MASA DEPAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS WACANA TENTANG PERKEMBANGAN CIVIL SOCIETY

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Senin, 27 Februari 2012

JURNAL MASYARAKAT KEBUDAYAAN DAN POLITIK

Volume 12, Nomor 4: 15-24
Masa Depan Indonesia: Sebuah Analisis Wacana tentang Perkembangan Civil Society

(Sebuah Pelajaran yang Disimak dari Penyelenggaraan Scenario Planning Indonesia 2010)



Daniel Sparringa*

Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga


Tulisan berikut ini menyodorkan sebuah tema sentral tentang apa yang dapat kita pelajari setelah beberapa rangkaian dialog regional untuk menyusun scenario planning (SP) digelar.Pendekatan utama yang dipa-kai dalam analisis ringkas ini adalah pene-kanannya kepada usaha memberi tempat yang penting pada pengembangan kategori, konsep dan wacana menurut perspektif pe-serta dialog. Alih-alih menekankan pada pe-ngembangan konsep-konsep yang telah ma-pan, analisis berikut ini memusatkan perhati-annya pada pemikiran-pemikiran peserta di-alog tentang tema-tema tertentu yang mun-cul dan berkembang selama rangkaian dia-log itu berlangsung

Para peserta dialog SP pada umum-nya mengembangkan sendiri kategori-kategori a-priori yang terbentuk dan yang amat dipengaruhi oleh wacana yang berkem-bang di sekitar kehidupan mereka. Satu hal yang amat menonjol adalah kenyataan bah-wa mereka banyak mengadopsi berbagai istilah yang dibawa oleh perubahan yang utamanya terjadi dalam dua tahun terakhir ini. Beberapa pasang kata yang mencermin-kan pemilahan biner yang paling populer di kalangan mereka di antaranya adalah: demo-krasi-otoriter, ekonomi kerakyatan-konglo-merasi, elit-rakyat, hak-hak asasi manusia-represi, Jawa-luar Jawa, keadilan-penindas-an, negara (state)-masyarakat (civil society), negara kesatuan-federasi, reformasi-status quo, pluralisme-penyeragaman, religius-sekuler, sentralisme-desentralisme, dan sipil-militer. Di samping itu, beberapa isti-lah lain juga muncul walaupun digunakan dalam

konteks yang berdiri sendiri atau kalaupun berpasangan mereka sering tidak konsisten penempatan kategorinya. Misal, dwifungsi, globalisasi, hegemoni, kapitalis-me, kearifan lokal, masyarakat adat, dan otonomi.

Sebenarnya, dapat dikatakan tidak ada pola tunggal dalam cara mereka me-mahami wacana yang diwakili oleh istilah-istilah tersebut. Sebagai sebuah lapangan wacana (discursive field), apa yang didefinisikan sebagai patut-tak patut, baik-buruk, boleh-tak boleh merepresentasikan sebuah pergumulan makna yang amat majemuk dan lebih dalam proses ‘menjadi’ daripada sebagai sebuah makna final yang mencerminkan posisi ideologis seseorang atau kelompok. Pengelompokan atas respon mereka pada masing-masing wacana tentu saja dapat dilakukan namun dengan segala kompleksitasnya yang kerap dipenuhi oleh paradoks.

Paradoks itu dapat dikenali dengan melihat cara mereka mendefinisikan masa-lah dan memberikan arti kepadanya. Meski pun sangat jelas bahwa sebagian besar pe-serta dialog merupakan representasi elemen-elemen penting dalam civil society (CS), na-mun kebanyakan dari mereka enggan me-nempatkan posisinya sebagai bagian dari kekuatan yang hidup dalam alam pikir rakyat kebanyakan. Keengganan untuk berpikir dalam perspektif orang kebanyakan itu pada dasarnya menegaskan kembali tentang lebarnya kesenjangan ideologis di antara mereka dan orang kebanyakan pada umumnya.

Sementara mereka beroperasi dengan istilah yang hanya dimengerti dalam kalang-an mereka sendiri, terdapat kecenderungan yang kuat untuk mengadopsi kepercayaan bahwa berpikir ilmiah adalah berpikir me-nurut logika yang dibangun atas dasar posi-tivisme --sebuah paradigma yang di antara-nya menerima obyektivitas sebagai sebuah dalil untuk menghasilkan kebenaran sejati. Sebuah kebenaran yang dipercaya dapat, atau bahkan harus, dibangun di luar kesadar-an subyektif manusia Dalam perspektif se-macam ini, terdapat keengganan untuk menyuarakan kepentingan ‘kelompok’ dari mana mereka berasal. Berpikir ‘politis’ --yakni menyuarakan kepentingan ‘subyektif’ berdasarkan kesadaran kolektif-partikular--dipandang sebagai berpotensi mencederai intelektualisme yang amat mereka bangga-kan sebagai icon yang membedakan mereka dengan orang kebanyakan itu. Kepercayaan kepada adanya kebenaran universal menjadi satu wacana tersendiri yang amat dominan di kalangan para peserta dialog. Akibatnya, sebagian besar peserta dialog menempatkan dirinya secara konservatif sebagai individu-individu ‘obyektif’ yang lokasi sosialnya amat berjarak dengan orang kebanyakan (rakyat).

Paradoks yang lain nampak dari ba-gaimana mereka memposisikan dirinya ter-hadap wacana publik yang tengah berkem-bang dalam dialog. Sementara mereka me-nyatakan dirinya sebagai individu bebas (free-floating individual), sangat sering me-reka pada saat yang sama mengatasnamakan rakyat dalam perdebatan tentang sebuah tema. Lebih jauh, politik wacana mereka juga amat diwarnai oleh elitisme --rakyat dilihat sebagai masih kurang mengerti dan tak cukup canggih untuk mengerti persoalan yang tengah mereka bahas. Meskipun mere-ka memiliki pandangan-pandangan yang progresif tentang banyak hal, kebanyakan dari mereka sangat enggan mengadopsi pen-dekatan populis-- sebuah pandangan yang walaupun pada tingkat wacana sangat mengagungkan partisipasi namun menolak keterlibatan massa dalam proses pembuatan keputusan publik. Gagasan mereka tentang pemberdayaan masyarakat (empowerment of civil society) pada dasarnya terbatas pada elemen-elemen elitis dalam masyarakat yang dipandangnya sebagai kekuatan inti yang mencerahkan karena kemampuan intelektual yang dimilikinya.

Yang juga menarik untuk dicatat di sini adalah, ketika mereka sedang berbicara tentang negara (state), mereka memposisi-kan sebagai rakyat. Sementara itu, ketika mereka sedang berbicara tentang CS, orang-orang di luar lingkaran mereka adalah rak-yat. Lokasi sosial yang agak ganjil ini untuk sebagian menjelaskan bagaimana kuatnya kecenderungan untuk menolak perubahan yang datang dari bawah, dari kekuatan arus bawah, dari orang kebanyakan. Sementara mereka berbicara dalam ‘bahasa orang terdi-dik’, mereka sendiri tampak tak cukup punya bekal yang memadai untuk berbicara lebih jauh dari sekedar istilah semata. Pe-mahaman mereka terhadap istilah global-isasi, demokrasi, kapitalisme, pluralisme, se-bagai misal, pada umumnya berhenti di tingkat retorika. Hampir tidak terjadi pem-bicaraan yang menyentuh substansi dan im-plikasinya pada kehidupan yang nyata. Tidak mudah dijelaskan, memang. Semen-tara mereka menempatkan posisinya di pusat perubahan, mereka sendiri tak cukup siap menjadi pusat bagi tumbuhnya gagasan-gagasan alternatif cemerlang yang mampu menandingi wacana dominan Orde Baru. Ambivalensi mereka terhadap posisi rakyat dalam proses perubahan menimbulkan perta-nyaan tentang adakah kepercayaan bahwa mereka dapat menjadi motor perubahan itu dapat dipertahankan lebih lama lagi.

Sementara sebagian dari mereka ter-kesan gagal mengembangkan definisi yang lebih luas tentang demokrasi, sebagian yang lain berusaha mengembangkan definisi yang sempit, yakni demokrasi yang ditandai oleh berfungsinya parlemen, partai dan pemilu, titik! “Demokrasi terbatas” yang mereka pahami itu gagal memberi tempat penting bagi praktek “partisipasi politik individu secara langsung” yang sering dicakup dalam konsep civil liberties. Pemahaman mereka terhadap partisipasi politik semacam itu se-perti telah diisyaratkan dalam uraian di muka tadi dilihat dengan sikap yang mere-mehkan kesempatan bagi orang kebanyakan memperoleh kesempatan untuk melaksana-kan hak-hak dasar politik mereka seperti kebebasan berbicara dan berserikat. Wacana dominan di sekitar tema ini pada umumnya diwarnai oleh kepercayaan bahwa mayoritas rakyat belum siap menerima demokrasi. Terdapat isyarat yang cukup jelas yang memperlihatkan preferensi mereka terhadap apa yang saya sebut dengan “demokrasi segmental” --sebuah konsepsi yang menem-patkan elemen elitis dalam masyarakat sebagai pusat wacana dan perubahan. Sebagai kontras, mereka melihat jaminan terhadap praktek “partisipasi politik individu secara langsung” hanya akan melahirkan apa yang sering dalam kesempatan berbeda saya sebut dengan “demokrasi chihuahua” -- sebuah istilah yang merepresentasikan pandangan bahwa suara orang kebanyakan hanya merefleksikan euphoria dan akan melahirkan kekacauan.

Walaupun terdapat kecenderungan umum bahwa perkembangan politik di Indonesia pasca-Soeharto mengindikasikan makin berkembangnya CS, sesungguhnya terdapat sedikit bukti untuk menyokong pandangan bahwa elemen-elemen strategis yang terdapat dalam masyarakat dapat memberikan terobosan segera yang berarti bagi kemungkinan berkembangnya sebuah masyarakat yang lebih pluralistik, lebih demokratis. Dengan menguji apa yang telah dikemukakan sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa secara epistemologis, kebanyakan peserta dialog berperan dalam gaya politik pemerintah dan karenanya kurang memberi tandingan yang berarti pada wacana dominan yang diproduksi atau direproduksi oleh negara. Bahkan, terdapat kecenderung-an yang masih terlihat bahwa mereka bertahan dalam budaya politik Orde Baru yang cenderung melihat kebenaran dalam perspektif tunggal dan mengatasi yang lain (monolitik dan hegemonik).

Penyuaraan untuk perubahan secara gradual dan segmental, kecenderungan un-tuk mengadopsi pendekatan yang lebih elitis dalam demokrasi, atau “lokalisasi kekuasa-an” dengan meminta pemerintah memberi-kan otonomi yang lebih luas kepada daerah, sebagai misal, dalam banyak hal memper-kuat struktur politik yang ada. Posisi sema-cam ini meneguhkan hegemoni negara sebagai pusat dan lokus kekuasaan, daripada melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang menyebar dan menyelimuti masyarakat (disperse and permeate), dan sebagai sesu-atu yang “sudah tersedia di sana”. Mirip dengan itu, cara mereka memandang pemerintah sebagai agen utama pem-bangunan yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan dan ketidak-adilan, sekali lagi, menegaskan ikhwal itu.

Gambaran di atas, walaupun diung-kapkan hanya dalam garis-garis besarnya saja, memperlihatkan masih kuatnya hu-bungan yang tak setara di antara CS dan negara. Dalam ikhwal yang terakhir ini, menjadi penting untuk dilihat bagaimana proses-proses politik maupun sosial yang terjadi di tingkat CS dapat dicermati sebagai bahan untuk melihat potensi dan arah perkembangan Indonesia di masa depan.

Bagian berikut dari tulisan ini men-coba mengedepankan ulasan saya tentang perkembangan CS di Indonesia dalam pers-pektif sosiologis. Ulasan itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai analisis lengkap, apalagi akhir, namun sekurang-kurangnya mencoba menawarkan sebuah perspektif kontekstual yang melampaui wacana yang berkembang dalam rangkaian dialog regional itu.

Perkembangan Civil Society di Indonesia:
sebuah Perspektif Sosiologis

Sejak awal sebenarnya terdapat masalah yang serius dalam sejarah perkembangan civil society[2] (CS) di Indonesia. Pada masa kolonial, kecuali memang tidak terdapat infrastruktur sosial yang memadai bagi usaha untuk memfasilitasi tumbuhnya insti-tusi sosial penting yang mencerminkan hadirnya asosiasi-asosiasi sukarela, plural-isme dan transaksi sosial lintas kultural, secara sistematis terdapat usaha dari peme-rintah kolonial untuk menghambat perkem-bangan yang wajar dari CS di Indonesia.[3] Meskipun terdapat perubahan yang cukup berarti tidak lama setelah politik etis menghasilkan kaum bumiputera terdidik di sekitar awal abad lalu, dapat dikatakan hanya sekelompok kecil lapis atas dari kaum ini yang mungkin dapat dipandang sebagai embrio lahirnya gagasan-gagasan universal kemanusiaan yang dalam dua dekade berikutnya berimbas pada berkembangnya gagasan-gagasan politik kebangsaan di Indonesia.[4]

Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan CS di Indonesia sampai dengan tibanya pengakuan kedaulatan tidak cukup menghasilkan kesadaran-kesadaran baru selain nasionalisme --sebuah kesadaran yang terutama dikonstruksikan melalui wacana politik tentang kolonialisme dan yang kemudian disusul dengan gerakan perlawanan bersenjata mengusir penjajah. Catatan terpenting dari ikhwal ini adalah gagasan nasionalisme generasi kedua[5] yang lahir mendahului pernyataan kemerdekaan itu tidak disokong oleh tersedianya forum dan media yang memungkinkan elemen-elemen majemuk dalam CS berinterkasi dalam kerangka negara bangsa (nation state) yang moderen. Walaupun dalam periode se-telah kemerdekaan, terutama selama era multipartai pertama (1950-8), terdapat kesempatan yang cukup luas untuk mengembangkan pluralisme, hampir dapat dikatakan bahwa ikatan-ikatan politik yang tumbuh karena kesadaran partikular dan lokalitas masih cukup dominan mewarnai wacana dan praktek politik selama periode itu. Meskipun tidak cukup puas dengan apa yang terjadi, banyak kalangan percaya bahwa periode itu sangat penting untuk di-perhatikan karena elemen-elemen majemuk dalam masyarakat mulai mengambil prakar-sa untuk berinterkasi dalam ruang publik yang amat dinamis karena melibatkan proses-proses negosiasi-renegosiasi dan posisi-reposisi di antara nilai-nilai lokal, partikular dan universal.

Periode perkembangan yang amat penting itu relatif terhambat karena terja-dinya perubahan pada tingkat negara dengan munculnya Demokrasi Terpimpin (1959-65). Hadirnya Demokrasi Terpimpin jelas telah mengakibatkan kompetisi di antara lima aliran ideologi itu (Islam, Tradisional-Ortodoks, Nasionalis, Sosial-Demokrat dan Komunis) tenggelam oleh besarnya kehendak negara untuk di satu pihak menge-limisasi polarisasi dan divisi sosial di dalam masyarakat dan di pihak lain menggeser proses-proses politik massa ke arah yang lebih elitis. Persaingan di antara aliran-aliran ideologi dicegah untuk berkembang melalui pengenalan kembali pada gagasan-gagasan nasionalisme awal republik yang amat diwarnai oleh interpretasi Soekarno yang sampai batas-batas tertentu merupakan usaha sinkretisme atas aliran-aliran ideologi itu.[6]

Walaupun melalui motivasi yang berbeda, perubahan politik selanjutnya memperburuk perkembangan CS. Hadirnya rejim Orde Baru telah amat menghancurkan kemungkinan elemen-elemen penting dalam CS di Indonesia untuk melakukan proses pertumbuhan. Kebijakan yang amat sistem-atis yang ditempuh oleh Orde Baru untuk melakukan depolitisasi politik massa dan politik aliran menggenapkan kesempurnaan proses-proses politik yang dasar-dasarnya telah diletakkan sebelumnya oleh peme-rintah kolonial. Orde Baru, dalam pema-haman sosiologis saya, merupakan feno-mena negara yang amat hegemonik karena amat berhasil mengintegrasikan elemen-elemen penting CS ke dalam wilayah negara. Interaksi di antara elemen-elemen majemuk yang memungkinkan berkembang-nya ruang publik bagi pengembangan sebuah masyarakat plural praktis tidak banyak berkembang, bahkan hancur, karena adopsi cara pandang elit Orde Baru yang melihat kesempatan semacam itu lebih mungkin menghasilkan disintegrasi sosial daripada stabilitas sosial --sebuah paradigma yang kemudian diketahui amat menyesatkan karena stabilitas sosial yang dibangun dengan cara meniadakan kemajemukan itu justru menimbulkan komplikasi yang amat serius di kemudian hari.

Indonesia dalam Transisi: “dari Komunisme ke Komunalisme”[7]

Harus diakui bahwa ketika orang mulai memikirkan sebuah perubahan di Indonesia, tidak banyak dari mereka yang melihat ada sejumlah masalah dengan itu. Wacana yang dominan tentang perubahan yang dikemas dengan istilah “reformasi” itu pada umum-nya mengasumsikan masalah terpokok bagi sebuah perubahan di Indonesia terdapat pada negara (state) dan bukan masyarakat (civil society). Kekuasaan yang korup, sentral-istis, dan abai terhadap hak-hak sipil dan politik rakyat, misalnya, dipandang sebagai sumber utama dari berbagai persoalan di Indonesia yang kerap digambarkan sebagai “krisis multi-dimensi”.[8] Anggapan yang se-belumnya sangat dominan berkembang di kalangan elit Orde Baru bahwa masyarakat Indonesia belum siap menerima demokrasi pada umumnya ditolak, sekurang-kurangnya diremehkan, oleh para penganjur “Demokra-si Sekarang” (DS).[9]

Para penganjur DS yang terutama berasal dari kalangan aktivis mahasiswa, LSM, intelektual oposisionis[10] (baik yang berasal dari kampus maupun non-kampus) dan sebagian ‘kelas menengah’ yang berasal dari kelompok profesional berbasis urban, pada dasarnya menghendaki perubahan yang bersifat struktural di tingkat negara. Datang dengan gagasan “reformasi total”, mereka beroperasi melalui tema-tema “demokrasi”, “HAM”, “keadilan”, “rule of Law”, “civil supremacy”, dan “clean government and good governance”. Walaupun sebagian besar tidak percaya pada revolusi, mereka menghendaki upaya-upaya yang cepat bagi pemulihan demokrasi di Indonesia yang menjadi inti dari “Indonesia Baru” itu.

Tentu saja, saya sendiri tidak menampik seriusnya persoalan yang terdapat pada negara Orde Baru yang dalam pemahaman saya terutama ditandai oleh tidak hadirnya sebuah pemisahan dan pembagian kekuasaan yang jelas di antara tiga hal: (a) kekuasaan judisial-eksekutif-legislatif (JEL); (b) pemerintah pusat-daerah; dan wilayah negara-masyarakat.[11] Walaupun begitu, banyak kalangan mulai mempertanyakan kembali tentang kesiapan masyarakat setelah melihat begitu banyak tindakan-tindakan kekerasan yang mem-bawa korban dalam bentuk harta dan nyawa. Apabila sampai dengan setahun setelah kejatuhan Presiden Soeharto masyarakat pada umumnya dan analis sosial pada khu-susnya menjelaskan kekerasan-kekerasan itu sebagai respon terhadap rejim sebelumnya yang otoritarian, akhir-akhir ini berkembang pertanyaan-pertanyaan di kalangan masya-rakat yang mencerminkan kegelisahan. Kegelisahan itu pada umumnya berkisar di sekitar persoalan tentang (1) seberapa cepat perubahan yang nyata itu akan terjadi, setidak-tidaknya dalam arahnya yang men-janjikan?; (2) seberapa mungkin perubahan itu dapat dilakukan dengan ‘guncangan’ yang mereka dapat menanggungnya lagi?; (3) seberapa masuk akal harapan terhadap perubahan itu digantungkan kepada para pemimpin mereka?; (4) seberapa siap infra-struktur yang terdapat dalam CS untuk ikut menentukan arah perubahan itu?; dan (5) ba-gaimanakah ‘masa lalu’ itu hendak disele-saikan?

Reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan itu pada umumnya mengabarkan kerisauan dalam ikhwal bagaimana mereka semestinya memposisikan dirinya terhadap pertanyaan-pertanyaan itu. Miskinnya pemahaman bahwa mereka sesungguhnya dapat menjadi bagian yang berarti dalam proses perubahan itu mengecilkan potensi bagi berkembangnya kesadaran kolektif yang penting bagi sebuah perubahan yang berpola partisipatoris. Keragu-raguan bahwa para pemimpin mereka sedang bekerja dalam arah yang menjanjikan juga menimbulkan rasa frustasi dan meningkat-kan kecemasan tentang ada tidaknya masa depan yang lebih baik itu.

Di samping berkembangnya perasa-an-perasaan alienasi yang meluas terhadap proses perubahan dan struktur yang memfasilitasi perubahan itu, kebanyakan dari mereka memiliki kepercayaan yang tidak jelas terhadap bagaimana perubahan itu harus dilakukan --dari mana memulai-nya?, siapa yang semestinya mengambil prakarsa?, mana yang harus diubah dan mana pula yang sebaiknya dipertahankan?, dengan ongkos apa dan berapa besar? Dan tentu saja, siapa yang menanggungnya? Apabila terdapat rasa percaya yang berlebihan ketika reformasi pada awalnya digulirkan, yang tampak menonjol sekarang adalah kehilangan rasa percaya diri itu. Pada umumnya terdapat suasana untuk menghindari perdebatan tentang bagaimana mereka harus mengambil posisi terhadap perubahan itu. Yang tampak menonjol jus-tru hasrat yang besar untuk melihat bahwa perubahan itu akan datang dengan sendirinya, pada waktunya.

Walaupun tidak mudah untuk me-rumuskan perasaan-perasaan yang mewakili keprihatinan masyarakat luas itu, saya menangkap kesan yang amat kuat bahwa mereka melihat adanya kesenjangan yang besar di antara apa yang mereka lihat dan alami sekarang dan gambaran mereka sebe-lumnya tentang reformasi itu. Menurut sa-ya, akibatnya sangat buruk. Apa yang me-reka persepsi sebagai ketidakadilan yang sis-temik itu diresonansikan ke dalam sebuah perlawanan simbolik dan retorik yang kerap justru mengaburkan berkembangnya pem-bicaraan-pembicaraan yang jernih tentang masalah yang mereka hadapi sendiri. Di samping itu, tidak berkembangnya infra-struktur sosial dan politik yang memadai di tingkat CS dan negara yang mampu mem-fasilitasi terjadinya proses artikulasi dan institusionalisasi aspirasi mengakibatkan liberalisasi politik yang diletakkan dasar-dasarnya sebelumnya oleh Presiden Habibie hanya menghasilkan frustasi sosial yang luas --sebuah kondisi yang cocok untuk menghasilkan disintegrasi sosial. Fenomena inilah yang sedang dan, untuk waktu yang cukup lama, akan dihadapi oleh duet Gus Dur dan Megawati.

Civil Society sebagai Determinan Perubahan

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Adakah ekspresi “dari komunisme ke komu-nalisme” itu sungguh mencerminkan kea-daan yang sebenarnya sedang kita saksikan? Penjelasan orang tentang isu ini memang dapat bermacam-macam. Di kalangan para penganut aliran struktural fungsional terda-pat kecenderungan untuk percaya bahwa apa yang sedang terjadi ini merupakan proses pencarian keseimbangan baru. Sebuah pro-ses yang walaupun penuh guncangan diper-caya akan diakhiri dengan hadirnya sebuah harmoni baru yang terutama ditandai oleh terjadinya konsensus tentang bagaimana sebuah sistem sosial hendak dikelola secara kolektif. Cara pandang semacam ini pada umumnya cukup kuat di antara mereka yang mempelajari ilmu-ilmu sosial sampai dengan akhir tahun 1970-an.

Sementara itu, bagi mereka yang menggunakan pemikiran yang ditawarkan oleh aliran struktural konflik memahami persoalan itu sebagai perwujudan kompetisi memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan politik. Salah satu varian dari aliran pemikiran ini melihat konflik di tengah masyarakat sebagai bagian dari perjuangan kekuasaan yang lebih luas, terutama di kalangan para elit politiknya. Di luar dua aliran ini, terdapat beberapa aliran pemikiran teoritis di era 1990-an yang mengambil cara pandang yang menolak determinisme struktur sebagai pola dominan dalam menjelaskan perilaku: mulai dari teori kritis hermeneutics ala Habermas, Agency vs Structure ala Giddens sampai dengan power/ knowledge ala Foucault.

Saya sendiri cenderung untuk selalu melihat konteks (dalam hal ini dinamika dan sejarah) dan teks (dalam hal ini struktur dan nilai) dalam sebuah arena yang saling ber-interaksi yang melibatkan proses-proses so-sial yang evaluatif terhadap ruang dan waktu (posisi-reposisi/negosiasi-renegosiasi). Ter-hadap masalah yang sedang kita bicarakan, saya cenderung melihat apa yang terjadi di masyarakat belakangan ini sebagai bagian dari konflik ideologis (ideological battle-field) dan perebutan kekuasaan (power struggle) di antara para elit politik.[12] Di samping itu, ini juga merupakan fungsi dari kegagalan elemen-elemen penting dalam negara untuk mengelola masyarakat majemuk yang proses pembentukannya menjadi sebuah civil society telah lama terhambat.

Memperhatikan bahwa proses-proses politik yang berlangsung di tingkat negara akan banyak diserap oleh kebutuhan untuk di satu pihak melakukan konsolidasi kelem-bagaan dan ideologis dan di pihak lain menciptakan balance of power yang baru, hampir dapat dikatakan tidak banyak yang dapat disumbangkan oleh negara dalam pro-ses penciptaan infrastruktur sosial penting dalam CS.[13] Masyarakat sendiri lah yang pada akhirnya akan menentukan perkem-bangan CS di Indonesia. Perjalanan ke arah itu saya kira masih panjang dan rumit. Trauma sosial di masa lalu telah banyak menghilangkan kepercayaan di kalangan CS untuk mengambil peran yang lebih kon-struktif dalam proses perubahan ini. Keadaan ini tidak saja mencemaskan tetapi juga akan menenggelamkan proses-proses kreatif yang lazimnya selalu mudah dibang-kitkan apabila terdapat rasa percaya dan menghormati (mutual trust and respect) di kalangan masyarakat pada umumnya dan para pemukanya pada khususnya. Keke-rasan yang amat mudah berkembang dalam masyarakat jelas memperlihatkan betapa seriusnya masalah yang dihadapi oleh CS di Indonesia. Agak tidak mudah menjelaskan ikhwal itu hanya dengan mengaitkannya dengan hadirnya provokator, terlebih ketika itu terjadi pada skala yang amat luas.

Saya percaya bahwa masa depan Indonesia sedang memasuki tahapan yang paling kritis dari semua gejolak yang kita lampaui sejak kejatuhan Presiden Soeharto. Masa depan di Indonesia tidak lagi ditentukan oleh apa yang berkembang pada tingkat negara tetapi terutama oleh apa yang sedang terjadi dalam CS. Walaupun jelas artikel ini terlalu sempit untuk membica-rakan masalah itu dalam rincian yang mema-dai, cukup aman untuk mengatakan bahwa apa yang sedang terjadi di tingkat CS bukan-lah kabar yang baik untuk membesarkan harapan kita tentang “Indonesia Baru” itu. Kita memang sedang di persimpangan jalan yang amat menentukan: menuju civil society Indonesia yang terbuka ataukah Civil Society Indonesia yang terbelah menurut garis komunal? Kita ingin perubahan atau-kah pemusnahan? Di tangan elemen-elemen penting dalam CS-lah masa depan Indonesia sedang digantungkan.







Daftar Pustaka





Neocleous, M., “From civil society to the social”, dalam British Journal of Sociology, 46, 1995: 395-408.



Roberts, C., The Idea of Civil Society (Research Triangle Park, N.C.: Nati-onal Humanities Center, 1991).



Sparringa, Daniel, “Demokrasi: Pengalaman Struktural ataukah Kultural?” work-ing paper, Laboratorium Masalah-masalah Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uni-versitas Airlangga (FISIP Unair), 1998a.



Sparringa, Daniel, “Kompetisi Aliran Ideo-logi Pasca Orde Baru” working paper, Laboratorium Masalah-masalah Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uni-versitas Airlangga (FISIP Unair), 1998b.



Sparringa, Daniel, “Taksonomi Intelektual Indonesia” working paper, Labora-torium Masalah-masalah Pemba-ngunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), 1999.



[1]Tulisan ini dikembangkan dari pengalaman memfasilitasi dialog penyusunan scenario planning “Indonesia 2010” di delapan dari 14 rejion yang tersebar dari ujung timur sampai barat. Dimulai pada bulan Juni 1999, seluruh rangkaian dialog ini diper-kirakan akan rampung sebelum pertengahan tahun 2000. Sebagai fasilitator, saya jelas amat beruntung karena memiliki kesempatan untuk melakukan studi terhadap elemen-elemen strategis dalam masyarakat dengan pendekatan pengamatan terlibat dan yang berperspektif grounded theory. Sebagai sebuah metode, scenario planning ini baru kali pertama diperkenalkan di Indonesia untuk kepentingan ini meskipun sebenarnya telah mulai populer di kalangan masyarakat bisnis internasional sejak era 1980-an setelah perusahaan minyak Shell mengawalinya untuk mengembangkan skenario masa depan global dunia perminyakan. Pada tingkat negara, Afrika Selatan dan Columbia adalah dua negara yang menjadi perintis yang menerapkan metode ini. Sekarang, banyak negara menggunakan metode ini untuk mengantisipasi masa depan mereka.

[2]Secara sadar saya memang memilih istilah civil society di tengah perdebatan intelektual di Indonesia belakangan ini tentang adakah istilah masyarakat madani itu dapat dianggap menjadi istilah pengganti untuk civil society. Keengganan saya untuk memasuki area itu bukan terletak pada masalah semantik tetapi pada isu di sekitar pertanyaan tentang adakah rujukan sejarah yang kerap dipakai oleh eksponen penggagas istilah itu memang sungguh mencerminkan ciri yang hakiki yang diwakili oleh konsep civil society sebagaimana ditemukan dalam teks sosiologi pada khususnya dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Lihat, misalnya, Roberts (1991), Neocleous (1995).

[3]Ilustrasi yang cukup memadai tentang ikhwal itu, misalnya, dapat dilihat bagaimana pemerintah kolonial membagi masyarakat ke dalam klas-klas sosial yang mengikuti garis rasial yang pada saat yang sama kerap bersegaris dengan fungsi sosial dalam masyarakat: masyarakat Eropa, Tionghwa dan keturunan Arab, dan Bumiputera. Di daerah perkotaan, kebijakan untuk melakukan politik segregasi itu untuk sebagian terlihat dari bagaimana pemukiman berdasarkan garis ras dan etnisitas itu berkembang yang dalam bentuknya yang relatif masih sempurna dapat dilihat bekas-bekasnya hingga sekarang ini.

[4]Lahirnya “Boedi Oetomo” di tahun 1908 yang kemudian disusul dengan berdirinya partai di tahun 1920-an dan sesudahnya merupakan ilustrasi yang menggambarkan peran kelompok terdidik bumiputera pada era itu.

[5]Puncak kelahiran nasionalisme generasi kedua ditandai dengan lahirnya negara-negara baru setelah PD II. Negara-negara ini, termasuk Indonesia, pada umum dipersatukan oleh semangat yang sama untuk bernaung dalam sebuah negara bangsa yang dibangun di atas puing-puing kolonialisme. Hampir tidak ada alasan obyektif bagi bangsa semacam itu untuk bersatu karena kemajemukannya selain kesadaran bersama yang dibangun karena pengalaman emosional kesejarahan.

[6]Penekanan pada ide persatuan nasional ala Presiden Soekarno pada masa itu di antaranya dapat dikenali melalui gagasannya tentang “NASAKOM”.

[7]Ekspresi ini (“Dari Komunisme ke Komunalisme”) saya pinjam dari seorang kawan yang menggambarkan kecemasan pribadinya tentang masa depan Indonesia Istilah “komunalisme” sendiri dikenal dalam sosiologi sebagai konsep yang mencoba menggambarkan terjadinya divisi sosial, bahkan mungkin ideologi, atas dasar ikatan-ikatan geneakologis seperti daerah, suku, ras dan agama. Di Indonesia sendiri, penggambaran serupa atas kecenderungan ini sering ditangkap dengan istilah primordialisme atau sektarianisme.

[8]Istilah ini dipakai oleh mereka yang percaya bahwa Indonesia tidak saja sedang menghadapi krisis politik, ekonomi, hukum dan budaya, tetapi juga, bahkan terutama, moral.

[9]Para pendukung gagasan “Demokrasi Sekarang” pada umumnya memegang kepercayaan bahwa negara Orde Baru dengan sengaja membesar-besarkan potensi disintegrasi sosial melalui wacana politik mereka tentang “SARA”. Bahkan, para pendukung gagasan itu menuding Orde Baru secara sistematis terlibat dalam pelestarian hubungan antagonis di antara elemen-elemen masyarakat.

[10]Dua kategori intelektual Indonesia lainnya adalah intelektual ortodoks dan intelektual revisionis. Apabila yang disebut terakhir percaya pada peran normatifnya sebagai “guru”/”pandhito” yang berbicara dalam bahasa “orang bijak”, intelektual ortodoks sangat percaya pada peran normatifnya sebagai “formulator” gagasan-gagasan pembangunan --bekerja sebagai staf ahli atau konsultan pemerintah (Sparringa, 1999).

[11]Saya percaya pada pemikiran sentral yang menempatkan persoalan bagaimana kekuasaan itu dikelola sebagai salah satu elemen penting dalam demokrasi. Inti dari perspektif semacam itu pada pokoknya mensyaratkan pencegahan terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan satu lembaga dan karena itu mendiktekan hadirnya mekanisme yang memungkinkan masyarakat dapat mengawasi bagaimana elemen-elemen penting dalam negara bekerja dalam kerangka rakyat berdaulat. Untuk uraian lebih lanjut lihat: Sparringa (1998a).

[12]Dalam pemahaman saya, sekurang-kurangnya terdapat delapan aliran ideologis yang tengah bersaing dalam masa transisi ini. Prosesnya sendiri masih jauh dari selesai dan banyak ditandai oleh proses afiliasi-disafiliasi yang terus berubah sampai sekurang-kurangnya dalam 20 tahun mendatang. Delapan aliran ideologi itu, untuk sebagian merupakan sebuah perkembangan yang akarnya dapat ditelusur kembali pada perkembangan politik di Indonesia tahun 1950-an, atau bahkan sebelumnya. Kedelapan aliran ideologi itu adalah: Islam Kutural, Islam Politik, Nasionalis-Populis, Nasionalis-Negara, Nasionalis Ortodoks, Pragmatis-Teknokratis, Sosial-Demokrat dan Demokrasi Liberal. Lihat Sparringa (1998b).

[13]Di luar itu, pemerintah masih harus menyelesaikan berbagai masalah yang diwariskan pemerintah sebelumnya. Dua di antaranya yang mendapat perhatian besar dari masyarakat luas ada di sekitar pertanyaan tentang bagaimana masalah penyalahgunaan kekuasaan oleh para birokrat sipil maupun militer itu hendak diselesaikan, seperti misalnya soal yang oleh media sering disebut dengan KKN dan pelanggaran HAM. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin penting adalah bagaimana pemerintah Gus Dur-Megawati menemukan solusi terobosan yang di satu pihak dapat diterima masyarakat dan di pihak lain masuk akal untuk dikerjakan oleh pemerintah.

___________________

* Korespondensi : D. Sparringga, Departemen Sosiologi, Fisip, Unair, Jl. Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Telp: 031-5011744.
More aboutMASA DEPAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS WACANA TENTANG PERKEMBANGAN CIVIL SOCIETY

Seorang Milton Friedman

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Pada 11 Desember 2006, ekonom Milton Friedman menemui ajalnya akibat serangan jantung. Dunia pemikiran ekonomi dan politik berkabung. Mereka kehilangan salah satu putra terbaik sekaligus paling kontoversial.

Milton Friedman disebut-sebut sebagai salah satu nabinya kaum neoliberal. Nabi lainnya adalah Friedrich August Von Hayek. Sebagai ekonom, Friedman dikenal sebagai seorang Monetarist dan membangun jaringan antara inflasi (inflation) dan penawaran uang (money supply). Ia menolak digunakannnya kebijakan fiskal sebagai alat manajemen permintaan. Ia juga menolak peran pemerintah dalam manajemen ekonomi. Sebagai seorang monetaris, ia merupakan penentang utama mazhab ekonomi Keynesian pada tahun 1960an dan awal tahun 1970an.

Kepakaran Friedman dalam bidang ekonomi tak ada yang meragukan. Ia disebut-sebut sebagai orang kedua yang paling berpengaruh sepanjang sejarah ekonomi setelah Adam Smith. Yang lain mengatakan, setelah John Maynard Keynes, tak ada lagi ekonom yang sanggup mengubah cara berpikir dan bagaimana menggunakan perangkat ilmu ekonomi selain Friedman. Puncaknya, pada 1976, ia dianugerahi hadiah nobel ekonomi dari pemerintah Swedia. Dalam pernyataan ketika mengantar kemenangan Friedman, panitia Nobel mengatakan, Friedman adalah

“salah satu ekonom, komentator politik, dan esais yang paling berpengaruh pada abad ini. Milton mungkin adalah ekonom yang diketahui hidup dengan makmur.”

Friedman lahir pada 31 Juli 1912, di Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Ayahnya Jeno Saul Friedman dan ibunya Sarah Ethel (Landau), adalah imigran keturunan Yahudi asal Carpatho-Ruthenia, yang merupakan salah satu propinsi Austria-Hungaria. Ketika ia berumur satu tahun, keluarganya pindah ke Rahway, New York, sebuah kota kecil sekitar 20 mil dari New York City.

Setelah lulus dari sekolah menengah Rahway High School pada 1928, Friedman melanjutkan studinya ke universitas Rutgers, dengan beasiswa. Ia lulus dari universitas ini pada 1932, dengan spesialisasi matematika dan ketertarikan yang sangat besar pada ilmu ekonomi. Tetapi, seperti yang dikatakannya dalam otobiografi singkatnya, karir akademiknya baru mengkilap setelah kuliah di universitas Columbia. Di universitas ini, perhatiannya pada ilmu ekonomi makin terasah di bawah bimbingan Arthur F. Burns, yang juga adalah pembimbing disertasi doktoralnya.

“Arthur Burns yang membentuk pemahaman saya tentang riset ekonomi, yang memperkenalkan saya pada standar ilmu pengetahuan tingkat tinggi, dan menjadi pembimbing yang sangat berpengaruh bagi karir saya selanjutnya.”

Selain Burns, figur lain yang sangat berjasa dalam karir intelektual Friedman adalah Homer Jones. Jones-lah yang memperkenalkan Friedman pada teori ekonomi tingkat lanjut, yang membuat teori ekonomi begitu menarik dan relevan di mata Friedman, sehingga ia bersedia melanjutkan studi ekonominya lebih lanjut. Atas rekomendasi Jones, Freidman memperoleh beasiswa di departemen ekonomi universitas Chicago. Pada saat yang sama, ia juga memperoleh beasiswa di universitas Brown, dalam bidang matematika terapan.

Di universitas Chicago inilah, karir intelektual Friedman mulai bersinar terang hingga akhirnya menggapai puncak. Di universitas ini ia bergabung dalam sebuah kelompok yang terdiri dari ekonom-ekonom papan atas Amerika saat itu seperti, Jacob Viner, Frank Knight, Henry Schultz, Lloyd Mints, dan Henry Simons. Di Chicago ini pula, ia bertemu dengan Rose Director (kemudian dikenal dengan panggilan Rose Friedman), mahasiswi ekonomi yang kelak menjadi istrinya. Pasangan ekonom ini dikaruniai anak, dengan talenta ekonomi yang tinggi dan juga akhirnya menjadi penganjur utama neoliberal, David Friedman.

Setahun di Chicago, Friedman memperoleh fellowship di universitas Columbia. Di sini ia kembali ditempa dengan latihan matematika yang sangat keras dari Harold Hotelling. Berkat bantuan Wesley C. Mitchell dan John M. Clark, ia memperoleh pengetahuan ekonomi yang berbeda secara paradigmatik dengan yang dicecapnya di Chicago. Keduanya memperkenalkan Friedman dengan pendekatan kelembagaan dan empiris. Setahun di Columbia, ia kembali ke Chicago, dan menjadi asisten Henry Schultz, yang tengah menyelesaikan buku The Theory and Measurement of Demand. Kedatangannya yang kedua di Chicago ini mempertemukannya dengan dua mahasiswa tamu yakni, George J. Stigler dan W. Allen Wallis, yang nantinya menjadi karibnya seumur hidup.

Pada tahun 1937, Friedman bekerja di biro nasional penelitian ekonomi (National Bureau of Economic Research). Di biro ini, ia menjadi asisten dari ekonom terkemuka saat itu Simon Kuznets. Di akhir kerjasama mereka, keduanya menerbitkan buku yang berjudul Incomes from Independent Professional Practice. Karya kolaborasi ini kemudian oleh Friedman, diajukannya sebagai disertasi doktoral di universitas Columbia. Pada tahun 1940, karya ini siap untuk diterbitkan tapi kemudian batal karena, terjadi kontroversi antara direktur biro dengan kesimpulan Kuznets dan Friedman.

Dari tahun 1941-1943, Friedman bekerja di departemen keuangan Amerika, khususnya dalam bidang kebijakan pajak. Selanjutnya, pada tahun 1943-1945, ia bekerja sebagai ahli statistika matematika di universitas Columbia, di bawah pimpinan Harold Hotelling. Pada 1945, ia bergabung dengan George Stigler di universitas Minnesota. Setahun kemudian ia ditawarkan sebagai pengajar teori ekonomi di universitas Chicago, menggantikan posisi Jacob Viner yang pindah ke universitas Princeton. Bagi Friedman, kembali ke Chicago seperti pulang ke rumah intelektualnya. Pada saat yang sama, mantan dosennya di universitas Rutgers, Arthur F. Burns, yang kini menjadi kepala Biro, menawarinya pekerjaan di Biro dan bertanggung jawab untuk studi tentang peranan uang dan bank. Kombinasi antara Chicago dan Biro, menginspirasi pendirian sebuah workshop tentang ekonomi dan perbankan. Pada masa-masa ini pula, ia mengukuhkan tradisi intelektual di Chicago, yang terkenal dengan sebutan generasi kedua “Chicago School. “

Sebagai seorang ekonom terkemuka, karya tulis Friedman seakan menjadi kitab suci bagi para pendukung neoliberal. Karya-karya utamanya antara lain, Capitalism and Freedom; Free to Choose: A Personal Statement; Monetary History of the United States, 1967-1960 (bersama Anna Schwartz); Money Mischief: Episodes in Monetary History; Price Theory; Economic Freedom, Human Freedom, Political Freedom; Two Lucky People: Memoirs (bersama Rose Friedman); dan Why Government Is the Problem.

Tetapi, Friedman terkenal bukan hanya sebagai guru neoliberal terkemuka tapi, juga sebagai pendukung utama rejim diktator militer Augusto Pinochet di Chile. Bersama koleganya sesama ekonom, Arnold Harberger, Friedman dikenal sebagai bapaknya kelompok “Chicago Boys” yakni, sekelompok ekonom teknokrat asal Chile yang dididik di universitas Chicago. Dukungannya terhadap Pinochet ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari keyakinan teoritiknya bahwa pasar bebas akan membawa manusia, lebih khususnya, individu, pada kebebasan dan kemakmuran ekonomi. Dan rejim Pinochet adalah rejim pertama di Amerika Latin, yang secara teguh meyakini dan menjalani resep-resep a la Friedman.

Menurut Friedman, problem ekonomi yang menimpa Chile saat itu merupakan warisan lama dari dominasi pemikiran kolektivisme, sosialisme, dan negara kesejahteraan, yang menyebabkan negara itu lebih sering melahirkan kekerasan ketimbang kebebasan. Dan itu semua berpuncak pada kepemimpinan Salvador Allende. Karena itu, bagi Friedman, kejatuhan Allende bukan terutama disebabkan oleh kudeta militer tapi, lebih karena pengkhianatannya pada tradisi panjang demokrasi Chile. Dan rejim Pinochet, menurut Friedman, merupakan salah satu cara untuk mencegah rakyat Chile dari ancaman kelaparan massal, kekerasan, dan perangkap ketidakadilan.

Atas dukungannya yang kuat terhadap rejim militer Pinochet yang menyebabkan lebih dari 3.000 orang mati, Milton Friedman dikenal juga sebagai seorang “liberal McCarthyism.”

Kepustakaan:

GREG IP and MARK WHITEHOUSE , “How Milton Friedman Changed Economics, Policy and Markets,” Wall Street Journal, Nopember, 17 2006.

Greg Grandin, “Empire’s Workshop: Latin America, the United States, and the Rise of the New Imperialism,” Holt Paperbacks, 2007.

——— “Milton Friedman and the Economics of Empire,” http://www.doublestandards.org/grandin1.html, 17 November 2006.

“Autobiography of Milton Friedman,” http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/1976/friedman-autobio.html.
More aboutSeorang Milton Friedman

Sebuah Resensi : Jebakan Transisi Demokrasi

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Judul buku : Malapetaka Demokrasi Pasar
Penulis : Coen Husein Pontoh
Penerbit : Resist Book
Cetakan : Pertama, September 2005
Tebal : 192 halaman

JEBAKAN TRANSISI DEMOKRASI

Pasca tumbangnya rezim orde baru yang militeristik, Indonesia lazim disebut memasuki suatu masa transisi. Situasi yang diandaikan akan menghadirkan demokrasi sejati dengan melakukan pembedaan dengan model demokrasi rezim sebelumnya. Demokrasi yang selama orde baru malah digunakan sebagai alat refresif bagi politik pembangunanisme.
Demokrasi di Indonesia juga semakin diyakini akan mewujud dengan ditandai hadirnya mekanisme multi partai, kebebasan mengemukakan pendapat secara terbuka, kemerdekaan pers dengan menjamurnya penerbitan. Bahkan semakin haqul yakin dengan berlangsungnya prosesi suksesi kepemimpinan nasional yang berjalan relatif lancar pada 1999 dan 2004 lalu. Transisi demokrasi, jika mengikuti tipologi Huntington, terbagi pada tiga pola antara lain; transformasi, penggantian (replacement), negosiasi (transplacement), dan intervensi. Untuk konteks Indonesia, transisi demokrasi yang digunakan adalah pola penggantian walaupun tidak dipungkiri juga ada warna intervensi dari komunitas internasional.

Demokrasi yang berarti kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sebenarnya gagasan yang sangat fundamental dalam memaknai penggunaan kekuasaan. Suatu wewenang kekuasaan yang penggunaannya didapat melalaui legitimasi proses-proses demokratis, pemilihan umum. Namun, lazim terjadi amanat kekuasaan itu terkadang ‘dibajak’ oleh penguasa untuk kemudian digunakan demi ambisi kelompoknya. Inilah wujud pembajakan demokrasi yang dilakukan elit yang oligarkis.

Ditengah kondisi objektif seperti itu, muncul pertanyaan apakah bangsa ini benar-benar merdeka, dalam arti mampu mengelola merumuskan dan menerapkan setiap kebijakan atas prinsip kemandirian sebagai bangsa dan negara? Dan benarkah transisi yang Indonesia ini akan mengarah menuju demokrasi yang sesungguhnya?

Dua pertanyaan diatas inilah yang dikupas buku ini. Buku dini diawali penjelasan lengkap mengenai mengguritanya demokrasi pasar (neoliberalisme) diseluruh negara, termasuk Indonesia. Bagi Coen Pontoh, demokrasi pasar sejatinya dibawa oleh berbagai lembaga lembaga internasional seperti International Monetary Fund dan World Bank. Kedua lembaga yang membawa missi liberalisasi, provatisasi, dan dregulasi, mampu masuk kesetiap negara dengan memanfaatkan celah-celah instabilits politik disutua negara. Contoh nyata adalah bagaimana IMF bisa masuk ke Indonesia dimulai melalui penandatangan Letter of Intent yang dilakukan antara Indonesia dengan IMF, 15 Januari 1998. Bagi Coen, inilah awal malapetaka demokrasi pasar (neoliberalisme) untuk konteks Indonesia, dimulai. Pasca penandatangan tersebut privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan pengahapusan subsidi publik begitu menggurita.

Artinya, dalam situasi itu, negara sekedar difungsikan sebagai regulator semata. Negara tidak berwenang dalam mengontrol ruang ekonomi, semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Imbasnya, prinsip survival of the fittes berlaku. Mereka yang miskin dan tidak berpunya hanya bisa menahan lapar dan ‘menunggu mati’ akibat minimnya subsidi pemerintah. Menurut penulis buku ini, ketika negara sekadar berfungsi sebagai lembaga regulator, sejatinya ia tidak merdeka lagi. Sebab dibelakang layar, kewajiban dankewenangan negara, salah satunya untuk menyejahterakan rakyat, telah dibajak rezim neoliberalisme dengan baju demokrasi pasar.

Coen meyakini bahwa mekanisme penajajahan sekarang ini masih berlangsung. Ia tertanam dan tertancap melalui saluran yang kasat mata alias bukan dalam wujud penjajahan fisik. Kolonialisme sekarang berjalan melalui penguasaan aset publik disuatu negara. Sehingga keyakinan bahwa ketika transisi demokrasi berlangsung akan terjadi pula konsolidasi demokratik, situasi tersebut malah berbalik arah menjadi konsolidasi oligarkis kekuasaan ekonomi. Imbasnya, demokrasi mengalami malfungsi.

Guna menangkal demokrasi pasar yang berwujud neoliberalisme, penulis memberi dua ulasan studi secara lengkap yang terjadi di dua negara, Argentina dan Rusia, keduanya juga dalam situasi transisi demokrasi. Coen menggambarkan dengan jelas bagaimana gerakan prodemokrasi kedua negara tersebut berjuang dengan gigih dalam membangun demokrasi yang dengan tegas menolak agenda neoliberal (democratization agains neoliberalism). Penulis menyajikan pula beragam fakta bahwa gagalnya demokrasi, semakin menguatnya oligharki, adalah akibat sistem demokrasi pasar yang lebih menitikberatkan pada mekanisme liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.

Penulis berharap, dua ulasan yang terjadi di dua negara tersebut bisa dijadikan pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum prodemokrasi. Sebab, transisi demokrasi yang berujung pada neoliberalisme hanya akan memenjarakan transisi demokrasi dan akan menjerumuskan pada krisis yang tak kunjung usai. Barangkali inilah sebab utama bagaimana bagaimana Indonesia tak mampu bangkit cepat menghadapi krisis yang melanda.

Dengan situasi tersebut, demokrasi bukan lagi vis-à-vis otoritarianisme. Namun pemilihan demokrasi (pasar) lebih condong dipilih kepada model apa dan untuk kepentingan siapa? Inilah wujud pembajakan demokrasi pada masa transisi. Menggunakan analisis Thomas Carothers, penulis meyakini bahwa gagalnya transisi menuju demokrasi disebabkan domain ekonomi dan domain politik yang secara tegas dipisahkan, bukan disatukan. Situasi ini mengandaikan bahwa ekonomi dan politik (pasar dan negara) hanya berhubungan secara terpisah dan tidak berkorelasi sama sekali.

Maka sangat wajar jika sekarang ini negara (Indonesia) semata diposisikan sebagai regulator modal, tak lebih. Semua produk hukum negara hanya melayani berjalannya mekanisme modal. Lihat saja pasal-pasl revisi UU Ketenagakerjaan yang marak ditolak oleh kalangan buruh dan sangat didukung para pengusajha besar. Sebab jika negara memasuki wilayah tersebut akan bertentangan dengan kekuatan pasar (free trade). Artinya pengaturan negara juga akan tidak singkron dengan logika globalisasi dimana modal transnasional bebas berpindah tempat. (hlm. 22).

Buku ini memang tidak menyodorkan mekanisme demokrasi seperti apa yang bisa digunakan sebagai tandinga demokrasi pasar. Namun ia bisa dijadikan sebagai bahan reungan ditengah keterpurukan bangsa akibat kebijakan yang menyengsarakan rakyat, yang selalu didengungkan atas nama demokrasi. Pada intinya buku Malapetaka Demokrasi Pasar mengajak kepada kita untuk berpikir secara kritis dan merenungkan hakikat kemerdekaan sesungguhnya bagi sutua bangsa. Ia juga mewanti-wanti untuk tidak terjebak logika dan imajinasi bahwa proses transisi akan selalu menuju arah yang lebih baik. Sebab, sebagaimana diyakini penulis buku ini, demokrasi yang dikonstruksi oleh kekuatan asing, melalui tekanan lembaga internasional, bukan mengaraj pada demokrasi sesungguhnya. Namun semakin menenggelamkan pemerintah dan rakyat untuk tunduk patuh pada doktrin khas neoliberalisme: liberalisasi-privatisasi-deregulasi.

Epung Saepudin
Pustakawan tinggal di Jakarta

Sumber: http://transformasi.multiply.com/reviews/item/16
More aboutSebuah Resensi : Jebakan Transisi Demokrasi

Tips seputar SNMPTN 2012, check it out!!!

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Jumat, 24 Februari 2012


Memang banyak sekali info dan penjelasan terbaru about SNMPTN 2012, temukan semuanya di snmptn.ac.id
More aboutTips seputar SNMPTN 2012, check it out!!!

Tinjauan Organisatoris Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Senin, 13 Februari 2012

nilai-nilai ajaran ‎Islam sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah ‎swt” (Pasal 3 AD/ART).‎ Keanggotaan IPM sebagai organisasi adalah keanggotaan PELAJAR. Pada ‎Anggaran Dasar Pasal 5 tentang anggota, anggota IPM adalah:‎ a)‎ Pelajar muslim yang bersekolah di perguruan Muhammadiyah tingkat ‎SMP/sederajat dan/atau SMA/sederajat;‎ b)‎ Pelajar muslim yang berusia 12 tahun dan maksimal 21 tahun;‎ c)‎ mereka yang pernah menjadi anggota sebagaimana tersebut dalam ketentuan a ‎dan b yang diperlukan oleh organisasi dengan usia maksimal 24 tahun.‎ Adapun syarat menjadi anggota IPM disebutkan dalam Anggaran Rumah Tangga ‎IPM Bab II Pasal 2 sebagai berikut.‎ a)‎ Pelajar muslim WNI, yang menyetujui maksud dan tujuan IRM, bersedia ‎mendukung kebijakan organisasi dan berperan aktif melaksanakan tugas IRM ‎dapat diterima menjadi anggota.‎ b)‎ Pelajar yang bersekolah di perguruan Muhammadiyah tingkat SMP/sederajat ‎dan/atau SMA/sederajat.‎ Kewajiban anggota bahwa setiap anggota berkewajiban untuk menaati dan ‎menjalankan AD dan ART serta menaati segala peraturan dan kebijakan organisasi. ‎ Adapun hak-hak anggota IPM adalah:‎ a)‎ memberikan saran dan menyatakan pendapat demi kebaikan organisasi b)‎ memberikan suara c)‎ memberikan saran untuk kebaikan d)‎ memilih dan dipilih e)‎ mendapatkan pembinaan dari IPM Jaringan struktural IPM secara berjenjang dari tingkat Pimpinan Pusat, ‎Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting. ‎Dalam hal permusyawaratan, dalam IPM mengenal Muktamar, Konferensi Pimpinan ‎Wilayah (Konpiwil), Musyawarah Wilayah (Musywil), Konferensi Pimpinan Daerah ‎‎(Konpida), Musyawarah Daerah (Musyda), Konferensi Pimpinan Cabang (Konpicab), ‎Musyawarah Cabang (Musycab), Konferensi Pimpinan Ranting (Konpiran), dan ‎Musyawarah Ranting (Musyran). ‎ Permusyawaratan lain yang perlu diketahui adalah Muktamar Luar Biasa, yaitu ‎muktamar yang diselenggarakan apabila keberadaan ikatan terancam dibubarkan yang ‎Konpiwil tidak berwenang untuk memutuskan dan tidak dapat ditangguhkan sampai ‎muktamar berikutnya. Permusyawaratan dapat berlangsung tanpa me-mandang ‎jumlah yang hadir, asal yang bersangkutan telah diundang secara sah.‎ Keuangan merupakan vitalitas bagi wujud gerak maupun amal usaha. Keuangan ‎mampu menyetir langkah usaha suatu organisasi. Keuangan merupakan kekayaan dan ‎aset modal usaha organisasi. Keuangan IPM secara jelas diatur dalam AD/ART, ‎keuangan IRM diperoleh dari dana abadi, iuran anggota, uang pangkal, dan sumber ‎lain yang halal dan tidak mengikat. Demikian pula IRM mendapat bantuan rutin dari ‎pimpinan Muhammadiyah setingkat.‎

‎2) ‎ Prinsip Dasar Organisasi: IPM Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) adalah salah satu organisasi otonom ‎persyarikatan Muhammadiyah yang merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf ‎nahi mungkar di kalangan remaja, berakidah Islam, dan bersumber pada Al-Quran ‎dan As-Sunnah. Organisasi ini didirikan dengan maksud dan tujuan sebagaimana ‎tersebut di atas, yaitu dalam Pasal 3 AD/ART Muktamar IPM XIII. Pencapaian ‎maksud dan tujuan tersebut dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut:‎ a)‎ Menanamkan kesadaran beragama Islam, memperteguh iman, menertibkan ‎peribadatan dan mempertinggi akhlak.‎ b)‎ Mempergiat dan memperdalam pemahaman agama Islam untuk mendapatkan ‎kemurnian dan kebenarannya.‎ c)‎ Memperdalam, memajukan dan meningkatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan ‎budaya.‎ d)‎ Membimbing, membina, dan menggerakkan anggota guna meningkatkan fungsi ‎dan peran IPM sebagai kader persyarikatan, umat dan bangsa dalam menunjang ‎pembangunan manusia seutuhnya menuju terbentuknya masyarakat utama, ‎adil dan makmur yang diridloi Allah swt.‎ e)‎ Meningkatkan amal salih dan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan.‎ f)‎ Segala usaha yang tidak menyalahi ajaran Islam dengan mengindahkan hukum ‎dan falsafah yang berlaku.‎
More aboutTinjauan Organisatoris Ikatan Pelajar Muhammadiyah

About IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah)

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang berdiri tahun 1961. Latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma'ruf nahi mungkar yang ingin melakukan pemurnian terhadap pengamalan ajaran Islam, sekaligus sebagai salah satu konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader. Oleh karena itulah dirasakan perlu hadirnya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang terpanggil kepada misi Muhammadiyah dan ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung penyempurna perjuangan Muhammadiyah.

Jika dilacak jauh ke belakang, sebenarnya upaya para pelajar Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah sudah dimulai jauh sebelum Ikatan Pelajar Muhammadiyah berdiri pada tahun 1961. Pada tahun 1919 didirikan Siswo Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar Muhammadiyah di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 1926, di Malang dan Surakarta berdiri GKPM (Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah). Selanjutnya pada tahun 1933 berdiri Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan yang di dalamnya berkumpul pelajar-pelajar Muhammadiyah.

Setelah tahun 1947, berdirinya kantong-kantong pelajar Muhammadiyah untuk beraktivitas mulai mendapatkan resistensi dari berbagai pihak, termasuk dari Muhammadiyah sendiri. Pada tahun 1950, di Sulawesi (di daerah Wajo) didirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah, namun akhirnya dibubarkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat. Pada tahun 1954, di Yogyakarta berdiri GKPM yang berumur 2 bulan karena dibubarkan oleh Muhammadiyah. Selanjutnya pada tahun 1956 GKPM kembali didirikan di Yogyakarta, tetapi dibubarkan juga oleh Muhammadiyah (yaitu Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah). Setelah GKPM dibubarkan, pada tahun 1956 didirikan Uni SMA Muhammadiyah yang kemudian merencanakan akan mengadakan musyawarah se-Jawa Tengah. Akan tetapi, upaya ini mendapat tantangan dari Muhammadiyah, bahkan para aktifisnya diancam akan dikeluarkan dari sekolah Muhammadiyah bila tetap akan meneruskan rencananya. Pada tahun 1957 juga berdiri IPSM (Ikatan Pelajar Sekolah Muhammadiyah) di Surakarta, yang juga mendapatkan resistensi dari Muhammadiyah sendiri.

Resistensi dari berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah, terhadap upaya mendirikan wadah atau organisasi bagi pelajar Muhammadiyah sebenarnya merupakan refleksi sejarah dan politik di Indonesia yang terjadi pada awal gagasan ini digulirkan. Jika merentang sejarah yang lebih luas, berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan sebuah background politik ummat Islam secara keseluruhan. Ketika Partai Islam MASYUMI berdiri, organisasi-organisasi Islam di Indonesia merapatkan sebuah barisan dengan membuat sebuah deklarasi (yang kemudian terkenal dengan Deklarasi Panca Cita) yang berisikan tentang satu kesatuan ummat Islam, bahwa ummat Islam bersatu dalam satu partai Islam, yaitu Masyumi; satu gerakan mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); satu gerakan pemuda Islam, yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII); satu gerakan pelajar Islam, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII); dan satu Kepanduan Islam, yaitu Pandu Islam (PI). Kesepakatan bulat organisasi-organisasi Islam ini tidak dapat bertahan lama, karena pada tahun 1948 PSII keluar dari Masyumi yang kemudian diikuti oleh NU pada tahun 1952. Sedangkan Muhammadiyah tetap bertahan di dalam Masyumi sampai Masyumi membubarkan diri pada tahun 1959. Bertahannya Muhammadiyah dalam Masyumi akhirnya menjadi mainstream yang kuat bahwa deklarasi Panca Cita hendaknya ditegakkan demi kesatuan ummat Islam Indonesia. Di samping itu, resistensi dari Muhammadiyah terhadap gagasan IPM juga disebabkan adanya anggapan yang merasa cukup dengan adanya kantong-kantong angkatan muda Muhammadiyah, seperti Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul ‘Aisyiyah, yang cukup bisa mengakomodasikan kepentingan para pelajar Muhammadiyah.

Dengan kegigihan dan kemantapan para aktifis pelajar Muhammadiyah pada waktu itu untuk membentuk organisasi kader Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mulai mendapat titik-titik terang dan mulai menunjukan keberhasilanya, yaitu ketika pada tahun 1958 Konferensi Pemuda Muhammadiyah Daerah di Garut berusaha melindungi aktivitas para pelajar Muhammadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muham-madiyah. Mulai saat itulah upaya pendirian organisasi pelajar Muhammdiyah dilakukan dengan serius, intensif, dan sistematis. Pembicaraan-pembicaraan mengenai perlunya berdiri organisai pelajar Muhammadiyah banyak dilakukan oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muham-madiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dengan keputusan konferensi Pemuda Muham-madiyah di Garut tersebut akhirnya diperkuat pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta, yaitu dengan memutuskan untuk membentuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah (Keputusan II/No. 4). Keputusan tersebut di antaranya ialah sebagai berikut :

Muktamar Pemuda Muhammadiyah meminta kepa-da Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendi-dikan dan Pengajaran supaya memberi kesem-patan dan memnyerahkan kompetensi pemben-tukan IPM kepada PP Pemuda Muhammadiyah. Muktamar Pemuda Muhammadiyah mengama-natkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyusun konsepsi Ikatan Pelajar Muham-madiyah (IPM) dari pembahasan-pembahasan muktamar tersebut, dan untuk segera dilaksanakan setelah mencapai kesepakatan pendapat dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendi-dikan dan Pengajaran.

Kata sepakat akhirnya dapat tercapai antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran tentang organisasi pelajar Muhammadiyah. Kesepakatan tersebut dicapai pada tanggal 15 Juni 1961 yang ditandatangani bersama antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran. Rencana pendirian IPM tersebut dimatangkan lagi dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961, dan secara nasional melalui forum tersebut IPM dapat berdiri. Tanggal 18 Juli 1961 ditetapkan sebagai hari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Perkembangan IPM akhirnya bisa memperluas jaringan sehingga bisa menjangkau seluruh sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada di Indonesia. Pimpinan IPM (tingkat ranting) didirikan di setiap sekolah Muhammadiyah. Berdirinya Pimpinan IPM di sekolah-sekolah Muhammadiyah ini akhirnya menimbulkan kontradiksi dengan kebijakan pemerintah Orde Baru dalam UU Keormasan, bahwa satu-satunya organisasi siswa di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia hanyalah Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS). Sementara di sekolah-sekolah Muhammadiyah juga terdapat organisasi pelajar Muhammadiyah, yaitu IPM. Dengan demikian, ada dualisme organisasi pelajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Bahkan pada Konferensi Pimpinan Wilayah IPM tahun 1992 di Yogyakarta, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu (Akbar Tanjung) secara khusus dan implisit menyampaikan kebijakan pemerintah kepada IPM, agar IPM melakukan penye-suaian dengan kebijakan pemerintah.

Dalam situasi kontra-produktif tersebut, akhirnya Pimpinan Pusat IPM membentuk team eksistensi yang bertugas secara khusus menyelesaikan permasalahan ini. Setelah dilakukan pengkajian yang intensif, team eksistensi ini merekomendasikan perubahan nama dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah ke Ikatan Remaja Muhammadiyah. Perubahan ini bisa jadi merupakan sebuah peristiwa yang tragis dalam sejarah organisasi, karena perubahannya mengandung unsur-unsur kooptasi dari pemerintah. Bahkan ada yang mengang-gap bahwa IPM tidak memiliki jiwa heroisme sebagai-mana yang dimiliki oleh PII yang tetap tidak mau menga-kui Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasinya.

Namun sesungguhnya perubahan nama tersebut merupakan blessing in disguise (rahmat tersembunyi). Perubahan nama dari IPM ke IRM sebenarnya semakin memperluas jaringan dan jangkauan organisasi ini yang tidak hanya menjangkau pelajar, tetapi juga basis remaja yang lain, seperti santri, anak jalanan, dan lain-lain.

Keputusan pergantian nama ini tertuang dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat IPM Nomor VI/PP.IPM/1992, yang selanjutnya disahkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1992 melalui Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muham-madiyah Nomor 53/SK-PP/IV.B/1.b/1992 tentang pergantian nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan demikian, secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18 Nopember 1992.
More aboutAbout IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah)

PPMB-PMDK Universitas Airlangga 2012/2013

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn on Minggu, 12 Februari 2012


Tahun akademik 2012/2013 Universitas Airlangga menerima mahasiswa baru melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan jalur Mandiri, Adapun SNMPTN dilaksanakan memalui Jalur Undangan dan Jalur Ujian Tulis . Informasi selengkapnya tentang SNMPTN silahkan kunjungi undangan.snmptn.ac.id untuk jalur undangan sedangkan www.snmptn.ac.id untuk jalur ujian tulis .


Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru UNAIR Jalur Mandiri adalah sistem penerimaan mahasiswa baru yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga secara mandiri. Dalam sistem ini setiap peserta hanya dapat memilih program-program studi yang ada di Universitas Airlangga.

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru UNAIR secara Mandiri terdiri dari :
Jalur-Mandiri
Jalur-Mandiri diperuntukkan bagi lulusan SLTA (SMA, SMK, MA dan Ujian Persamaan) pada umumnya. Yakni lulusan tahun 2010, 2011 dan 2012 yang memiliki kemampuan akademik untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan tinggi dengan baik.

Jalur-Alih Jenis
Jalur-Alih Jenis diperuntukkan bagi lulusan Diploma (D3) yang sesuai (Linier) dengan program studi yang ditawarkan untuk melanjutkan studi ke jenjang Sarjana (S1) di Universitas Airlangga.

Jalur Diploma
Jalur Diploma ini diperuntukkan bagi lulusan SLTA (SMA, SMK, MA dan Ujian Persamaan) tahun 2010, 2011 dan 2012 baik dari dalam dan luar negeri, yang memiliki kemampuan akademik untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan tinggi dengan baik.
More aboutPPMB-PMDK Universitas Airlangga 2012/2013

Jadwal SNMPTN 2012

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn


JADWAL JALUR UNDANGANPendaftaran Jalur Undangan 1 Februari – 8 Maret 2012 pukul 22.00 WIB


Seleksi Jalur Undangan 9 Maret – 15 Mei 2012
Pengumuman Jalur Undangan 28 Mei 2012 pukul 18.00 WIB
Pendaftaran Ulang yang diterima 12 – 13 Juni 2012




JADWAL JALUR TERTULISTatacara pengisian borang pendaftaran bisa mulai di unduh di http://download.snmptn.ac.id 11 Maret 2012.


Pendaftaran Online 10 – 31 Mei 2012
Jadwal Ujian Tertulis 12-13 Juni 2012
Jadwal Ujian Keterampilan 14 dan/atau 15 Juni 2012
Pengumuman Hasil Ujian 7 Juli 2012 mulai pukul 19.00 WIB.
More aboutJadwal SNMPTN 2012

Tata Cara Pendaftaran SNMPTN 2012

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

1. JALUR SNMPTN TERTULIS




2. JALUR SNMPTN UNDANGAN




More aboutTata Cara Pendaftaran SNMPTN 2012

Download Penjelasan & Form Beasiswa BIDIK MISI 2012

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Anda dapat memperoleh berbagai informasi dan penjelasan mengenai beasiswa Bidik Misi tahun 2012, beasiswa pemerintah ini rutin diberikan setiap tahunnya kepada mahasiswa baru yang memenuhi standar dan kualifikasi penerima Bidik Misi.

Download Form dan Information Paper Bidik Misi 2012 disini :

Form & Information Paper Bidik Misi by Dirmawa Unair

atau

Download Form & Information Paper Bidik Misi via MediaFire

Semoga Bermanfaat

More aboutDownload Penjelasan & Form Beasiswa BIDIK MISI 2012

Unair Buka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Siswa Berprestasi

Diposting oleh Adam Syarief Thmrn

Keseriusan Universitas Airlangga untuk membuka Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan ditunjukkan dengan menyediakan kuota yang besar bagi jalur yang disediakan untuk siswa berprestasi tersebut. Di antara enam puluh perguruan tinggi negeri di Indonesia yang membuka SNMPTN jalur undangan, hanya Unair yang berani memberi kuota 40% bagi jalur undangan. Perguruan tinggi lain umumnya menyiapkan kuota 10% hingga 30% untuk jalur undangan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan kuota jalur SNMPTN maksimal 60% dan jalur mandiri 40%. Dari 60% tersebut, kuota untuk SNMPTN jalur undangan sendiri ditetapkan maksimal 40%, dan untuk jalur tertulis maksimal 20%.

Wakil Rektor I Unair Prof. Dr. H. Ahmad Syahrani, M.S., Apt., mengatakan, keputusan Unair untuk membuka jalur undangan hingga 40% didasari pada upaya Unair untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. “Unair ingin membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi calon mahasiswa berprestasi di seluruh Indonesia, agar mereka bisa memperoleh pendidikan tinggi yang terbaik,” ucap Prof. Syahrani di sela-sela acara Sosialisasi SNMPTN Jalur Undangan 2012 di Aula Garuda Mukti lantai 5 Kantor Manajemen Unair (3/2).

Tahun lalu, Unair memang tidak membuka SNMPTN jalur undangan. Hal itu dikarenakan Unair belum berpengalaman dengan penerimaan mahasiswa tanpa tes. Namun, Unair memutuskan untuk segera belajar dan memenuhi harapan calon mahasiswa di seluruh Indonesia.

Tidak seperti tahun lalu, kriteria SNMPTN jalur undangan kali ini lebih jelas, karena dinilai berdasarkan nilai enam mata pelajaran Ujian Akhir Nasional. Sekolah merekomendasi siswa-siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi dan konsisten pada semester 3, 4, dan 5.

Meski demikian, tidak semua sekolah yang bisa mengikuti SNMPTN jalur undangan. Sekolah yang berhak mengikuti jalur undangan adalah SMA/SMK/MA/MAK negeri maupun swasta yang terakreditasi oleh BAN-SM atau sekolah yang terdaftar pada basis data SNMPTN tahun sebelumnya. Hanya kepala sekolah yang berhak memberikan rekomendasi siswa mana yang masuk SNMPTN jalur undangan.

Pendaftaran SNMPTN jalur undangan dimulai tanggal 1 Februari hingga 29 Februari 2012, oleh kepala sekolah. Pendaftaran oleh siswa dimulai tanggal 1 Februari hingga 8 Maret 2012. Siswa pelamar dapat memilih sebanyak-banyaknya dua perguruan tinggi negeri (PTN) yang diminati. Di masing-masing PTN yang diminati, siswa bisa memilih sebanyak-banyaknya dua program studi. Urutan pemilihan PTN dan program studi menyatakan prioritas pilihan.

Pengumuman hasil seleksi dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 2012, dan waktu pelaksanaan daftar ulang bagi siswa yang lulus seleksi dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 Juni 2012. Waktu daftar ulang tersebut dilaksanakan bersamaan dengan ujian SNMPTN jalur tertulis. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi siswa-siswa lain yang tidak bisa mengikuti SNMPTN jalur undangan. Bagi siswa SNMPTN jalur undangan yang merasa tidak puas dengan pilihan PTN atau program studinya, bisa membatalkan mendaftar ulang di jalur undangan dan mengikuti jalur tertulis.

Selain diisi dengan penyampaian sosialisasi SNMPTN jalur undangan, dalam acara tersebut juga diisi dengan penyampaian beasiswa Bidik Misi. Tahun ini, Unair menyiapkan kuota 850 kursi bagi calon mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi Nasional, lebih banyak 100 kursi daripada tahun lalu.

More aboutUnair Buka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Siswa Berprestasi