa menyatakan bahwa “Manusia itu Bebas” dan dengan sendirinya dia juga menerima pernyataan “Manusia itu Bertanggung-Jawab”. Dapat diartikan analogi tersebut bahwa Manusia itu bertanggung-jawab atas kebebasan yang dimilikinya tersebut. Sekarang, tidak mungkin sebuah kebebasan tidak disertai dengan tanggung-jawab, jika hal tersebut terjadi maka yang kita temui adalah sebuah kebebasan yang “kebablasan” tanpa batasan dan tanggung jawab yang jelas dari pemiliki kebebasan tersebut (Manusia).

Kebebasan
Pengalaman tentang kebebasan. Tidak ada manusia di dunia yang tidak mengerti tentang kebebasan, setiap manusia pasti mengerti dan paham karena manusia mengalami sebuah kebebasan tersebut. Tetapi, kebebasan tidak sebatas sebuah pemahaman yang dilakukan, aktifitas yang dilakukan dan dialami oleh manusia, tetapi pada hakikatnya kebebasan memiliki arti yang pas, namun demikian manusia yang mengalami kebebasan itu pun tidak dapat menjelaskan tentang apa itu kebebasan. Jika tidak ada orang menanyakan pada kita apa itu kebebasan maka kita yakin kita tahu karena kita mengalaminya, tetapi jika ada orang yang datang dan menanyakan apa itu kebebasan itu, kita menjadi bingung dan tidak bisa menjawab.
Kebebasan itu adalah hubungan antara “aku konkret” dan perbuatan yang dilakukannya (Henry Bergson 1859-1941) Dan filsuf Prancis yang banyak berpikir mengenai pengalaman tentang kebebasan ini menyimpulkan bahwa “Kebebasan merupakan suatu fakta dan di antara fakta-fakta yang ditetapkan orang tidak ada yang lebih jelas”. Dalam penjelasan tersebut, kata “Fakta” berarti adalah data langsung atau pengalaman batin yang benar-benar dialami.
Dalam realitas hidup manusia, kebebasan merupakan suatu realitas yang amat kompleks. Kebebasan memiliki banyak aspek dan banyak pula karakteristik.
Begitupun tentang kebebasan rakyat vs kekuasaan yang absolute seperti dijelaskan di buku Bertens yang mengangkat pernanan besar Negara di Eropa yang memiliki andil cukup luar biasa dam menjadi pelopor dalam mewujudkan kebebasan sosial-politik, Negara tersebut adalah Inggris dan Prancis. Di Inggris, pembatasan absolutism para raja berlangsung berangsur-angsur selama kurun waktu yang cukup panjang, salah satu contoh adalah keluarnya piagam Magna Charta (1215), piagam yang secara terpaksa dikeluarkan oleh Raja John untuk menganugerahkan kebebasan-kebebasan tertentu kepada raja Baron dan uskup Inggris. Seabad kemudian di Prancis absolutism para raja di lalui revolusi Prancis secara dramatis (1789), yang antara lain mengakibatkan raja Louis XVI dipenggal kepalanya, beberapa bulan kemudian disusul istrinya ratu Marie Antoinette. Penjelasan-penjelasan tersebut merupakan salah satu contoh mengenai kebebasan rakyat dan kekuasaan absolute yang pernah terjadi dibeberapa Negara di Eropa dahulu.

Pembahasan singkat mengenai kebebasan sosial politik menurut bentuk pertama dapat ditambahkan beberapa catatan, yang pertama ialah bahwa perwujudan kebebasan sosial politik ini tidak terbatas pada kedua Negara yang bersangkutan saja tapi mempunyai relevansi universal. Yang kedua, gagasan yang melatar-belakangi kebebasan sosial-politik dalam bentuk ini pada dasarnya bersifat etis. Tidak dapat dibenarkan, jika perkembangan dari monarki absolute ke demokrasi modern bukan suatu kenyataan historis, tetapi merupakan suatu keharusan etis. Tidak dapat dibenarkan jika perkembangan itu menempuh lagi arah yang terbalik. Selain itu, ada pula poin mengenai Kemerdekaan versus kolonialisme yang dituangkan Bertens dalam bukunya yang memiliki pokok bahasan focus kepada analisis kebebasan sosial-politik yang direalisasikan ke dalam proses dekolonisasi, dan ide kebebasan yang di berkembang di Negara-negara penjajah atau kolonialisme pada masa itu. Ada pula poin tentang kebebasan individual dan kesenang-senangan yang merupakan sebuah arti sempit dari sebuah kebebasan itu sendiri tanpa dimengerti apa hakikatnya.

Jika tidak diimbangi dengan berpikir yang panjang maka banyak manusia cenderung menerima dan merespon pengertian kebebasan ini atas pertanyaan  “Apa itu kebebasan”, secara spontan mereka menjawab “saya bebas jika saya bisa melakukan apa saja yang saya mau”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena manusia selalu mencampur-adukkan kebebasan dengan rasa bebas. Maka, jika tidak merefleksikannya secara dalam maka akan terasa akan arti dan hakikat yang sama anatar kebebasan dan rasa bebas.
Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut kebebasan, dalam kehidupan manusia dewasa ini sering ditemui penyalahgunaan arti kebebasan itu sendiri. Karena, bebas tidak berarti lepas dari segala keterikatan melainkan kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang mengandalkan keterikatan dan norma-norma. Jadi, norma-norma tidak menghambat adanya kebebasan tapi justru memungkinkan tingkah-laku bebas.

Beberapa masalah kebebasan
Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif. Secara implicit ada dua aspek yang melekat pada kebebasan itu sendiri, yakni aspek positif dan negative, Bertens dalam bukunya juga menggunakan analisis pendekatan positif dan negative dalam setiap penjelasan arti-arti tentang apa itu kebebasan.

Dua aspek kebebasan tadi dapat dirumuskan juga dengan mengatakan bahwa kebebasan bisa dimengerti sebagai “kebebasan dari…” dan “kebebasan untuk…”

Tanggung Jawab
Sama seperti pengertian dalam kaitannya “Tanggung Jawab” dapat diartikan, seseorang yang bisa menjawab dan memberikan penjelasan atau keterangan yang tepat saat ditanyai mengenai sikap atau perbuatan atau tingkah lakunya.
Keterkaitan antara tanggung jawab dan kebebasan. Analogi mudahnya, dalam setiap kebebasan yang dialami manusia, tentunya tidak begitu saja tanpa alasan dan penjelasan yang jelas dan hakiki, kebebasan yang dimiliki dan di alami manusia juga selalu disertai dengan rasa tanggung jawab yang tepat, dimana bisa memberikan keterangan dan menjelaskan yang tepat atas perbuatan dan tingkah laku yang dilakukan.

Tanggung Jawab Kolektif
Dalam pembahasan mengenai tanggung jawab yang selalu di titik fokuskan adalah tanggung jawab pribadi atau perorangan atau personal. Bagaimana dengan tanggung jawab kolektif? Beberapa etikawan menerima kemungkinan tanggung jawab kolektif tadi, tetapi tidak sedikit etikawan yang menolaknya dengan penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda.

Tanggung jawab kolektif lebih kepada kesadaran personal yang memiliki peranan dan andil dalam suatu permasalahan yang tepat, contoh; unsure pimpinan yang bersifat kolektif yang kebijakannya berpengaruh pada orang banyak / massal. Karena, sulit menerima sebuah tanggung jawab moral, sebab sulit untuk diakui bahwa seseorang bisa bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Maka kembali lagi tanggung jawab kolektif kembali pada kesadaran personal dan keinginan untuk pembenahan yang lebih baik.
More aboutEtika Sosial Politik : Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam kaitannya dengan Sosial Politik

Peran Organisasi Pelajar Dalam Peningkatan dan Penumbuhan Potensi

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn




Adam Syarief Thamrin Hasibuan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya

Sesuai dengan sebutannya “Pelajar” adalah pelaku belajar dimana memiliki hak dan kewajiban setara dalam hal Pendidikan dan Peningkatan Potensi. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah melaksanakan kewajibannya sebagai penyelenggara pendidikan Negara dengan melaksanakan program belajar dan program pendidikan bagi masyarakatnya, mulai dari Wajib Belajar 6 Tahun pada masa Presiden Soeharto hingga wajib belajar 12 Tahun dan mengupayakan pendidikan tinggi bagi pelajar yang telah menuntaskan wajib belajar 12 tahun tersebut. Tetapi, apakah pelajar cukup hanya disodori kegiatan-kegiatan akademik saja dan menjanjikan potensinya akan tergali dan tumbuh? Tentu tidak, Masa-masa pelajar adalah momen yang luar biasa dalam peningkatan potensinya, tidak cukup hanya dalam kegiatan wajib akademik dan belajar didalam kelas saja, tetapi dengan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menunjang peningkatan potensi mereka.
Peran serta sebuah organisasi pelajar dalam peningkatan potensi pelajar memang sangat besar, bisa diambil contoh adalah; pesatnya bermunculan organisasi-organisasi berbasis pelajar yang ada saat ini adalah lahan potensial dalam “penggarapan” minat, bakat dan potensi pelajar. Kisaran target usia antara 12 – 23 tahun yang dapat disebut sebagai masa-masa produktif organisasi. Melalui kegiatan-kegiatan yang mengangkat peran pelajar dalam pengembangan potensi sangatlah dimungkinkan proses pengembangan potensi tersebut berjalan dan saling berdampak / berpengaruh.

Upaya “Penggarapan” dan Dinamika pengembangan berbasis karakter
Masa-masa saat ini, pegiat pendidikan Internasional sedang gencar-gencarnya melakukan kampanye Pendidikan berbasis Karakter pada pelajar usia SD/SMP dan SMA/Sederajat, tidak hanya sampai disitu, upaya yang juga digalakkan pemerintah Indonesia ini juga terus berkembang sampai ranah pendidikan tinggi dengan harapan Indonesia di tahun emas-nya nanti dapat mencetak lulusan-lulusan intelektual berkarakter.
Itu tadi peran pemerintah dan bidang formal didalamnya, lalu, bagaimana dengan organisasi pelajar? Pemerintah melalui Kementrian Pemuda dan Olahraga selalu menyebut organisasi khususnya organisasi berbasis masa pelajar merupakan mitra paling penting Pemerintah dalam upaya pengembangan pendidikan dan potensi. Tetapi sayangnya, kemitraan yang terjalin tidak diimbangi perhatian serius pemerintah pada organisasi-organisasi Pelajar. Memang, melalui Dispora masing-masing daerah sering melakukan Pembinaan Kepemudaan yang melibatkan ormas-ormas dan orpem/orpel bahkan dijadikan agenda rutin, tetapi sayangnya agenda-agenda pembinaan tersebut tidak spesifik dalam melakukan pembinaan organisasi yang dinaunginya dan diduga kegiatan-kegiatan itu lebih dan kurang dilaksanakan dalam rangka masa-masa tutup anggaran APBD dengan harapan Pemerintah Daerah mendapatkan kucuran dana lagi dari pusat dengan alih-alih untuk pengembangan pembinaan organisasi kepemudaan/pelajar yang nyata-nyatanya tidak spesifik sama sekali dilakukan.
Sungguh ironis sekali nasib organisasi kepemudaan / pelajar di Indonesia yang rata-rata memiliki visi futuristic yang kurang lebih rata-rata sama dalam rangka pengembangan potensi pemuda/pelajar yang ada didalamnya, tetapi malah dijadikan bahan “pengisi acara” dalam rangka kepentingan pemerintah.


More aboutPeran Organisasi Pelajar Dalam Peningkatan dan Penumbuhan Potensi

(Pemikiran) Kritis yang fanatik atau (Pemikiran) Kritis yang Terlampaui

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn


Oleh Adam Syarief Thamrin Hasibuan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya

***

Dewasa ini, waktu terlampau jauh melintasi gerak dan pemikiran kaum intelegensia muda yang kebanyakan dari mereka menyebut dirinya Aktivis Pemikir. Ada banyak kategori aktivis, yang kesemuanya itu senantiasa menyuarakan ide dan gagasan kritisnya disetiap aktivitas dan perlawanan terhadap sesuatu kehendak. Tetapi, saya hendak menyoal tentang kajian Kritis yang Fanatik yang sering dikait-kaitkan dengan suatu kelompok atau golongan tertentu, dan tentu saja rasional pemikiran mereka selalu berbeda antar setiap kelompok/golongan dengan yang lain. Ya, mereka menyebutnya landasan ideologi. Dan leluhur-leluhur golongan mereka lah yang menciptakan landasan ideologi tersebut yang kesemuanya menjadi patokan dan pakem aktivitas mereka. 

Menyoal Kritis yang Fanatik, saya akan mengkaji terlebih dahulu landasan definitif tentang kritis/pemikiran kritis dimulakan sebagai proses mengamati suatu permasalahan serta keinginan untuk meningkatkan pemahaman tentang permasalahan tersebut, Pemikiran kritis secara langsung dalam sebuah pemikirannya melibatkan 3 konsep cara pandang secara mental sekaligus yang diintegrasikan kedalam "Ke-Tunggalan dalam Cara Berpikir" 3 konsep itu tersebutlah; Analisis, Sintesis dan Penilaian. Dan, puncak ketunggalan dalam cara berpikir tersebut adalah memperhatikan dan berhati-hati dalam menganalisis pernyataan dalam mengkaji suatu masalah (baik itu rasional politik, sosial dinamis dan lain sebagainya) lainnya, selalu berhati-hati dalam mencari pembuktian yang kukuh dan logis untuk menarik sebuah kesimpulan yang hakiki dan benar

Pemikiran kritis boleh juga sebagai proses pemikiran secara teliti demi menjelaskan dan memperbaiki pengertian, dengan arti kata lain pemikiran kritis mendorong individu menguji kebenaran sesuatu masalah yang disoalkan tersebut. Seorang pemikir kritis tidak hanya pandai menggunakan kemahiran pendalaman persoalan (micro thinking) tetapi mempunyai sikap tertentu berkaitan dengan cara pandangnya terhadap suatu masalah tersebut.Pemikiran kritis mendorong individu bersifat rasional seperti berpendapat secara kritis,menilai dan menimbang berbagai pendapat dan gagasan sebelum membuat menarik kesimpulan. Pemikir kritis juga menilai Kesahihan (Shahih) dalam membuat atau menerima pernyataan seseorang

Untuk menguatkan penjelasan berpikir kritis dan Ketunggalan dalam cara berpikir berikut adalah kajian teori dari beberapa pemikir :

 Beyer (1985) berpendapat, pemikiran kritis adalah kebolehan manusia untukmembentuk konsep, memberi sebab atau membuat penentuan.

Pascarella dan Terenzini (1991, 2005) pula mendefinisikan pemikiran kritis sebagaikebolehan individu untuk mengenalpasti isu-isu dan membuat andaian untuk dibahaskan serta mengenal pasti hubungan penting untuk mendapatkan rumusan yang tepat daripada maklumat yang sedia ada

Menurut Dewey (1993), pemikiran kritis adalah berfikir secara serius dan mendalam serta membuat pertimbangan daripadanya

Selanjutnya, menyoal "Pemikiran krtis yang terlampau kritis". Adalah naif bagi aktivis pemikir yang selalu menyuarakan dan memposisikan diri serta mencoba melakukan generalisasi pemikiran terhadap suatu permasalahan atau kehendak pemikiran yang terkesan "Dipaksakan". Untuk tulisan singkat saya yang ke 4 ini, terpaksa saya harus mengatakan bahwa intelegensia dewasa ini sudah terlampau kritis dalam menyoal permasalahan dan ujung-ujungnya tentu non-solutif. Saya kagum dengan aktivis reformasi 1998, para aktivis mahasiswa tangguh luar biasa, pemikiran kritis tanpa batas yang berhasil menumbangkan rezim orde baru, tetapi sejatinya jika kita analisis bersama peristiwa 98, mereka lupa akan kebutuhan bangsa dan rakyat Indonesia saat itu, jika dengan aksi dan gejolak pemikiran yang mereka dengungkan saat itu berhasil menumbangkan Presiden Soeharto (Pemimpin Orde Baru) tapi apa yang terjadi selepas itu? Tidak ada solusi yang hakiki untuk sebuah perjuangan Reformasi bangsa Indonesia, kita hanya berganti pimpinan, berganti penguasa dan lebih tragisnya lagi bangsa Indonesia kala itu hanya berganti Dinasti. Kalaupun ada perubahan itu hanya 5% lebih sedikit. 

Tetapi, tetap mahasiswa Indonesia kala itu kita apresiasi luar biasa dengan ketangguhannya yang luar biasa, tetapi kembali lagi ke pokok permasalahan yang kita bahas, menyoal "Pemikiran kritis yang terlampau kritis". Tinggal kembali  dari individu pemikir itu sendiri bagaimana menilai dinamika pemikiran yang ia kembangkan sendiri

***  
More about(Pemikiran) Kritis yang fanatik atau (Pemikiran) Kritis yang Terlampaui